Setelah selesai acara resepsi, dua keluarga ini melanjutkan dengan acara makan malam keluarga inti. Hanya ada keluarga Fahri dan Zakia saja, sedangkan Naomi memilih untuk tidak ikut karena merasa bukan bagian dari keluarga Zakia.
"Akhirnya semua berjalan lancar," ucap Hendra, ayah Fahri, kepada Pak Kusuma.
"Saya pun sangat bersyukur karena Zakia sekarang ada yang menjaganya lagi. Semoga Nak Fahri menjadi imam yang baik bagi Zakia," ucap Pak Kusuma.
Terlihat raut wajah tidak suka dari Bu Hendra. Karena status janda yang melekat pada Zakia, serta mengetahui jejak Zakia yang dulu pernah merebut suami ibu Naomi, sebenarnya Bu Hendra tidak setuju dengan pernikahan ini. Namun, entah mengapa Pak Hendra sangat setuju jika Zakia menjadi menantunya. Ada perasaan tidak enak di hati Bu Hendra. Secara riwayat, Zakia adalah perebut suami orang.
"Bagaimana kalau Zakia sementara tinggal bersama kami?" tawar Pak Hendra dengan mimik wajah berbunga-bunga.
"Terserah saja, kami manut, Pak," ujar Pak Kusuma.
"Bagaimana kamu, Fahri? Apa kamu setuju?" tanya Bu Hendra.
Awalnya Fahri memang berniat langsung mengajak Zakia pindah, sebab rumah ini adalah milik Naomi. Fahri merasa tidak enak jika berada dalam satu rumah dengan mantan kekasihnya itu. Tanpa berpikir panjang, Fahri langsung menyetujui ucapan ayahnya.
Mungkin ini yang terbaik, batin Fahri.
Maafkan aku, Naomi, lanjutnya dalam hati."Bang," panggil Zakia.
"I-iya?"
"Mama manggil, Bang."
Segera Fahri keluar dari kamar menghampiri ibunya.
"Kenapa, Mah?"
"Kamu jaga baik-baik, ya, istrimu itu. Jangan sampai terlalu dekat dengan Papa," ucap Bu Hendra sedikit khawatir.
"Maksud Mama?"
"Kamu jangan berpura-pura lupa. Dia itu wanita yang dulu merebut ayahnya Naomi dari ibunya. Wanita seperti itu akan selamanya seperti itu, Fahri."
"Mamaaa..." Fahri mengingatkan ibunya untuk tidak berprasangka buruk pada Zakia.
"Kalau bukan karena cucu Mama yang dikandung Zakia, Mama lebih memilih Naomi daripada dia, Fahri."
Fahri hanya mampu diam dengan apa yang telah dikatakan ibunya. Kedekatan ibunya dan Naomi memang sudah terlihat sejak awal Fahri memperkenalkan Naomi kepada keluarganya. Ayahnya juga cukup baik pada Zakia, tetapi kedekatan keluarganya dengan Naomi sudah sangat erat.
"Ya sudah, Fahri, kembali ke kamar, ya?"
"Eh, nanti dulu. Nih, bawa air putih dulu ke kamar, biar pas bangun tidur enggak perlu turun lagi," kata Bu Hendra sambil menyerahkan secangkir air putih.
Fahri meraih cangkir tersebut untuk diminum nanti setelah bangun tidur. Sesampainya di kamar...
"Ada apa, Bang?" tanya Zakia penasaran dengan pembahasan mertua dan suaminya.
"Ini," Fahri hanya menunjukkan cangkir air putih sebagai jawaban.
"Aku tidur di sofa," ucap Fahri.
"Loh, kok di sofa, Bang? Kita kan sudah suami istri?" tanya Zakia.
"Aku enggak akan menyentuhmu sampai anak itu lahir. Faham?" ucap Fahri tegas.
Masih teringat bayangan kebersamaannya dengan Naomi dulu. Malam ini seharusnya menjadi malam terindah bersama Naomi, tetapi kini telah digantikan oleh Zakia. Fahri sangat berat rasanya melepas Naomi dan menjalani bahtera rumah tangga bersama Zakia. Empat tahun impiannya bersama Naomi hancur sudah, hanya tinggal kenangan indah bersamanya.
