LOGIN
"Batalkan pernikahan ini! Aku tidak bisa datang!" Suara Bastian memecah keheningan dalam kamar tersebut.
Ponsel seketika ia matikan dan ia simpan kembali di atas meja. Berbalik belakang, dirinya mendapati gadis yang baru saja ia nodai semalam sedang menatapnya tajam. Bastian yang paham dengan tatapan gadis itu cukup menanggapinya dengan keadaan diri yang tenang dan santai. "Bastian, seenaknya kamu batalkan acara sakral itu?! Kamu benar-benar keterlaluan!" "Itu pernikahanmu. Dan kamu tahu, kamu telah memalukan seluruh keluarga besarmu di sana." Nara marah. Berapi-api menatap Bastian. Pria yang semalam dengan keadaan setengah sadar telah merenggut kesuciannya. "Ada apa denganmu, gadis kecil? Kurasa, aku tak melakukan kesalahan apapun." Ucapnya santai sambil melihat wanita yang sedang duduk di atas ranjang itu. "Kamu masih saja tak mengerti letak kesalahanmu dimana? Dengarkan aku baik-baik! Akan ku beritahu," "Pertama, kamu sudah menodaiku semalam. Kedua,- ?" Nara menghentikan sejenak ucapannya kala Bastian menyahut. "Huum? Lalu?" Sahutnya pelan tanpa amarah saat melihat Keynara. Nara sejenak melengos dari tatapan mata elang Bastian yang bisa kapan saja memabukkan dirinya itu. "Kedua, kamu sudah membatalkan pernikahanmu sesuka hati," "Itu artinya, di saat yang sama, kamu sudah menyakiti perasaan dua wanita." "Kamu benar-benar brengsek, brengsek kamu Bastian! Kurang ajar!" Umpat Nara menggebu. Bastian menarik napasnya dalam-dalam dan,... "Ada lagi yang ingin disampaikan?" Tanyanya sambil berjalan lebih dekat dengan ranjang Nara. "Kamu bajingan!" Sekali lagi, Nara mengumpatnya dengan kata-kata kasar. Menurutnya, kata-kata kasar itu tidaklah cukup untuk Bastian. Kalau perlu dan boleh, dia ingin sekali menghajar Bastian saat ini juga. Terlampau kesal dan marah dengan ulah Bastian semalam. Membungkuk sedikit menatap Nara, Bastian langsung mengusap lembut kepalanya sambil berkata, "Pergilah mandi! Bersihkan tubuhmu. Setelah itu kita sarapan." Tuturnya lembut. "Jangan sok perhatian, Bastian! Pikirkan perasaan calon istri dan keluarga besarmu sekarang!" "Mereka pasti akan kecewa dan marah besar karena kau permalukan!" "Satu lagi, kita tidak saling kenal sebelumnya. Jadi jangan sok menjadi bagian penting dalam hidupku!" "Untuk ke depannya nanti, aku tidak ingin mengenalmu lagi! Anggap saja, kita tidak pernah melakukan hal apapun sebelumnya," "Lupakan! Pokoknya lupakan. Titik!" Ucap Nara penuh penekanan. Tatapannya pun tajam mengarah Bastian. "Aku tidak akan lupa, Nara. Dan ke depannya nanti, kita akan sering komunikasi dan bertemu." Ujarnya. "Seperti janjiku yang akan bertanggung jawab seratus persen atas dirimu. Jangan lupakan itu!" Bastian tetap mengingatkannya dengan janjinya semalam dan tadi jika ia akan bertanggung jawab sepenuhnya atas Nara. "Aku tidak mau. Dan aku tidak sudi menerima tanggung jawab darimu." Nara tetap menolaknya. "Baik, kita lihat saja nanti." Bastian mengalah dari perdebatan mereka. Namun dibalik itu, ada senyum tipis tersungging dalam hatinya. Nara yang seperti bisa membaca pikiran orang seketika memakinya kembali. "Brengsek kamu, Bastian." Katanya dengan wajah yang merah padam sebab marah. Dia seperti sedang dipermainkan oleh Bastian. Mereka saling beradu tatap. Tanpa ada yang ingin mengalah dari salah satunya untuk mengalihkan pandangannya. Kobaran api terlihat jelas dimata Nara sejak tadi. Sementara Bastian, santai dan terlihat tetap tenang seperti tak terjadi masalah besar diantara mereka sebelumnya. Namun tiba-tiba,.... "Sebab diri lelaki brengsek, maka izinkan aku menjadi lelaki baik di hadapanmu," ucap Bastian manis. "Aku tidak peduli. Minggirlah!" Sahut Nara tak ada