“Nicho, sudah sadar…!”
Seruan itu membuat Raffaelle yang baru kembali ke tempatnya mengintai Anne tadi jadi terpancing untuk mengintip, melihat reaksi gadis yang di sukainya dari balik kaca jendela transparan. Sungguh, hatinya menjadi panas saat melihat Anne malah bertatap mata dengan pria itu. ‘Ini tidak boleh terjadi, bagaimanapun caranya, Anne tidak boleh bersamanya.’ Tangannya terkepal penuh tekad. Dering panggilan terdengar, Raffaelle baru sadar bahwa ponsel Anne masih di dalam sakunya. Tulisan di layar ponsel membuatnya tahu si penelpon adalah ibunya Anne. ‘Haruskah aku menjawabnya?’ Tak ingin membuatnya cemas, akhirnya dia menjawab panggilan. “Ya halo Bu.” “Assalamualaikum, ini Raffaelle ya? Jadi Anne sedang bersamamu?” Astaga! Ibunya Anne bahkan belum diberitahu tentang hal yang menimpa putrinya barusan, dia harus jawab apa? “Nak Raff?” “Ah ya Bu, maaf. Sebenarnya… Anne sedang menjenguk temannya yang kecelakaan di rumah sakit.” “Baguslah kalau dia bersamamu, jadi ibu tak perlu khawatir lagi dia akan keluyuran sendirian.” “Ibu tenang saja, nanti aku juga yang akan mengantarnya pulang.” “Baiklah, makasih banyak nak Raffaelle. Ibu titip Anne padamu, hati-hatilah berkendara.” Raffaelle mengakhiri panggilan, lalu melihat salah satu teman Anne keluar dldan berjalan kearah toko yang ada diujung jalan. Dia merasa gadis itu akan membeli sesuatu, jadi Raffaele mengikutinya. “Eh kamu bukannya… kukira kamu sudah pergi.” Raffaelle tersenyum kecil. “Aku masih menunggui Anne, ibunya tadi menelepon dan menyuruhku menjaganya.” Gadis itu terhenyak, “Apa bibi Felicia sudah tahu kabar ini?” Raffaelle menggeleng, “Mana aku tega memberitahunya.” “Kamu benar, lagipula kita tidak boleh membuatnya cemas. Kalau Anne tahu dia pasti akan sangat bersyukur. Oh ya, kenapa kamu tak ikut masuk saja kedalam? Kamu punya alasan kan?” Raffaelle seakan mendapat hal bagus, ajakan teman Anne ini bisa menjadi alasan untuknya kembali masuk ke dalam rumah sakit. “Saya mau bayar belanjaannya mba’.” Seorang penjaga kasir memindai semua yang didalam keranjang. Raffaelle yang kebetulan melihat sesuatu untuk di belinya, langsung menyerobot di meja kasir tadi. “Tambahkan ini dan sebutkan totalnya.” Nadine terpaku, lalu memandang pria disebelahnya kini dengan sorot kagum. ‘Ternyata dia benar-benar cowok tajir.’ “Ayo kita kembali ke dalam.” Suara yang lembut itu mengejutkan Nadine hingga dia gelagapan. “Eh, sudah selesai? Sini biar aku yang bawa.” Sayangnya, Raffaelle tak mengizinkan gadis itu merebut kantong belanjaan tadi dari tangannya. “Tanganku masih kuat untuk membawanya.” ‘Sikapnya manis sekali.’ Nadine mengedip-ngedipkan matanya karena tertarik dengan pria ini. Tapi Raffaelle datar, dia berlalu dari sana membiarkan gadis itu berdiri sendirian. “Hei, kenapa kamu pergi begitu saja.” Nadine menyusulnya dan langsung menyeru ketika mencapai pintu ruangan. “Anne, ibumu menelpon…” Sontak gadis bernama Anne itu gelagapan memeriksa sakunya. “Ponselku…” “Ada disini.” Anne menoleh, melihat pria yang tidak dipedulikannya tadi. “Kak Raff…” Pria itu memberikan benda pipih itu pada Anne. “Ibumu menitipkanmu padaku, jadi jika berkenan aku akan mengantarmu pulang malam ini.” Situasi membeku, Anne memeriksa riwayat panggilan di ponselnya. “Kakak tidak beritahu ibu tentang ini kan?” “Aku tak ingin menyusahkan orang tua…” Anne menatap ke luar jendela. “Pasti ibu sekarang sendirian dirumah, aku harus pulang. Tapi–” pandangannya beralih menatap pria yang masih terbaring dengan infus ditangannya. “Kalau