Pagi-pagi sekali, Fahri sudah pergi bekerja karena ia sudah menduduki jabatan yang baru dan tidak ingin terlambat.
Di perjalanan, Fahri justru melihat Naomi yang sedang berjalan kaki ke arah kantornya. Sudah lebih dari sepekan mereka tidak bertemu, membuat Fahri merasa rindu.
Fahri menghentikan mobilnya tepat di samping Naomi yang sedang berjalan, membuat Naomi menghentikan langkahnya.
"Mi... Naomi," panggil Fahri yang keluar dari mobilnya.
Naomi tidak tahu itu mobil Fahri karena Fahri telah mengganti mobilnya sejak naik jabatan.
"Ayo bareng," ajak Fahri.
"Tidak, kantorku sudah dekat," tolak Naomi dengan segera.
"Ayolah, Mi, hitung-hitung kamu mencoba naik mobil baruku. Aku sekarang sudah naik jabatan, Mi."
"Oh ya? Selamat kalau begitu, tapi aku tidak bisa! Aku duluan," pamit Naomi sambil berjalan lagi. Namun, Fahri mengejarnya dan menarik tangannya.
"Lepas!" Naomi menepisnya.
"Apa salahnya kamu ikut aku?"
"Ya jelas salah, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi."
"Kita ayah dan anak, Mi. Dan kalau lupa, kita juga mantan, Mi."
"Justru itu, kamu harus menjaga jarak denganku. Apa kata orang jika ayahnya merupakan mantan pacarnya sedang berjalan bersama?" tegas Naomi, sedikit mendorong tubuh Fahri, lalu berjalan cepat meninggalkan mantannya itu. Fahri tidak mengejar Naomi karena ia sedang terburu-buru.
"Gila! Dia pikir dia siapa? Mentang-mentang naik jabatan mau dekatin aku lagi. Maaf, ya, aku bukan wanita gampangan," gumam Naomi dengan raut wajah kesal.
"Kenapa, Mbok? Pagi-pagi sudah ngedumel sendiri?" ujar Maya.
"Bang Fahri buntuti aku, May. Dia mau antar aku ke kantor."
"Kalian masih berhubungan?" tanya Maya.
"Tidak, lah! Tadi dia lihat aku lagi jalan kaki menuju kantor, terus dia nyamperin aku."
"Kamu mau?"
"Ya, enggaklah! Mau ditaruh di mana harga diriku," ujar Naomi.
"Syukurlah, Mi. Jangan sampai tergoda dengan lelaki seperti itu."
"Iya, May. Amit-amit deh," ujar Naomi sambil menggigilkan pundaknya, dan disambut gelak tawa sahabatnya.
---Tak terasa dua bulan telah berlalu sejak Naomi keluar dari rumah, membuat Fahri merindukannya.
Fahri duduk di balkon apartemennya sambil menikmati secangkir kopi yang menemani bacaan korannya. Pikirannya jauh menerawang saat masih bersama Naomi. Sosok yang pernah mengisi hatinya itu belakangan ini sering muncul di pikirannya, entah karena rindu atau hanya jenuh dengan pernikahannya dengan Zakia yang bukan kemauannya.
Sementara itu, Naomi sedang kebingungan. Sudah dua minggu ini ia tidak bertemu Laras. Ibu kontrakan bilang Laras sudah tidak mengontrak di sana. Semua pakaiannya sudah dibawa di malam hari. Ia sudah mencoba menghubungi nomor Laras, tetapi sudah tidak aktif lagi.
Serasa mau pecah kepala memikirkan masalah ini. Jatuh tempo pembayaran cicilan Laras sudah lewat tiga hari yang lalu, dan ia yang membayarnya. Tapi bulan-bulan berikutnya bagaimana? Gajinya tidak akan cukup untuk membayar kontrakan, cicilan, dan kebutuhan sehari-harinya. Naomi benar-benar pusing tujuh keliling memikirkan masalah ini.
---"Pak Bos manggil kamu, Mi," ujar Maya.
Sudah pasti bosnya itu akan mempertanyakan perihal cicilan pinjaman Laras.
Naomi bangkit dengan rasa gugup. Ia bingung harus menjawab apa nanti, karena jika tiap bulan harus menutupinya, Naomi tidak sanggup.
Tak berselang lama, Naomi keluar dengan wajah cemberut.
"Kenapa?" tanya Maya.
"Laras kabur, May."
"Apa?!"
"Aku juga enggak nyangka. Tiga minggu lalu dia masih mengobrol denganku. Dia bilang adiknya sudah mulai pulih, tapi kini menghilang tanpa jejak. Mana angsuran pertama lagi sudah jatuh tempo."
"Aku bilang juga apa, Mi. Jangan terlalu percaya pada orang lain."
"Hiks... hiks... aku harus bagaimana, May? Minta bantuan siapa?" tangis Naomi, membuat Maya kasihan, tetapi ia juga tak bisa membantu. Secara gaji mereka sama dan kebutuhan mereka juga hampir sama. Bedanya, Maya tinggal bersama keluarganya.
