LOGIN"Jangan keterlaluan, Nara!?" Peringatkan Bastian.
"Aku tidak keterlaluan Bastian. Aku bicara sesuai fakta. Memang kenyataannya seperti itu," "Seorang pemilik hotel dengan tampang sepertimu aku yakin, tidak akan cukup satu wanita dalam semalam." Sambungnya kembali. "Baik, jika itu pendapatmu, aku akan menelpon Bara untuk menjelaskan semuanya." Tantang Bastian. "Tidak perlu. Aku ingin pulang. Aku sudah yakin akan pendapatku!" Nara yakin. Berkacak pinggang, Bastian mengusap wajahnya kasar. Baru kali ini dia menemukan gadis yang super bawel, menyebalkan dan keras kepala seperti Nara. Bahkan dirinya sampai melembutkan suaranya dan dengan sabar saat menghadapi Nara. Tapi tetap saja, wanita ini tak ada baik-baiknya sama sekali saat berkata padanya. Selalu ketus dan acuh. Benar-benar menyebalkan. "Makanlah lebih dulu. Kita akan keluar bersama besok." tutur Bastian pada akhirnya. Lagi-lagi, dia mengalah. "Aku tidak mau. Aku mau pulang sekarang." "Tolong lepaskan aku!" Pintanya. "Jika kamu menurut, kamu akan tenang dan nyaman tinggal di sini. Tapi kalau tidak, ya... Jadi seperti ini." Terang Bastian santai. "Bastian, tolong lepaskan aku. Semua orang pasti akan mencariku. Terutama temanku di hotel ini." "Biarkan saja. Kita keluar besok saat ijab akan dilaksanakan." "Ijab? Jangan sembarangan Bastian! Aku tidak mau menikah denganmu!" Tolaknya menggebu. "Kita cukup menikah siri saja. Kemu boleh melakukan apapun tanpa ada larangan. Kecuali, dekat dengan pria lain." Ujarnya. "Tidak bisa. Aku tidak mau menikah." Nara bersikekeh menolak ajakan baik Bastian. Padahal hal tersebut, tidak merugikannya sama sekali. Justru menguntungkan. "Baiklah, berarti kita akan selamanya di sini." Ancam Bastian. "Jangan!" "Lalu?" "Bukankah dari awal kamu ingin bertanggung jawab atas perbuatanmu ini dengan pernikahan? Aku putuskan untuk kau tidak usah menikahiku." "Tapi, cukup bayarkan utang ibuku sebesar 75 juta. Maka sejak hari itu, beban tanggung jawabmu akan ku anggap lunas." Ucapnya menggebu. "Nara, apa kamu sudah memikirkan perkataanmu tadi?" "Apa maksudmu? Aku sudah berkata jelas di hadapanmu. Apa kamu kurang paham?" Nara justru balik bertanya. Menarik napasnya dalam-dalam, Bastian melihat wanita didepannya ini baik-baik. "Sekarang, dengarkan aku!" Ucapnya serius. "Apa kamu tahu, dengan adanya pernikahan, kamu bisa meminta segalanya. Termasuk, membayar utang ibumu dan membiayai kebutuhanmu." "Sampai sini kamu paham? Selain dua hal tadi, kamu juga akan merasa aman sebab terlindungi." "Ada sosok yang melindungimu dan bertanggung jawab atas kamu. Apa kamu tidak ingin hal itu terjadi?" Nara terdiam, termangu mendengar kata demi kata yang diucapkan Bastian. Dia tertunduk, membenarkan semua yang dikatakan Bastian. Sebab apa yang diucapkannya, memang sesuatu yang diharapkan oleh semua wanita. Tak lain juga dirinya sendiri. "Gimana? Pilihanmu hanya satu, menurut denganku." Ucap Bastian saat Nara tak kunjung bicara. "Perlu kamu ingat juga Nara, jika kamu,(Maaf) sudah ternoda. Pasti ada perasaan minder saat akan menjalin hubungan dengan pria manapun, aku yakin itu." "Dari hal itu, izinkan aku bertanggung jawab atas kamu. Setelahnya, kamu bebas melakukan apapun kecuali hal-hal yang melanggar hukum dan dekat dengan pria lain." Ucap Bastian panjang. "Nara?" Lagi-lagi Bastian memanggilnya sebab Nara tak kunjung memberi reaksi apapun. Dia diam menunduk. "Aku memang sudah ternoda Bastian, tapi aku tidak ingin matre seperti kebanyakan para wanita di luaran sana. Aku cukup meminta hal itu