Segera Fahri mengambil selimut dan bantal untuk tidurnya.
"Banggg..."
"Sudah malam, aku capek."
Zakia tidak melanjutkan ucapannya. Malam yang diharapkan Zakia tidak ia dapatkan. Bukannya bercumbu, ini malah seperti air dan minyak.
Dasar cowok enggak tahu diuntung. Ada ikan, enggak mau diembat, batin Zakia.
---Keesokan harinya.
"Bang! Bangun, sayang."
"Hmmm, sudah jam berapa ini?"
"Jam sembilan, sayang. Perut aku keruyuk-keruyuk, sepertinya anak kita lapar, sayang," ujar Zakia mencoba mencairkan suasana.
"Aku mau mandi dulu," ucap Fahri sambil melangkah meninggalkan Zakia yang masih berdiri di samping sofa.
Di ruang makan.
"Duh... pengantin baru, baru bangun, nih," goda Pak Hendra.
"Masak apa, Mah?" tanya Zakia berusaha mengakrabkan diri pada mertuanya, sebab sejak awal terlihat bahwa bu Hendra tidak menyukai keberadaannya.
"Masak sayur sop sama bistik daging sapi," jawab Bu Hendra dengan nada malas.
---
"Jadi batal beneran, ya, Mi, pernikahanmu?" tanya Maya, sahabatnya.
"Ya, mau gimana lagi, May. Aku tidak bisa menantang takdir. Kalau dipaksakan juga tidak baik, kan? Nanti judulnya Suamiku adalah Ayah Adikku," ujar Naomi bercanda.
"Kamu bisa aja, Mi."
"Tapi sayang, lo, Mi. Persiapan udah lama, menguras waktu dan tenaga, tahu-tahunya zonk," ujar Maya.
"Aku juga mikirnya gitu, May. Tapi mau gimana lagi," ujar Naomi.
"Kamu yang sabar, ya."
Naomi memeluk Maya. Persahabatan mereka sudah cukup lama, sejak Naomi baru menjadi karyawan di kantor ini. Maya adalah orang pertama yang menjadi temannya.
"Semoga kamu mendapat pengganti yang lebih baik dari Fahri, ya, Mi. Pasti ibu brengsekmu akan mendapatkan karmanya," ujar Maya kesal.
"Terima kasih, May. Aku sudah ikhlas. Mungkin ini jalan terbaik dari Tuhan untukku. Untung tahunya sekarang. Kalau sudah nikah, kan berabe. Mau minta cerai juga nanti bingung, baru nikah langsung menjanda. Kan malu."
"Kamu nggak ada niatan membalas mereka, Mi?" tanya Maya.
"Nggak, May. Kayaknya aku fokus ke diri aku sendiri aja. Nggak ada waktu ngurusin orang," ucap Naomi menenangkan diri.
"Terus rumah orang tuamu gimana, Mi?"
"Entahlah. Mau gimana lagi, May? Di sana juga masih ada Subhan yang berhak atas rumah itu," ujar Naomi.
"Subhan kan anak dari Zakia, Mi. Sedangkan rumah itu kan hasil perjuangan ayah kamu dan ibu kamu."
"Aku belum kepikiran ke situ, May."
Maya mengelus pundak Naomi, bermaksud menguatkannya.
"Aku doakan yang terbaik buatmu, Mi."
"Terima kasih, May. Kamu memang sahabat terbaikku."
---Malam ini, Naomi pulang cukup larut. Selain pekerjaan akhir tahun yang memang banyak karena kejar target, dia juga sedang malas, jadi semuanya terasa melelahkan.
Di dalam kontrakan, Naomi memilih untuk mandi, menyegarkan tubuh yang masih terasa lelah dan penat.
Trettt... trettt...
Suara ponsel terdengar dari dalam kamarnya. Naomi segera menyelesaikan rutinitas mandinya. Dengan masih memakai handuk, Naomi mengangkat panggilan teleponnya.
