Sesampainya di rumah, aku masuk lewat pintu belakang menuju kamar mandi. Membasuh wajah yang sembab ini agar tidak terlalu kentara jika aku habis nangis. "Ya Allah zalia! Ibu sampai kaget. Ibu pikir tadi siapa yang ada di kamar mandi. Soalnya Ibu tidak lihat kamu masuk rumah tadi," ujar Ibu saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Bukan hanya Ibu saja yang kaget tapi aku juga."Iya Bu, tadi Zalia kebelet mau ke kamar kecil. Makanya sampai langsung masuk kamar mandi," jawabku. "Alia mana, Bu?" lanjutku. Aku mencium bau minyak telon dari tubuh Ibu, itu artinya Ibu baru saja habis memandikan Alia."Ada di kamar, sedang tidur," Jam baru menunjukkan pukul dua siang, semenjak tinggal di rumah Ibu. Kehidupan putriku jadi lebih teratur, Ibu sudah terbiasa memandikan kami dulu sebelum di suruh tidur siang. Katanya biar tidurnya lebih nyaman saat badan bersih dan wangi. Hal itu juga yang ia lakukan pada Alia saat ini."Terima kasih, Bu. Sudah mengurus dan merawat Alia. Maaf jika selama i
"Tidak usah repot-repot, Bu. Biar Zalia cari kerja saja dulu, Bu. Aku sadar ini semua salahku, Bu. Maafkan aku yang selama ini membantah dan mengabaikan nasehat Ibu." tolakku halus.Ibu kembali menghela napas. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu menarik napas panjang hari ini."Kamu jangan sungkan Zalia, Ibu tahu kamu membutuhkannya, lagi pula Ibu hanya meminjamkannya padamu. Bukan memberikannya. Kamu bisa mengembalikannya pada Ibu secara beransur-ansur. Hanya ini yang dapat Ibu lakukan padamu. Ibu tidak bisa memaksa Zahra mengembalikan uang itu, apa lagi mengambil alih toko itu kembali. Karena walau bagaimanapun, Zahra adalah anak tertua Ibu, ia juga yang menjaga dan merawat Ibu saat Ibu sakit dulu. Jadi ikhlas kan saja semuanya, yang penting bagianmu setiap bulan untuk kedepannya aman di tangan Ibu. Pakai lah tabungan Ibu untuk modal usahamu!" "Terima kasih, Bu." balasku. Ibu tersenyum.Jika Ibu sudah memaksa, maka tak ada yang dapat aku katakan lagi selain ucapan terima kasih. Bah
Mbak Zahra tersenyum mengejek. "Kamu memang wanita berwajah tebal, makanya tak tahu malu kalau orang-orang tahu jika kamu itu anak durhaka. Saat orang tua sakit jangankan merawat datang saja tidak, sekarang malah minta modal untuk buka toko! Sudah berapa banyak uang Ibu yang kamu habiskan untuk modal tokomu ini, hah!" bentak Mbak Zahra. "Jangan berkata sembarangan Mbak! Jika ucapan itu tidak benar, maka akan jadi fitnah!" sentakku. Aku tentu tak mau diam saja."Fitnah apa? Memang itu kenyataannya kan, kamu membuka toko ini dengan tabungan Ibuku!" sungut Mbak Zahra kembali. Sepertinya ia sengaja meninggikan intonasi suaranya agar orang-orang bisa mendengarnya. Aku mengerti sekarang, apa tujuan ia ke sini. Ia hanya ingin mempermalukan aku."Benar atau tidak benar, kamu tidak patut mengungkitnya di depan orang banyak seperti ini, Mbak! Walau bagaimanapun kita adalah saudara. Selesaikan semua ini secara baik-baik tanpa di dengar orang lain." tegurku. Tapi tampaknya Mbak Zahra tidak terim
FlashbackHujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, aku turun dari taksi lalu berjalan tergepoh-gepoh menyusuri gang kecil yang terdapat banyak bedengan, dengan cepat aku berjalan ke pintu bedengan nomor empat dari gerbang.Di sekitar sini banyak kontrakan serta kost-kosan. Baik kost putri ataupun putra. Karena letaknya memang strategi, tidak jauh dari universitas juga tidak terlalu dekat.Tampilanku saat ini mungkin sudah seperti orang gila. Aku yang sedang tidur nyenyak harus terbangun dan terburu-buru ke sini, saat mendapatkan kabar dari Mbak Zahra beberapa jam yang lalu. Siapa yang tidak panik, saat Mbak ku menelepon dengan suara meringis menahan sakit, tapi saat di tanya dia kenapa? Ia justru tidak menjawab. Hanya mengatakan 'datang ke sini cepat, aku butuh bantuanmu! Jangan sampai Ayah dan Ibu tahu!'Untung saja, tadi pagi Ibu pergi ke Bandung, menjaga eyang putri yang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan Ayah, selama sebulan ini telah pergi tugas di luar kot