saja. Tidak lebih." Sahutnya pelan. "Matre atau tidak, itu tidak berlaku buat istriku nanti." Nara tersipu. Kata ISTRI, sangat menggelikan baginya. Namun sebisa mungkin, Nara menyembunyikan rasa malunya itu dari Bastian. Jangan sampai, Bastian melihatnya dan jadi besar kepala karena merasa diri paling hebat. "Tidak usah dipikirkan. Makanlah, Bara sudah membelikan makan untuk kita." Titah Bastian. "Aku belum lapar." Nara menolaknya dengan halus. "Aku tahu, kamu sedang lapar Nara. Semalam perutmu berbunyi." "Tidak." Nara segera menyangkalnya. "Nara... jangan memancing amar,- ?" "Baik, aku akan makan." Sahut Nara cepat. Takut Bastian mengamuk. Apalagi, masih ada satu malam lagi yang akan mereka lewati di kamar ini, membuatnya kesal karena tak bisa melakukan apapun. Dengan terpaksa, besok pagi pun ia akan menikah dengan Bastian. Sebenarnya, dia enggan menikah dengan Bastian. Dia tahu diri sebab dirinya orang tak punya dan kampungan. Kehadirannya juga pasti akan ditolak mentah-mentah oleh keluarga Bastian. Membuatnya sakit hati saja nantinya. * Pagi sekali, Nara sudah dalam perjalanan bersama Bastian untuk melaksanakan akad. Entah di mana pelaksanaannya nanti, dia tidak tahu. Dia juga enggan untuk bertanya. Ternyata, mereka turun disebuah rumah sederhana tak terlalu besar tapi terkesan mewah dan bersih. Cukup sepi seperti tak berpenghuni. Tapi ... Masa' iya rumah sebagus ini kosong? Itulah yang ada dipikiran Nara. Turun dari mobil, Nara berjalan pelan membuntuti para lelaki di depannya. Bagian bawahnya masih terasa sakit, namun sayang, dia tidak berani untuk berkata. Tidak ada kebaya juga tak ada dekorasi pengantin yang megah. Semua dilakukan sesederhana itu. Tanpa tukang rias pengantin atau lainnya. Nara cukup berdandan ala kadarnya seperti saat dia berangkat kerja. Cuman bedanya, hari ini Nara mengenakan hijab putih serta gamis putih yang cantik. Bastian yang memilihkan baju tersebut semalam. Bugh!! Nara kaget. Tiba-tiba badannya terpental karena menabrak seseorang. "Ssttff..." dia mendesis sambil memegang keningnya yang teramat sakit. Tulang orang di depannya seperti tiang besi dipinggiran jalan. Mendongak melihat orang tersebut, Nara terkejut mendapati Bastian yang ada dihadapannya. Beringsut mundur, dia tak berani melihat Bastian lagi. "Apa perlu aku gendong?" Nara menggelengkan kepalanya cepat saat menunduk. "Tapi jalanmu?" Bastian menggantung ucapannya tak sampai hati untuk berkata. "Jalanku seperti ini sebab ulahmu. Pergilah! Aku bisa jalan sendiri. Walau kayak siput," sewot Nara berlalu begitu saja dari hadapan Bastian. "Astaga nih cewek.....!" Bastian geleng kepala mendengarnya. Diajak omong baik-baik dan pelan, eee ini malah dianya ngomong keras sampai membuat yang lain menoleh ke mereka. "Cewek emang bikin pusing." Gumam Bastian pelan sembari jalan membuntuti yang lain masuk ke dalam rumah dengan memilih jalan dibelakang Nara. Benar seperti yang dikata tadi, jalannya kayak siput sedikit ngangkang. Lucu, tapi juga kasihan menurutnya. Di ruang utama rumah itu, seorang ustadz sudah siap menjabat tangan Bastian untuk melaksanakan Ijab Qabul. Ustadz pun mulai menanyai mereka tentang persiapan nikah siri ini. Apakah ada paksaan, atau tidak? Ternyata tidak, semua murni dari keinginan masing-masing. Walaupun nikah siri, tapi Bastian juga diam-diam mendatangkan penghulu di sana untuk menjadi saksi. Selain calon pengantin, mereka berjumlah 6 orang yang akan menjadi saksi pernikahan siri Bastian dan Nara. Ustadz sudah berjabat tangan dengan Bastian dan