manis-manisnya sama sekali saat berkata. Bukan tangis lagi yang ia tunjukkan seperti semalam, melainkan wajah dan perasaan super kesal, marah, kecewa teramat dalam terhadap diri Bastian yang sudah menodainya. Kesal dan juga nyesal sebab kebaikan dirinya justru membawa petaka untuknya dan masa depannya kelak. Semua terjadi gara-gara dirinya mengantar minuman ke kamar Bastian semalam. Andai tahu akan terjadi seperti ini, maka akan ia biarkan teman seprofesinya yang mengantar minuman ke kamar Bastian. Tidak perlu repot diri ini menawarkan bantuan. Waktu berlalu,... Nara sudah selesai mandi dan memakai baju seadanya milik Bastian di kamar tersebut. Hanya kaos oblong berukuran big size dan celana panjang yang super besar kedodoran untuknya. Suara bel pintu memecah keheningan yang ada di kamar tersebut. Nara menoleh, tapi tidak ingin beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu. Dia takut jika yang datang teman seprofesinya. Jangan sampai, mereka melihat dirinya satu kamar dengan Bastian. Bisa jadi bumerang untuknya nanti. Bastian yang paham dengan keadaan ini tak banyak suara cukup dengan tindakan ia bangkit dari duduknya pergi membuka pintu. Dia tahu, yang datang itu asisten pribadinya yang ia suruh membeli makanan tadi. Benar saja setelah pintu dibuka, ada Bara di depannya. "Pagi, bos?" "Ya, pagi. Apa kamu sudah membawanya?" Tanya Bastian diambang pintu. "Sudah bos, semua lengkap di dalam sini," jawab Bara menyerahkan beberapa paper bag yang ia bawa kepada Bastian. "Terimakasih." "Jika ada yang dibutuhkan lagi, kabari saya bos." Pesan Bara. "Ya." "Oh ya, Om Saka dan tante Anja terus menghubungiku sejak pagi tadi. Menanyakan keberadaan anda sekarang." ucap Bara memberitahu. "Lakukan saja seperti yang kukatakan sebelumnya. Abaikan kalau perlu matikan atau blokir kontak mereka sementara." Saran Bastian tak peduli. "Sudah saya lakukan sesuai keinginan anda, bos." "Bagus." Bastian memujinya. "Kalau begitu, saya permisi." "Ya. Jangan lupa ambil kunci duplikat kamar ini di resepsionis." "Dan ingat, jangan beritahu siapapun tentang keberadaanku di sini!" Pesannya. "Baik bos, permisi." Pamitnya pergi dari sana. Mengunci kembali pintunya, Bastian berjalan mendekat ke arah Nara menyodorkan satu paper bag yang berisi pakaian wanita pada Nara. "Tidak perlu khawatir, yang datang tadi Bara." "Dia membawa pakaian untukmu. Kamu bisa menggantinya dengan yang baru." Tutur Bastian di hadapan Nara. "Terimakasih," sahut Nara tanpa basa-basi menerima paper bag tersebut. "Jika kamu nyaman dengan milikku, pakailah! Aku tidak keberatan." Ujar Bastian lagi memberi pilihan. "Aku akan memakainya," sahut Nara cepat, berlalu dari hadapan Bastian. Dia pergi ke kamar mandi mengganti pakaiannya di sana. Tapi alangkah terkejutnya saat dirinya melihat pakaian yang dibawakan asisten pribadi Bastian itu. "Astaghfirullah... Pakaian apa ini?!" Nara terkejut bukan main. Sebuah dress teramat mini dan ketat dengan belahan bawah yang teramat tinggi sampai dipaha membuatnya bergetar sendiri melihat itu. "Sebenarnya, mereka ini niat membelikan pakaian untukku apa tidak sih? Kalau niat, kenapa harus modelan begini?" "Ini bukan pakaianku. Tapi ini pakaian seorang LC." Ujarnya. "Keterlaluan sekali mereka. Bos dan asisten sama-sama gak ada akhlaq!" Gerutu Nara kesal sekali. Sebuah ketukan dan panggilan menghentikan fokusnya dari pakaian yang menurutnya sangat menjijikkan ini. Sangat tak pantas untuk dipakai. "Nara, apa kamu baik-baik saja di dalam?" Tanya Bastian saat mengetuk pintu kamar mandi. "Ya, aku baik." "Kenapa lama sekali? Cepat keluar!" Perintahnya. "Ak-aku...?" "Keluar Nara!" Perintah Bastian sekali lagi. Tak ingin berlama-lama