Kenapa bengong Zalia? Cepat bantu Mbak turun!" sentaknya padaku membuat aku tersadar."Ahh ... iya, Mbak. Maaf!" Aku bergerak dari dudukku dan langsung keluar dari dalam mobil. Memutari mobil dari belakang menuju pintu satu lagi, pintu dimana Mbak Zahra duduk. Baru saja aku membuka pintu mobil, aku langsung mencium aroma yang begitu asing menyeruak di hidungku, mataku menyipit melihat celana kain yang di gunakan mbak Zahra basah. Aku yang menghalangi cahaya lampu menggeser tubuhku sedikit, betapa terkejutnya aku melihat adanya genangan air di bawah kaki Mbak Zahra.Dengan mata yang melebar sempurna, aku kembali menatap ke arah perut Mbak Zahra. Berbagai spekulasi muncul di kepalaku."Cepat Zalia! Mbak sudah tak tahan lagi, apa kamu mau membunuh, Mbak!" bentaknya lagi padaku. Tak terhitung sudah berapa kali ia membentakku malam ini.Dengan hati-hati aku membantu Mbak Zahra keluar dari dalam mobil, membiarkan mobil itu pergi meninggalkan kami. Aku menarik napas panjang, udara pagi yang
"Tarik napas lagi, lalu hembuskan ... sedikit lagi! Dorong lagi," ujar wanita tua itu. Melihat dari caranya menangani. Sepertinya ia seorang dukun beranak. Hatiku mulai bertanya-tanya, dimana Mbak Zahra menemukan tempat terpencil ini."Sakit, Mbah!" teriak Mbak Zahra. Ia merintih dan menjerit, kedua tangannya menarik ujung kasur di sisi kiri dan kanannya dengan erat. Peluh serta air mata bercucuran menjadi satu.Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku hanya bisa berdiri tegak sambil melihat ke arah wanita tua itu dengan takut. Seumur hidupku, baru kali ini aku menghadapi prosesi melahirkan secara langsung."Ayo! Dikit lagi! Itu kepalanya sudah nampak!" ujar Wanita tua itu lagi. Mbak Zahra kembali mengejan, mengikuti perintah sang dukun beranak."Arhkkkk ...,"Oek ... Oek ... Oek ...Suara bayi menggema begitu nyaring di kamar ini, kamar yang kata Nenek tua itu bilang kedap suara. Bersamaan dengan bayi itu lahir, aku terjerembab ke lantai. Kakiku seolah tak kuat menopang tubuhku. Air ma
Kamu seperti wanita berhati iblis di mataku, kamu tidak seperti Mbak Zahra yang aku kenal! Aku tidak akan memberikan bayi ini pada kalian, jika kalian memaksa. Maka aku akan mati di sini bersama bayi ini, biar Ayah nanti mengusut kematianku dan menemukan kebenaran akan semua ini!" ancamku. Pria itu dan Mbah Dami terkejut dan terdiam, sedangkan Mbah Zahra wajahnya tampak ketakutan."Se-sekarang a-apa maumu, Zalia? Apa kamu mau kedua orang tua kita tahu, dan membuat a-ayah membunuhku?" ujar Mbah Zahra terbata dengan nada suara yang bergetar. Aku menutup mataku sejenak, bulir-bulir air mata kembali jatuh di pipiku. Membuka mataku, menatap wajah kecil yang begitu sembab. Suara kecilnya yang begitu nyaring kini sudah perlahan mereda. Tampaknya bayi ini sudah mulai kelelahan menangis. Bibir kecil itu mengemut punggung tangannya sendiri dengan lahap. Sengguh terenyuh hatiku melihatnya.Aku kembali menarik napas lelah sebelum kembali berucap pada Mbak Zahra.Kamu seperti wanita berhati iblis
Pov. Zahra"Kurang ajar Zalia. Berani-beraninya ia mengancamku dengan kejadian delapan tahun yang lalu. Sialan!" gerutuku.Aku mengemudikan mobil membelah keramaian, menuju ke rumah dengan rasa jengkel. Aku tak berhenti mengumpat dan memaki Zalia di dalam hati. Setelah sekian lama, baru kali ini wanita itu mengeluarkan kelemahanku. Mengingatkanku kembali, akan aib yang kututupi selama bertahun-tahun. Dari dulu, ya ... dari dulu aku memang tak pernah menyukai Zalia. Walau kami terlahir dari Ibu dan Bapak yang sama. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai adikku. Usiaku terpaut tiga tahun lebih tua darinya.Aku membenci perempuan itu, rasa benciku padanya mulai tumbuh saat ia mulai masuk taman kanak-kanak. Semua perhatian tertuju padanya. Ditambah semenjak Ibu yang sibuk mengelola toko serta Ayah yang sering dinas di luar kota. Membuat hari-hari kami lebih banyak pada pengasuh. Mbak Nana nama pengasuh kami itu. Saat itu umur Mbak Nana sekitar dua puluh tiga tahun, saat sudah menikah p