Seminggu telah berlalu.
"Mi... boleh aku masuk?" tanya Laras yang berdiri di depan pintu kontrakan Naomi.
"Boleh."
"Sedang apa, Mi?" tanya Laras basa-basi.
"Ini lagi beres-beres, Ras, mumpung lagi libur."
"Kamu enggak kerja, Ras?" tanya Naomi yang tahu Laras merupakan penjaga warung makan, jadi harus kerja setiap hari.
"Lagi libur, Mi. Ibu mimin sedang ada acara nikahan anaknya."
"Oh."
"Mi, aku boleh minta tolong?"
"Apa?"
"Aku lagi butuh uang, Mi, untuk biaya berobat adikku."
"Adik kamu sakit?"
"Iya, Mi. Mau dioperasi minggu ini, jadi membutuhkan biaya yang besar. Kamu tahu sendiri kan hasil dari pekerjaanku tidaklah cukup."
"Memangnya kamu membutuhkan uang berapa?"
"100 juta, Mi."
"Besar juga, ya."
"Iya, Mi, untuk biaya pengobatan adikku."
"Kalau segitu enggak ada, Ras. Kamu tahu sendiri kan kebutuhan aku juga banyak, apalagi sekarang harus bayar kontrakan. Gaji aku memang besar, tapi kebutuhan tiap bulannya juga besar, Ras," jelas Naomi jujur.
"Gimana ya, Mi. Aku harus cari uangnya. Adikku harus dioperasi, kalau tidak, kasihan." Laras tertunduk.
"Kalau aku pinjam di bank tempat kamu kerja, gimana, Mi?" tanya Laras lagi.
"Asal syaratnya terpenuhi, tidak masalah. Sah-sah saja, apalagi pembayarannya nyicil. Kamu pasti bisa. Bunganya juga enggak besar."
"Tapi gimana aku punya syaratnya, Mi? Aku aja anak kost. Pasti syaratnya bakalan ribet," ucap Laras.
"Kamu enggak bisa bantu aku, Mi, sebagai penjamin? Kamu kan kerja di sana, pasti bisa lah, Mi."
"Gimana ya, Ras. Besok deh, kalau bisa aku hubungi kamu."
"Iya, Mi, makasih banget, loh."
"Iya."
---Di lain tempat
"Bagaimana aku harus memilih, Bang? Di sana adalah tempat tinggalku juga."
"Kamu sudah memiliki suami baru, Zakia. Sudah sepatutnya kamu ikut denganku. Rumah itu biarkan untuk Naomi. Toh, sebenarnya juga seperti itu."
"Tapi di sana juga ada haknya Subhan."
"Subhan akan menjadi tanggung jawabku," ujar Fahri. "Kamu menikahi Om Rudi pada saat beliau telah memiliki semua kekayaan itu. Jadi itu bukanlah hak kamu dan Subhan. Sebab Subhan bukan anak Om Rudi sebenarnya."
Deg!
Bagaimana Fahri tahu itu? batin Zakia.
"Sudahlah, jangan pura-pura terkejut. Aku sudah tahu semuanya sejak lama, Zakia."
Tanpa perlawanan, akhirnya Zakia menyetujui ucapan Fahri untuk tinggal di apartemen Fahri.
Naomi, akan aku pastikan hakmu akan kembali, batin Fahri.
---"Untuk siapa, Mi, kamu pinjam sebanyak itu?" tanya Maya heran saat Naomi mengajukan pinjaman 100 juta dan yang disetujui hanya 50 juta.
"Modal nikah," canda Maya.
"Ngaco kamu, mana laki-lakinya?" saut Naomi.
"Buat Laras, May. Dia lagi butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya yang terkena kanker."
"Adiknya sakit?"
"Iya, mau dioperasi, May. Kasihan kalau sampai kenapa-kenapa sama adiknya."
"Kamu yakin, Mi, sebanyak ini? Dia kan cuma pelayan warung makan," tanya Maya memastikan.
"Kalau aku bisa bantu, kenapa tidak, May? Toh yang bayar dia juga. Aku hanya sebagai penjamin saja. Dia yang bakal cicil tiap bulannya nanti."
"Ini bukan jumlah yang sedikit, loh, Mi. Jangan terlalu percaya sama orang, apalagi kamu enggak tahu pasti orangnya. Nanti malah kamu yang terjebak di dalamnya. Masalah uang itu sangat sensitif, Mi," Maya memperingatkan.
"Aku dan Laras sudah berteman lama, May. Sama dengan aku dan kamu juga. Jadi enggak mungkin kan dia mengkhianatiku atau menjebakku. Apalagi niat aku bantu dia ikhlas, May, untuk pengobatan adiknya," jelas Naomi.
"Aku cuma ingetin kamu aja, Mi. Sudah sepatutnya teman saling mengingatkan, bukan? Jujur, aku khawatir kamu kena masalah lagi," ujar Maya.
"Iya, May. Terima kasih kamu selalu ada buat aku," ucap Naomi sambil tersenyum pada sahabatnya.
---Di kontrakan.