"Aduh... jangan nangis, Mi. Aku juga bingung."
"Coba saja aku dengar ucapan kamu, May. Tapi aku berniat membantu, malah disalahgunakan begini."
"Iya, Mi. Nasi sudah jadi bubur. Lain kali jangan terlalu percaya pada orang lain. Sebab, kadang keluarga sendiri juga seperti itu, apalagi orang lain," ucap Maya, diangguki oleh Naomi.
---"Kok pulangnya malam, Mas?" tanya Zakia sambil melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 11 malam.
"Banyak kerjaan," jawab Fahri cuek.
Selama menikah, Fahri memang seperti itu. Ia tak pernah menganggap Zakia sebagai istrinya. Jangankan bermesraan, untuk tidur satu ranjang pun Fahri enggan. Dengan sabar, Zakia melewati semua ini demi anak yang dikandungnya.
Zakia menarik napas panjang, menahan sakit hati dalam dada.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini padaku, Bang?" Pertanyaan yang sering Zakia lontarkan dan selalu tak pernah mendapat jawaban. Fahri malah meninggalkannya saat ditanya seperti itu.
"Bang..."
"Aku capek," ucap Fahri sambil pergi ke kamar mandi untuk merilekskan tubuhnya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Zakia bertanya, "Apa kamu masih mencintai Naomi?"
Fahri menatap Zakia sejenak. "Kamu mau aku menjawabnya?"
Zakia menelan ludah, mempersiapkan hatinya untuk jawaban yang akan diterima.
"Seharusnya kamu tak perlu bertanya. Semuanya sudah terlihat jelas. Kamu hadir dalam hidupku karena sebuah kecelakaan, dan merenggut semua yang seharusnya milik Naomi."
Deg.
"Lalu kenapa kamu mau menikahiku?"
"Karena aku tak mau nama baik Naomi tercemar olehmu."
Seperti disambar petir di malam hari. Jadi karena ini? batin Zakia.
Matanya mulai berkaca-kaca mendengar pengakuan Fahri.
"Besok aku mau pulang ke rumah," pinta Zakia.
"Ke rumah siapa?" tanya Fahri.
"Ke rumahku, lah, Bang," tutur Zakia.
"Itu bukan rumahmu, melainkan rumah Naomi. Jadi, jangan harap kamu bisa menempatinya lagi," ujar Fahri tegas.
Zakia tercengang mendengar penuturan Fahri barusan.
"Dan... semua kepemilikan kini sudah kembali ke tangan Naomi," lanjut Fahri.
"Lancang kamu, Bang!" ucap Zakia marah.
"Kamu bilang aku lancang? Yang lancang itu kamu! Datang tak diundang, tiba-tiba mengambil semua kepemilikan Naomi. Sudah cukup, Zakia. Sudah semestinya kamu pergi ke orang tuamu dan menjalani kehidupan yang tenang. Jangan kau ambil hak orang lain. Jika kamu mau tetap di sini, silakan. Tapi jangan kamu ganggu lagi kehidupan Naomi!" bentak Fahri.
Memang, Fahri telah menyewa pengacara agar semua kepemilikan keluarga Naomi jatuh kembali ke tangan Naomi, seperti seharusnya.
Wajah Zakia memanas mendengar semuanya. Akhirnya, ia tidak jadi pergi dari apartemen itu.
Aku harus mengatur kembali, batin Zakia.
"Jangan kau berulah lagi," ujar Fahri tajam, seolah membaca pikiran Zakia.
Zakia kesal dan meninggalkan Fahri, pergi ke ruang TV. Ia menangisi apa yang tidak seharusnya ia tangisi, sebab semua itu adalah milik sah Naomi.
Sampai siang hari, Zakia tidur di ruang TV. Ia melihat Fahri yang baru saja keluar dari kamar.
"Kamu sudah bangun, Bang?" tanya Zakia.
"Untuk yang tadi malam, aku minta maaf," ujar Zakia, mencoba meluluhkan hati Fahri.