ijab, akan segera di mulai. Nara tertunduk sedih, senang dan berdebar sebab ini untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Semua bercampur menjadi satu perasaannya. "Bismillah....," "Saya kawinkan dan saya nikahkan engkau ananda Bastian Sakajaya bin Prambudi Sakajaya dengan Keynara Amora binti Ahmad Radito almarhum dengan mas kawin uang tunai sebesar $2.510 dibayar tunai!" "Saya terima nikah dan kawinnya Keynara Amora binti Ahmad Radito almarhum dengan mas kawin tersebut tunai!" "Bagaimana saksi... Sah?" Sah, sah, sah,... Semua yang datang berseru mengesahkan pernikahan Bastian dan Nara. Lega juga berdebar saat mendengarkan kata keramat yang baru saja Bastian ucapkan. Ternyata lancar dalam satu tarikan napas saja. "Alhamdulillah..." Ucap pak ustadz dilanjut dengan do'a. Sesaat kemudian, ustadz serta para saksi yang tadi datang kini sudah pada pulang kembali. Tinggal Nara dan Bastian serta Bara yang menunggu mereka di luar. "Kita sudah selesai menikah. Sekarang antarkan aku pulang." "Apa kamu tidak ingin menginap semalam disini?" "Tidak. Aku mau pulang." *** Bersambung,...Melihat pesan dari Bastian, lagi-lagi Nara menghela napas pasrah. Ternyata benar dugaannya tadi, jika semua ini adalah ulah Bastian suami sirinya itu, bukan Bara sang asisten."291025." Gumam Nara saat menekan tombol pasword kamar Bastian."Eh, kok tidak bisa?" Nara bingung, seingat dia, itu benar angkanya."Duh, gimana ini? Berapa yang benar ya, angkanya?" Ucap Nara mulai mengingatnya baik-baik."281025, duh, kok salah lagi, sih? Gimana dong?""Jika diulang terus, bakalan aman gak ya? Kena blokir gak ya, itu password nya?" Nara mulai cemas. Takut ketidaktahuannya ini akan jadi masalah."Coba lagi deh, bismillah," ucapnya sambil menekan angka-angka yang ada di tombol pintu tersebut."Yah ... gagal lagi. Gimana ini?" Nara mulai putus asa. Kakinya sudah capek berdiri lama di sana."Padahal seingat aku, itu benar deh, pasword nya. Kenapa masih gagal terus, ya? Ingat banget kalau depannya itu awalannya angka dua, lalu ada sepuluh dan angka dua limanya,""Kenapa masih salah? Kira-kira, di
Tepat selesai Nara melaksanakan sholat dhuhur saat jam istirahat tiba, dia melihat pesan dari Bastian yang lagi-lagi harus membuatnya menghembuskan nafas berat.Ada aja kelakuan yang dilakukan dia untuknya. Selalu menganggu jam kerja dan cari-cari alasan agar bisa bertemu.Entah apa maunya Bastian ini, Nara sendiri juga bingung. Toh tidak ada hal penting yang harus dibicarakan, kenapa minta selalu pengen ketemu. Kan aneh? Pikir Nara.Cukup ingin tahu saja isi pesan itu, Nara mengabaikannya. Tidak ada niatan buatnya untuk membalas pesan tersebut yang isinya hanya untuk, menyuruhnya datang mengantar makan siang buat Bastian. Nara ogah, tidak mau bertemu Bastian lagi.Segera melipat mukena dan sajadah yang sudah digunakannya, Nara keluar dari ruang ibadah atau mushalla mini yang tersedia di hotel tersebut. Khusus untuk para karyawan yang tempatnya ada di belakang."Nara, apa kamu sudah selesai?" Tanya Hana yang baru saja datang."Sudah Han, kenapa?""Pak Bara tadi mencari mu." Ucap Hana