dikamar mandi takut Bastian menggila, Nara memasukkan dress tersebut sembarangan yang penting asal masuk saja ke tempatnya. Ceklek!! Pintu dibuka. Bastian menyipitkan matanya saat melihat pakaiannya yang masih menempel ditubuh Nara. "Apa kamu tidak menggantinya?" Bastian spontan bertanya. "Ini bukan pakaianku. Kamu bisa memberikannya pada wanita lain. Maaf, aku pinjam yang kupakai." Jawab Nara acuh. "Apa Bara salah membelikan pakaian untukmu?" Nara hanya mengendikkan bahunya saja dengan terus berjalan melewati Bastian. "Nara, ayo jawab!" Bastian tidak puas dengan tanggapan tersebut. "Lihat aja sendiri." Ucap Nara sembari duduk di ujung tempat tidur. Mendengar ucapan Nara, Bastian langsung saja melihatnya. Dan .... "Astaghfirullah?!" Bastian sama terkejutnya seperti Nara. "Kenapa istighfar? Bukankah itu bukti jika selama ini kamu sering gonta-ganti wanita?" "Pakaian seperti itu 'kan, yang sering kau pesan dari asisten pribadimu untuk diberikan pada semua wanita-wanita yang sudah kau pakai?" "Nara, jangan memfitnah! Aku tidak pernah melakukannya." "Aku tidak percaya. Untung, mbak Bella tidak jadi menikah denganmu." "Walau pahit dijalani dan sangat memalukan sebab batal menikah, tapi setidaknya mbak Bella bisa terbebas dari laki-laki bren**ek, pemain wanita sepertimu!" Cibir Nara. "Astaghfirullah.... Nara, jangan keterlaluan!" "Aku hanya mengungkapkan sesuai fakta." *** Bersambung,...Melihat pesan dari Bastian, lagi-lagi Nara menghela napas pasrah. Ternyata benar dugaannya tadi, jika semua ini adalah ulah Bastian suami sirinya itu, bukan Bara sang asisten."291025." Gumam Nara saat menekan tombol pasword kamar Bastian."Eh, kok tidak bisa?" Nara bingung, seingat dia, itu benar angkanya."Duh, gimana ini? Berapa yang benar ya, angkanya?" Ucap Nara mulai mengingatnya baik-baik."281025, duh, kok salah lagi, sih? Gimana dong?""Jika diulang terus, bakalan aman gak ya? Kena blokir gak ya, itu password nya?" Nara mulai cemas. Takut ketidaktahuannya ini akan jadi masalah."Coba lagi deh, bismillah," ucapnya sambil menekan angka-angka yang ada di tombol pintu tersebut."Yah ... gagal lagi. Gimana ini?" Nara mulai putus asa. Kakinya sudah capek berdiri lama di sana."Padahal seingat aku, itu benar deh, pasword nya. Kenapa masih gagal terus, ya? Ingat banget kalau depannya itu awalannya angka dua, lalu ada sepuluh dan angka dua limanya,""Kenapa masih salah? Kira-kira, di
Tepat selesai Nara melaksanakan sholat dhuhur saat jam istirahat tiba, dia melihat pesan dari Bastian yang lagi-lagi harus membuatnya menghembuskan nafas berat.Ada aja kelakuan yang dilakukan dia untuknya. Selalu menganggu jam kerja dan cari-cari alasan agar bisa bertemu.Entah apa maunya Bastian ini, Nara sendiri juga bingung. Toh tidak ada hal penting yang harus dibicarakan, kenapa minta selalu pengen ketemu. Kan aneh? Pikir Nara.Cukup ingin tahu saja isi pesan itu, Nara mengabaikannya. Tidak ada niatan buatnya untuk membalas pesan tersebut yang isinya hanya untuk, menyuruhnya datang mengantar makan siang buat Bastian. Nara ogah, tidak mau bertemu Bastian lagi.Segera melipat mukena dan sajadah yang sudah digunakannya, Nara keluar dari ruang ibadah atau mushalla mini yang tersedia di hotel tersebut. Khusus untuk para karyawan yang tempatnya ada di belakang."Nara, apa kamu sudah selesai?" Tanya Hana yang baru saja datang."Sudah Han, kenapa?""Pak Bara tadi mencari mu." Ucap Hana