Ketegangan antara Alto Verdantoro dan Leonard Tanaka telah berlangsung lama. Mereka bukan sekadar rival bisnis, tetapi juga memiliki sejarah persahabatan yang kandas akibat konflik keluarga. Dahulu, mereka adalah sahabat dekat, namun sejak perseteruan antara ayah mereka terjadi, hubungan keduanya mulai merenggang. Konflik antar keluarga ini terus berlanjut hingga mereka dewasa, memaksa Alto dan Leo untuk meneruskan persaingan bisnis yang penuh ketegangan.Salah satu pemicu kebencian Leo terhadap Alto adalah Siska. Leo menyukai Siska, tetapi gadis itu justru mencintai Alto. Sayangnya, Alto tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Siska dan telah menolaknya secara baik-baik. Namun, hal itu tetap menimbulkan rasa iri dan dendam dalam diri Leo.Kini, Alto telah menikah dengan Naomi, wanita yang dicintainya. Mereka baru saja kembali dari bulan madu di Pulau Amora, pulau pribadi milik keluarga Alto. Naomi memang terlihat sederhana di mata orang lain, tetapi Alto mengetahui latar belakang
Setelah semalaman menikmati kebersamaan yang begitu intim, pagi itu Naomi terbangun dengan senyum di wajahnya. Angin laut yang sejuk menerpa kulitnya, membawa aroma khas laut yang menyegarkan. Ia menoleh ke samping, mendapati Alto masih tertidur dengan ekspresi tenang. Pria itu terlihat lebih damai dibandingkan biasanya—tidak ada sorot dingin dan penuh tekanan yang sering ia tunjukkan saat berada di kantor.Naomi menyentuh pipi Alto dengan lembut, membuat pria itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Ia tersenyum kecil."Selamat pagi," ucap Alto dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi," balas Naomi dengan lembut. "Ayo kita jalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan bawah laut Pulau Amora."Alto meregangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk di ranjang. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Kedengarannya bagus. Tapi jangan menyelam terlalu dalam, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Naomi tertawa kecil. "Aku bisa berenang, Alto. Kau
Stelah menempuh perjalanan panjang selama lima jam, akhirnya Alto dan Naomi tiba di Pulau Amora, sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto yang telah dipersiapkan khusus untuk bulan madu mereka.Begitu mereka turun dari kapal, tiga orang pegawai sudah menanti di dermaga. Dua perempuan dan satu laki-laki, semuanya berpakaian seragam rapi dengan senyuman ramah di wajah mereka."Selamat datang, Tuan Alto dan Nyonya Naomi," ucap seorang wanita yang tampak lebih senior dari yang lain. "Nama saya Liana, dan ini Adinda serta Rudi. Kami akan memastikan semua kebutuhan Anda selama di sini terpenuhi."Naomi tersenyum sopan. "Terima kasih, senang bertemu dengan kalian."Alto hanya mengangguk kecil. "Pastikan semuanya sesuai dengan yang sudah saya instruksikan sebelumnya.""Tentu, Tuan," jawab Liana dengan penuh hormat.Mereka mengantar Alto dan Naomi ke dalam vila utama yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Naomi hampir tidak bisa menyembunyikan ke
Setelah hari pernikahan yang digelar dengan megah dan penuh kebahagiaan, pagi ini Naomi dan Alto bersiap untuk menikmati bulan madu mereka. Destinasi mereka adalah sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto, tempat yang indah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.Naomi yang duduk di dalam mobil menatap suaminya yang sedang fokus menyetir. Hari ini, Alto terlihat lebih santai dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Sementara itu, Naomi mengenakan dress berwarna biru muda yang memberi kesan lembut namun elegan."Apa kau yakin ingin menyetir sendiri? Kita bisa meminta sopir untuk mengantar kita sampai pelabuhan," ucap Naomi sambil melirik Alto.Alto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku ingin menikmati perjalanan ini hanya denganmu. Lagipula, aku sudah terbiasa menyetir sendiri."Naomi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Baiklah, tapi kalau lelah, kita bisa berhenti sebentar."Perjalanan berlangsung dengan t
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hari di mana Naomi dan Alto akan mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Acara ini tidak digelar dengan megah, hanya sebuah pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka. Naomi dan Alto memang sepakat untuk tidak membuat pesta besar-besaran.Hanya beberapa rekan kerja yang diundang, baik dari pihak Naomi maupun Alto. Orang tua Alto juga hanya mengundang teman kerja mereka, membuat suasana pernikahan terasa lebih intim dan penuh kehangatan.Di salah satu ruangan khusus, Naomi tengah bersiap dengan gaun pengantinnya. Sebuah gaun putih sederhana namun elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ditata dengan rapi, dihiasi aksesori kecil yang semakin mempermanis penampilannya.Saat Naomi memandang dirinya di cermin, jantungnya berdebar kencang. Ia masih sulit percaya bahwa hari ini akhirnya tiba—hari di mana ia menjadi istri Alto Verdatoro."Naomi, kau sudah siap?" suara lembut seorang MUA m
Siang itu, matahari bersinar terik, menyengat kulit siapa pun yang berjalan di bawahnya. Suasana kota masih sibuk, dengan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya.Naomi baru saja turun dari mobil setelah kembali dari kunjungannya ke MUA. Tangannya masih memegang ponsel, jari-jarinya secara refleks menggulir layar, melihat-lihat pesan yang masuk. Tatapannya sesaat kosong. Pikirannya masih sedikit kacau setelah kejadian semalam—jebakan Zakia yang hampir membuatnya berada dalam situasi sulit.SMS dari Zakia masih tersimpan di ponselnya. Kata-kata penuh provokasi yang seolah ingin mengaduk-aduk perasaannya terus berputar di benaknya.Namun, langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seseorang berdiri di depan apartemennya.Fahri.Jantung Naomi berdegup lebih cepat. Ia tidak pernah memberi tahu Fahri alamat apartemennya. Bagaimana pria itu bisa tahu?Sebelum Naomi sempat mengatakan sesuatu, langkah lain terden