"Halo?"
"Hai."
Terdengar suara yang tak asing baginya.
"Ada perlu apa kamu malam-malam nelepon aku?!"
"Aku hanya kangen, Mi."
"Nggak waras kamu, ya, Fahri?"
"Setelah bayi itu lahir, aku akan menceraikan Zakia, Mi."
"Kamu pikir hidupku ini apa, hah? Seenaknya kamu keluar masuk dalam kehidupanku. Tidak semudah itu, Ri! Kekecewaan yang kamu torehkan terlalu dalam. Jadi, tolong pergi jauh-jauh dari hidupku!" ucap Naomi tegas.
"Mi, Mama masih mengharapkan kamu sebagai menantunya," bujuk Fahri.
"Terus?! Karena itu kamu harus dapatkan aku lagi? Maaf, Fahri. Aku memang telah memaafkanmu, tapi bukan berarti aku akan bisa menerimamu lagi."
"Mi, sudah berapa kali aku jelaskan padamu. Semua ini hanya kecelakaan. Saat itu aku tidak sadarkan diri."
Sebenarnya, Naomi telah mengetahui kebenaran bahwa Fahri dijebak. Wanita ular itu memang sangat licik. Tapi, Naomi tetap tidak mau menerima Fahri lagi.
"Mi..." bujuk Fahri.
Tut... tut... tut.
Naomi mematikan ponselnya.
Di seberang sana, Fahri frustrasi terus memikirkan Naomi.
"Kamu kenapa, Bang?" tanya Zakia.
Fahri hanya melirik malas dan pergi memasuki kamar.
Ketegangan antara Alto Verdantoro dan Leonard Tanaka telah berlangsung lama. Mereka bukan sekadar rival bisnis, tetapi juga memiliki sejarah persahabatan yang kandas akibat konflik keluarga. Dahulu, mereka adalah sahabat dekat, namun sejak perseteruan antara ayah mereka terjadi, hubungan keduanya mulai merenggang. Konflik antar keluarga ini terus berlanjut hingga mereka dewasa, memaksa Alto dan Leo untuk meneruskan persaingan bisnis yang penuh ketegangan.Salah satu pemicu kebencian Leo terhadap Alto adalah Siska. Leo menyukai Siska, tetapi gadis itu justru mencintai Alto. Sayangnya, Alto tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Siska dan telah menolaknya secara baik-baik. Namun, hal itu tetap menimbulkan rasa iri dan dendam dalam diri Leo.Kini, Alto telah menikah dengan Naomi, wanita yang dicintainya. Mereka baru saja kembali dari bulan madu di Pulau Amora, pulau pribadi milik keluarga Alto. Naomi memang terlihat sederhana di mata orang lain, tetapi Alto mengetahui latar belakang
Setelah semalaman menikmati kebersamaan yang begitu intim, pagi itu Naomi terbangun dengan senyum di wajahnya. Angin laut yang sejuk menerpa kulitnya, membawa aroma khas laut yang menyegarkan. Ia menoleh ke samping, mendapati Alto masih tertidur dengan ekspresi tenang. Pria itu terlihat lebih damai dibandingkan biasanya—tidak ada sorot dingin dan penuh tekanan yang sering ia tunjukkan saat berada di kantor.Naomi menyentuh pipi Alto dengan lembut, membuat pria itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Ia tersenyum kecil."Selamat pagi," ucap Alto dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi," balas Naomi dengan lembut. "Ayo kita jalan-jalan. Aku ingin melihat keindahan bawah laut Pulau Amora."Alto meregangkan tubuhnya sejenak sebelum duduk di ranjang. Ia mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Kedengarannya bagus. Tapi jangan menyelam terlalu dalam, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."Naomi tertawa kecil. "Aku bisa berenang, Alto. Kau