kamu cemas dengan ibu, kamu bisa pulang dan kembali besok pagi. Biar kami yang menjaganya disini.” Pendapat Maureen disetujui dua lainnya. “Benar, tapi keadaanmu masih–” Rasanya agak berat, tapi melihat ekspresi teman-temannya yang begitu meyakinkan, akhirnya Anne setuju. “Kalau begitu kalian bantu aku jaga kak Nicho ya, lagipula ini sudah larut malam, aku harus pastikan ibu tidur dengan tenang dirumah.” “Tunggu Anne, kamu pulang bersamanya?” Sepertinya Nicho tidak mempercayai pria yang menenteng kantong belanjaan itu, seakan ada firasat lain. “Hmmm, lagipula arah rumah kami sama, dia tetanggaku.” Raffaelle mendengus saat pria itu merasa sok perhatian pada Anne, dia yang sudah terlanjur membenci pria itu, ikut menjawab. “Ibunya juga berpesan agar aku mengantarnya pulang sampai ke rumah.” "Sudahlah, lagipula bukankah dia sudah dipercayakan ibunya Anne?" "Benar, tapi..." "Kalau begitu kami pergi dulu." Ingin rasanya Nicho mencegah Anne pergi, tapi gadis itu sudah memunggungi mereka dan berlalu dari sana. “Bantu aku mengintrogasi Anne besok.”“Jessi, apa yang kamu lakukan?”Joshua segera berlari menghampirinya.Tetapi saat berusaha meraih pisau itu dari Jessica, tiba-tiba gadis itu menjerit keras dan menjatuhkan pisaunya. “Argh!”Melihat Jessica berjongkok, Nadine bahkan Raffaele mendatanginya untuk menenangkan. Tetapi Jessica kian mengamuk. “Lepaskan aku! Kenapa kalian menghalangiku?” Nadine gelagapan melihat Jessica terus meronta."Tante, kenapa kamu bodoh sekali? mau-maunya diajak menikah sama psikopat itu!” PLAK!Jessica meringis memegangi pipinya setelah jarinya menunjuk tajam ke Raffaele. Tetapi itu membuatnya semakin kesetanan. "Dasar psikopat, psikopat bucin!"BUGH!Tidak terima dikatakan itu Raffaele bahkan meninjunya dan bersarang di bibir Jessica hingga darah segar mengalir di sudut bibirnya. Jessica terisak pelan, lalu pandangannya terlihat mengabur dan terjatuh ke lantai. Jessica pingsan!“Apa yang kamu lakukan padanya?”*"Gimana?"Nadine mendatangi dokter Ryan dan berharap mendapat kabar baik. “Enggak ter
Jessica baru saja mau pergi mencari Tante sekaligus ibu angkatnya, tetapi ternyata sosok yang ingin dia temui kini malah mendatanginya lebih dulu.Tidak seperti biasanya, Nadine yang sedari dulu selalu perhatian padanya, kali ini datang dengan dingin. Dia langsung menggenggam tangan Jessica. "Jessi, bisa bantu aku?”Jessica menatap Nadine penasaran, membiarkan ibu angkatnya itu membisiki sesuatu. Tetapi dia enggan mengatakan bahwa dia sama sekali tak pernah disentuh oleh Raffaele. Lagipula, anak itu juga tak perlu tahu urusan mereka.Memikirkan ini sikap Raffaele padanya, tiba-tiba Nadine membuka mulut."Kurasa ini akan berakhir."Jessica tertegun dan mengernyit, "Ada apa tan?""Aku lelah, aku mau cerai aja ...""Apa?” Nadine ingat dengan kendala Jessica saat ini. Jadi dia terpaksa mengulang perkataannya dengan suara keras.Sebelum Nadine selesai bicara, Raffaele muncul dan langsung menampar wajahnya dengan keras.Pria itu merasa citranya sebagai seorang suami telah sirna, dia menunj