"Makasih ya, Mi. Kamu memang teman yang paling baik. Aku enggak akan pernah lupain kebaikanmu, Mi. Insya Allah, akan selalu aku jaga amanah ini, Mi."
"Iya, Ras. Aku cuma bisa bantu ini ya. Terus jangan telat bayarnya. Semoga adik kamu cepat sembuh, ya, Ras."
"Iya, Mi. Sekali lagi terima kasih, Mi. Aku kirim dulu ya uangnya. Bulan depan aku cicil. Kamu kirim nomor rekening kamu ya, biar aku gampang transfernya."
"Iya, Ras. Nanti aku WA, ya."
"Oke. Aku balik ke kontrakan dulu ya, Mi. Sekali lagi terima kasih."
"Sama-sama, Ras."
Naomi merebahkan tubuhnya, terasa lelah setelah pekerjaan hari ini. Sudah sepekan lebih dia tidak bertemu Subhan, adiknya. Hal itu membuat Naomi merasakan rindu, apalagi Subhan adalah saudara satu-satunya.
Memang, semenjak Zakia menikah dengan Fahri, Naomi jarang sekali berkunjung ke rumah, apalagi harus bertemu Fahri dan ibu tirinya itu.
Naomi membuka galeri ponselnya, melihat foto kebersamaannya dengan Subhan, serta foto kedua orang tuanya yang telah meninggal. Tak terasa, air mata menetes dari kelopak matanya, mengingat kedua orang tuanya yang kini sudah tak bisa ia temui lagi. Rindu yang sangat sulit terobati adalah merindukan seseorang yang telah pergi dari dunia ini—kerinduan yang teramat berat.
Dulu, ibunya meninggal saat Naomi kelas 3 SMA karena terkejut mengetahui ayah bersama Zakia, lalu jatuh sakit hingga wafat. Awalnya, Naomi tidak merestui hubungan ayahnya, tetapi karena saat itu Zakia tengah hamil anak ayah, mau tak mau Naomi mengalah. Akhirnya, Naomi menerimanya walau sedikit terpaksa, dan sekarang semua terbukti dengan perlakuan Zakia terhadapnya.
Jika waktu bisa diputar kembali, Naomi berpikir, aku tidak ingin mengenal Fahri, lelaki yang menyakitiku dan membuatku trauma. Tetapi semua ini bisa kujadikan pelajaran yang sangat berharga.
---"Jadi kapan kamu pindahnya, Ri?" tanya Bu Hendra.
"Lusa, Mah."
"Oh, bagus kalau begitu."
Terlihat jelas ibunya Bang Fahri tidak menyukaiku, batin Zakia.
Zakia hanya diam sambil makan.
"Lusa, Mama akan persiapkan untuk perpindahanmu. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot, Ri," ujar Bu Hendra.
"Tidak perlu, Mah. Kan ada Zakia di sini. Sudah menjadi tugas kewajibannya untuk semua itu," ujar Fahri.
"Biar sekalian Zakia juga belajar membereskan rumah. Bukan tahu duduk santai saja," cibir Bu Hendra.
Ya Tuhan, ternyata langkahku salah masuk ke keluarga Bang Fahri. Nyatanya ibu mertuaku tidak menyukai kehadiranku di sini, batin Zakia.
"Oh ya, Ma, selepas dari kantor aku tidak langsung pulang. Mau ke apartemen membereskan beberapa hal, biar pas pindah nanti Zakia tinggal yang ringan-ringan saja," ujar Fahri.
Bu Hendra hanya membalas dengan anggukan.
"Aku sudah selesai, Bang. Aku ke atas duluan ya," ucap Zakia pamit kepada Fahri.
Namun, Fahri hanya menjawab dengan anggukan.
Sesampainya di dalam kamar, Zakia bergumam, "Dasar wanita tua itu sungguh mengesalkan!"
"Wanita siapa yang kamu maksud? Ibuku?"
Tiba-tiba Fahri sudah ada di ambang pintu kamar mereka.
"E... anu, Bang. Enggak. Kamu salah dengar, Bang," ucap Zakia gugup.
"Jangan kurang ajar kamu, Zakia," bisik Fahri.
"Dia itu ibuku. Jangan aneh-aneh," kembali Fahri berbisik, memperingatkan Zakia.