Stelah menempuh perjalanan panjang selama lima jam, akhirnya Alto dan Naomi tiba di Pulau Amora, sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto yang telah dipersiapkan khusus untuk bulan madu mereka.Begitu mereka turun dari kapal, tiga orang pegawai sudah menanti di dermaga. Dua perempuan dan satu laki-laki, semuanya berpakaian seragam rapi dengan senyuman ramah di wajah mereka."Selamat datang, Tuan Alto dan Nyonya Naomi," ucap seorang wanita yang tampak lebih senior dari yang lain. "Nama saya Liana, dan ini Adinda serta Rudi. Kami akan memastikan semua kebutuhan Anda selama di sini terpenuhi."Naomi tersenyum sopan. "Terima kasih, senang bertemu dengan kalian."Alto hanya mengangguk kecil. "Pastikan semuanya sesuai dengan yang sudah saya instruksikan sebelumnya.""Tentu, Tuan," jawab Liana dengan penuh hormat.Mereka mengantar Alto dan Naomi ke dalam vila utama yang sudah didekorasi dengan sangat indah. Naomi hampir tidak bisa menyembunyikan ke
Setelah hari pernikahan yang digelar dengan megah dan penuh kebahagiaan, pagi ini Naomi dan Alto bersiap untuk menikmati bulan madu mereka. Destinasi mereka adalah sebuah pulau pribadi milik keluarga Alto, tempat yang indah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.Naomi yang duduk di dalam mobil menatap suaminya yang sedang fokus menyetir. Hari ini, Alto terlihat lebih santai dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam. Sementara itu, Naomi mengenakan dress berwarna biru muda yang memberi kesan lembut namun elegan."Apa kau yakin ingin menyetir sendiri? Kita bisa meminta sopir untuk mengantar kita sampai pelabuhan," ucap Naomi sambil melirik Alto.Alto tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku ingin menikmati perjalanan ini hanya denganmu. Lagipula, aku sudah terbiasa menyetir sendiri."Naomi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Baiklah, tapi kalau lelah, kita bisa berhenti sebentar."Perjalanan berlangsung dengan t
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hari di mana Naomi dan Alto akan mengikat janji suci dalam ikatan pernikahan. Acara ini tidak digelar dengan megah, hanya sebuah pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang terdekat mereka. Naomi dan Alto memang sepakat untuk tidak membuat pesta besar-besaran.Hanya beberapa rekan kerja yang diundang, baik dari pihak Naomi maupun Alto. Orang tua Alto juga hanya mengundang teman kerja mereka, membuat suasana pernikahan terasa lebih intim dan penuh kehangatan.Di salah satu ruangan khusus, Naomi tengah bersiap dengan gaun pengantinnya. Sebuah gaun putih sederhana namun elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ditata dengan rapi, dihiasi aksesori kecil yang semakin mempermanis penampilannya.Saat Naomi memandang dirinya di cermin, jantungnya berdebar kencang. Ia masih sulit percaya bahwa hari ini akhirnya tiba—hari di mana ia menjadi istri Alto Verdatoro."Naomi, kau sudah siap?" suara lembut seorang MUA m
Siang itu, matahari bersinar terik, menyengat kulit siapa pun yang berjalan di bawahnya. Suasana kota masih sibuk, dengan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya.Naomi baru saja turun dari mobil setelah kembali dari kunjungannya ke MUA. Tangannya masih memegang ponsel, jari-jarinya secara refleks menggulir layar, melihat-lihat pesan yang masuk. Tatapannya sesaat kosong. Pikirannya masih sedikit kacau setelah kejadian semalam—jebakan Zakia yang hampir membuatnya berada dalam situasi sulit.SMS dari Zakia masih tersimpan di ponselnya. Kata-kata penuh provokasi yang seolah ingin mengaduk-aduk perasaannya terus berputar di benaknya.Namun, langkahnya terhenti seketika saat ia melihat seseorang berdiri di depan apartemennya.Fahri.Jantung Naomi berdegup lebih cepat. Ia tidak pernah memberi tahu Fahri alamat apartemennya. Bagaimana pria itu bisa tahu?Sebelum Naomi sempat mengatakan sesuatu, langkah lain terden