Sebelum pergi, Nadine kembali menatap Raffaele dan akhirnya menanyakan hal yang tidak bisa dia pendam dalam hatinya, "Raff, kamu masih mencintai Anne?"Raffaelle merasa tingkah Nadine sangat aneh. Memangnya hanya karena menikahinya, wanita itu bisa langsung dipanggil Istri Raffaele?Akhirnya Raffaele menjawab dengan kesal, "Ini masih jam kantor, apa pekerjaanmu sudah selesai? Bukannya agensimu masih sibuk?”Pria lain biasanya akan melarang istrinya bekerja dan bahkan menyuruh mereka melepaskan pekerjaannya, tetapi Raffaele malah menyarankan dia terus sibuk. Nadine akhirnya kembali pulang, Sesampainya di rumah, Nadine melihat Jessica duduk merenung sendirian di ruang tamu. Ketika Nadine menghampirinya, ponsel di samping kasurnya tiba-tiba berdering.Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Nadine mengangkatnya dan mendengar suara manis seorang wanita. "Halo? Nana?”Suara ini… Nadine merasa mengenalnya. Dia menjauh meninggalkan Jessica sendirian. Membiarkan gadis itu keheranan
"Kukira siapa datang malam-malam begini. Ada urusan apa, Nyonya Jenya?"Roy tercengang melihat penampilan Jenya saat ini. Dia merasa wanita itu sudah banyak berubah dan menjadi agak konservatif (kolot dan apa adanya)Entah kenapa, Roy tiba-tiba jadi ingin tahu apa yang terjadi padanya belakangan ini."Sebenarnya aku mau cerita sesuatu, tapi kamu mau dengar nggak?” sorot mata Jenya terlihat cemas dan merasa bersalah.Roy memicingkan matanya, seolah ingin menerawang Jenya. Namun, tatapan panas itu membuat telapak tangan Jenya berkeringat. Tetapi dia memaksakan diri untuk tetap tenang. "Nyonya Jenya, kamu mau cerita sambil berdiri di luar?"Jenya tiba-tiba melangkah maju, mendorong Roy masuk ke dalam menutup pintu dengan tangannya yang lain.Udara di dalam ruangan seketika terasa lebih tipis. Sebelum Jenya sempat bicara, Roy menganggapnya lain dan membungkam bibir merahnya dengan ciuman. “Hei, bukan ini yang aku maksud!” Jenya mengepalkan tinjunya, mendorong pria itu dengan kuat. Roy
Seharusnya malam ini Ryan pulang ke rumahnya, tetapi dia masih punya tanggung jawab menjaga gadis yang dia selamatkan sampai dijemput oleh pihak keluarganya. Saat Ryan memilih mengerjakan tugas laporannya di ruang teras, suara pecahan kaca mengejutkannya dan penghuni penthouse itu. “Siapa sih yang mecahin kaca?”Pria itu melihat seorang ART nya keluar dengan tergesa untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di atas tanah samping teras. “Ada apa bi?”Sang ART mendongak. “Enggak tau pak, mungkin dari kamar atas. Saya langsung kesini pas dengar sesuatu yang jatuh.”Ryan menatap ke tingkat atas, “Disitu kamar yang dipakai Jessica kan?” Merasa ada sesuatu yang tidak beres, gegas Ryan berlari ke lantai atas dengan perasaan tidak tenang. Tatapannya langsung mengarah ke pintu kamar ketika tiba disana. Karena dikunci dari dalam, Ryan panik dan mulai mendobrak pintu kamar. “Jessi, apa yang kamu lakukan?” Pintu berhasil terbuka dan Ryan melihat tirai-tirai jendela yang bergerak terkena
"Jessi masih nggak bisa dihubungi?” Joshua menggeleng lemas ketika di tanyain Nadine. Pasalnya, mereka sudah mencari informasi terkait menghilangnya Jessica dan baru tiba di rumah. Nadine menghela nafas, lalu duduk di sofa mengeluhkan ini. Sementara Joshua mondar-mondir, sambil terus mencoba menelpon. “Teleponnya juga nggak aktif-aktif, biasanya dia langsung jawab kalau di telepon.”“Ya tuhan, semoga aja dia nggak apa-apa. Lagian, gadis seumuran itu seharusnya udah bisa jaga diri.” Meski Nadine mengatakan itu, tapi hatinya terus dilanda kecemasan. “Jessica bukan anak nakal, nggak mungkin keluyuran berhari-hari di tempat orang.” Joshua berbicara dengan suara kecil, "Bukan itu yang Tante cemaskan, tapi baru-baru ini ada rumor tentang kasus pembunuhan berantai yang membunuh gadis-gadis muda.”Pikiran Joshua semakin kusut, ia semakin kehabisan akal dan depresi. Namun dia tidak membiarkan hal itu terjadi. “Aku harus cari Jessica. Semoga kali ini dia bisa ditemukan.” Joshua bangkit dari