Tepat selesai Nara menutup pintu kamar Bastian, dirinya terkejut saat mendapati sosok Bella dan Hana temannya tak jauh dari tempatnya berdiri.Nara gugup, namun sebisa mungkin dirinya berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya."Em-mbak Bella?!" Nara menyapanya lebih dulu.Tak langsung menjawab, Bella justru mengamati seluruh penampilan Nara dari kaki hingga ujung kepala. Entah apa yang sedang dicari dan dipikirnya."Kenapa mbak? Apa ada yang salah?" Nara yang tak nyaman langsung bertanya."Apa kamu dari dalam kamar calon suamiku?" Bella bertanya dengan nada jijik saat melihat Nara yang notabennya adalah karyawan hotel ini. Yang dia anggap, tidak selevel dengannya.Dari segi kekayaan, Nara emang kalah jauh dari kehidupan Bella. Bella orang berada, glamor, sementara dirinya, orang tak punya dan juga hidup sebatang kara. Tidak seperti Bella yang masih memiliki keluarga lengkap juga hidup berkelimang harta dari orang tuanya. Level mereka berbeda.N
Di parkiran hotel, Nara yang dipaksa oleh Bastian untuk berangkat kerja bersama sejak dari rumah tadi akhirnya mau tak mau harus mengikuti inginnya. Tapi, benar saja seperti kekhawatirannya tadi, Nara bingung setelah melihat situasi yang ada ditempat parkiran mobil ini. Melihat ke sana kemari, dia berkata, ... "Kalau seperti ini, bagaimana caraku buat turun pak? Semua mata pasti akan tertuju pada mobil ini." Tanyanya pelan. "Turun saja, tidak akan ada orang yang melihatmu." Bastian menjawab santai setelah ia pastikan sendiri jika semuanya akan aman untuk istri sirinya itu turun dan masuk ke dalam. Tapi Nara, masih ragu saat akan membuka pintu mobil tersebut. Dia takut saat kakinya menginjakkan lantai tiba-tiba saja ada anak-anak hotel yang memergokinya dengan Bastian. Bisa kacau semuanya nanti. Walaupun status dirinya adalah istri siri, tetep saja buat Nara itu bukan ikatan yang sakral dan melegakan. Sebab belum tercatat di mata negara. "Nara?" Panggil Bastian saat Nara tak kunj
Pagi...Seperti biasa, Nara selalu bangun jam 4.40 menit agar tak terlambat datang bekerja.Mandi, hal pertama yang ia lakukan setelah bangun dari tidurnya. Dia juga masih mendapati Bastian tertidur pulas di atas kasur yang sama dengannya saat bangun tadi.Kasihan ... Tapi mau bagaimana lagi, semua itu inginnya sendiri. Bukan paksaan darinya apalagi rayuannya (Nara)."Astaghfirullah!!" Nara terkejut saat dirinya tiba-tiba saja mendapati Bastian yang sudah terduduk tegap di atas kasurnya."Bas-bastian?""Ka-pan kamu bangun?" Nara seketika bertanya. Takut jika Bastian sempat mengintipnya saat mandi tadi."Aku baru saja bangun setelah mendengar gemericik air dari belakang." Jawab Bastian jujur. Matanya pun, masih sangat berat untuk dibuka."Baru saja, atau sudah beberapa menit yang lalu?" Tanya Nara lagi yang masih kurang puas dengan jawaban Bastian."Baru. Baru juga duduk dan kamu sudah datang kemari." Jawabnya."Tidak berbohong 'kan?""Tidak Nara ... Aku berkata jujur. Jika kamu tidak
"Aku tidak akan mati sebelum punya anak 12 darimu, Nara. Asal kau tidak curang meracuniku malam ini." Menghela nafasnya panjang, Nara berkata, "Aku tidak sesadis itu, Bastian. Jika aku mau, aku sudah mem**nuhmu malam itu juga." Sahutnya sarkas. "Berarti, rasa belas kasihmu besar terhadapku." Bastian melambung tinggi berbunga-bunga hatinya mendengar penuturan Nara barusan. "Tidak juga. Itu hal wajar terhadap sesama ciptaan Tuhan yang maha Esa. Jangan berlebihan." Nara mematahkan semangat Bastian seketika itu juga. Membuat Bastian menghela nafas berat dan sabar. "Huh, ku kira...?" keluhnya. "Makanlah, keburu dingin nanti." Titah Nara mulai melahap nasi goreng yang baru saja dimasaknya. Duduk berhadapan, dia tak peduli dengan Bastian di depannya. Jika dia doyan silahkan dimakan, jika tidak terserah. Yang penting perutnya kenyang. "Masakanmu enak ... Kenapa gak daftar jadi koki saja di hotelku?" "Aku tidak ahli. Jika banyak permintaan, aku bisa keteteran saat membuatnya. R