Tepat selesai Nara menutup pintu kamar Bastian, dirinya terkejut saat mendapati sosok Bella dan Hana temannya tak jauh dari tempatnya berdiri.Nara gugup, namun sebisa mungkin dirinya berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya."Em-mbak Bella?!" Nara menyapanya lebih dulu.Tak langsung menjawab, Bella justru mengamati seluruh penampilan Nara dari kaki hingga ujung kepala. Entah apa yang sedang dicari dan dipikirnya."Kenapa mbak? Apa ada yang salah?" Nara yang tak nyaman langsung bertanya."Apa kamu dari dalam kamar calon suamiku?" Bella bertanya dengan nada jijik saat melihat Nara yang notabennya adalah karyawan hotel ini. Yang dia anggap, tidak selevel dengannya.Dari segi kekayaan, Nara emang kalah jauh dari kehidupan Bella. Bella orang berada, glamor, sementara dirinya, orang tak punya dan juga hidup sebatang kara. Tidak seperti Bella yang masih memiliki keluarga lengkap juga hidup berkelimang harta dari orang tuanya. Level mereka berbeda.N
Di parkiran hotel, Nara yang dipaksa oleh Bastian untuk berangkat kerja bersama sejak dari rumah tadi akhirnya mau tak mau harus mengikuti inginnya. Tapi, benar saja seperti kekhawatirannya tadi, Nara bingung setelah melihat situasi yang ada ditempat parkiran mobil ini. Melihat ke sana kemari, dia berkata, ... "Kalau seperti ini, bagaimana caraku buat turun pak? Semua mata pasti akan tertuju pada mobil ini." Tanyanya pelan. "Turun saja, tidak akan ada orang yang melihatmu." Bastian menjawab santai setelah ia pastikan sendiri jika semuanya akan aman untuk istri sirinya itu turun dan masuk ke dalam. Tapi Nara, masih ragu saat akan membuka pintu mobil tersebut. Dia takut saat kakinya menginjakkan lantai tiba-tiba saja ada anak-anak hotel yang memergokinya dengan Bastian. Bisa kacau semuanya nanti. Walaupun status dirinya adalah istri siri, tetep saja buat Nara itu bukan ikatan yang sakral dan melegakan. Sebab belum tercatat di mata negara. "Nara?" Panggil Bastian saat Nara tak kunj
Pagi...Seperti biasa, Nara selalu bangun jam 4.40 menit agar tak terlambat datang bekerja.Mandi, hal pertama yang ia lakukan setelah bangun dari tidurnya. Dia juga masih mendapati Bastian tertidur pulas di atas kasur yang sama dengannya saat bangun tadi.Kasihan ... Tapi mau bagaimana lagi, semua itu inginnya sendiri. Bukan paksaan darinya apalagi rayuannya (Nara)."Astaghfirullah!!" Nara terkejut saat dirinya tiba-tiba saja mendapati Bastian yang sudah terduduk tegap di atas kasurnya."Bas-bastian?""Ka-pan kamu bangun?" Nara seketika bertanya. Takut jika Bastian sempat mengintipnya saat mandi tadi."Aku baru saja bangun setelah mendengar gemericik air dari belakang." Jawab Bastian jujur. Matanya pun, masih sangat berat untuk dibuka."Baru saja, atau sudah beberapa menit yang lalu?" Tanya Nara lagi yang masih kurang puas dengan jawaban Bastian."Baru. Baru juga duduk dan kamu sudah datang kemari." Jawabnya."Tidak berbohong 'kan?""Tidak Nara ... Aku berkata jujur. Jika kamu tidak
"Aku tidak akan mati sebelum punya anak 12 darimu, Nara. Asal kau tidak curang meracuniku malam ini." Menghela nafasnya panjang, Nara berkata, "Aku tidak sesadis itu, Bastian. Jika aku mau, aku sudah mem**nuhmu malam itu juga." Sahutnya sarkas. "Berarti, rasa belas kasihmu besar terhadapku." Bastian melambung tinggi berbunga-bunga hatinya mendengar penuturan Nara barusan. "Tidak juga. Itu hal wajar terhadap sesama ciptaan Tuhan yang maha Esa. Jangan berlebihan." Nara mematahkan semangat Bastian seketika itu juga. Membuat Bastian menghela nafas berat dan sabar. "Huh, ku kira...?" keluhnya. "Makanlah, keburu dingin nanti." Titah Nara mulai melahap nasi goreng yang baru saja dimasaknya. Duduk berhadapan, dia tak peduli dengan Bastian di depannya. Jika dia doyan silahkan dimakan, jika tidak terserah. Yang penting perutnya kenyang. "Masakanmu enak ... Kenapa gak daftar jadi koki saja di hotelku?" "Aku tidak ahli. Jika banyak permintaan, aku bisa keteteran saat membuatnya. R