Ketegangan antara Alto Verdantoro dan Leonard Tanaka telah berlangsung lama. Mereka bukan sekadar rival bisnis, tetapi juga memiliki sejarah persahabatan yang kandas akibat konflik keluarga. Dahulu, mereka adalah sahabat dekat, namun sejak perseteruan antara ayah mereka terjadi, hubungan keduanya mulai merenggang. Konflik antar keluarga ini terus berlanjut hingga mereka dewasa, memaksa Alto dan Leo untuk meneruskan persaingan bisnis yang penuh ketegangan.Salah satu pemicu kebencian Leo terhadap Alto adalah Siska. Leo menyukai Siska, tetapi gadis itu justru mencintai Alto. Sayangnya, Alto tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Siska dan telah menolaknya secara baik-baik. Namun, hal itu tetap menimbulkan rasa iri dan dendam dalam diri Leo.Kini, Alto telah menikah dengan Naomi, wanita yang dicintainya. Mereka baru saja kembali dari bulan madu di Pulau Amora, pulau pribadi milik keluarga Alto. Naomi memang terlihat sederhana di mata orang lain, tetapi Alto mengetahui latar belakang
Setelah semalaman menikmati kebersamaan yang begitu intim, pagi itu Naomi terbangun dengan senyum di wajahnya. Angin laut yang sejuk menerpa kulitnya, membawa aroma khas laut yang menyegarkan. Ia menoleh ke samping, mendapati Alto masih tertidur dengan ekspresi tenang. Pria itu terlihat lebih damai dibandingkan biasanya—tidak ada sorot dingin dan penuh tekanan yang sering ia tunjukkan saat berada di kantor.Naomi menyentuh pipi Alto dengan lembut, membuat pria itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Ia tersenyum kecil."Selamat pagi," ucap Alto dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi," balas Naomi dengan lembut. "Ayo kita jalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan bawah laut Pulau Amora."Alto meregangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk di ranjang. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Kedengarannya bagus. Tapi jangan menyelam terlalu dalam, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Naomi tertawa kecil. "Aku bisa berenang, Alto. Kau
Stelah menempuh perjalanan panjang selama lima jam, akhirnya Alto dan Naomi tiba di Pulau Amora, sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto yang telah dipersiapkan khusus untuk bulan madu mereka.Begitu mereka turun dari kapal, tiga orang pegawai sudah menanti di dermaga. Dua perempuan dan satu laki-laki, semuanya berpakaian seragam rapi dengan senyuman ramah di wajah mereka."Selamat datang, Tuan Alto dan Nyonya Naomi," ucap seorang wanita yang tampak lebih senior dari yang lain. "Nama saya Liana, dan ini Adinda serta Rudi. Kami akan memastikan semua kebutuhan Anda selama di sini terpenuhi."Naomi tersenyum sopan. "Terima kasih, senang bertemu dengan kalian."Alto hanya mengangguk kecil. "Pastikan semuanya sesuai dengan yang sudah saya instruksikan sebelumnya.""Tentu, Tuan," jawab Liana dengan penuh hormat.Mereka mengantar Alto dan Naomi ke dalam vila utama yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Naomi hampir tidak bisa menyembunyikan ke
Setelah hari pernikahan yang digelar dengan megah dan penuh kebahagiaan, pagi ini Naomi dan Alto bersiap untuk menikmati bulan madu mereka. Destinasi mereka adalah sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto, tempat yang indah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.Naomi yang duduk di dalam mobil menatap suaminya yang sedang fokus menyetir. Hari ini, Alto terlihat lebih santai dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Sementara itu, Naomi mengenakan dress berwarna biru muda yang memberi kesan lembut namun elegan."Apa kau yakin ingin menyetir sendiri? Kita bisa meminta sopir untuk mengantar kita sampai pelabuhan," ucap Naomi sambil melirik Alto.Alto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku ingin menikmati perjalanan ini hanya denganmu. Lagipula, aku sudah terbiasa menyetir sendiri."Naomi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Baiklah, tapi kalau lelah, kita bisa berhenti sebentar."Perjalanan berlangsung dengan t
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hari di mana Naomi dan Alto akan mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Acara ini tidak digelar dengan megah, hanya sebuah pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka. Naomi dan Alto memang sepakat untuk tidak membuat pesta besar-besaran.Hanya beberapa rekan kerja yang diundang, baik dari pihak Naomi maupun Alto. Orang tua Alto juga hanya mengundang teman kerja mereka, membuat suasana pernikahan terasa lebih intim dan penuh kehangatan.Di salah satu ruangan khusus, Naomi tengah bersiap dengan gaun pengantinnya. Sebuah gaun putih sederhana namun elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ditata dengan rapi, dihiasi aksesori kecil yang semakin mempermanis penampilannya.Saat Naomi memandang dirinya di cermin, jantungnya berdebar kencang. Ia masih sulit percaya bahwa hari ini akhirnya tiba—hari di mana ia menjadi istri Alto Verdatoro."Naomi, kau sudah siap?" suara lembut seorang MUA m
Siang itu, matahari bersinar terik, menyengat kulit siapa pun yang berjalan di bawahnya. Suasana kota masih sibuk, dengan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya.Naomi baru saja turun dari mobil setelah kembali dari kunjungannya ke MUA. Tangannya masih memegang ponsel, jari-jarinya secara refleks menggulir layar, melihat-lihat pesan yang masuk. Tatapannya sesaat kosong. Pikirannya masih sedikit kacau setelah kejadian semalam—jebakan Zakia yang hampir membuatnya berada dalam situasi sulit.SMS dari Zakia masih tersimpan di ponselnya. Kata-kata penuh provokasi yang seolah ingin mengaduk-aduk perasaannya terus berputar di benaknya.Namun, langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seseorang berdiri di depan apartemennya.Fahri.Jantung Naomi berdegup lebih cepat. Ia tidak pernah memberi tahu Fahri alamat apartemennya. Bagaimana pria itu bisa tahu?Sebelum Naomi sempat mengatakan sesuatu, langkah lain terden