Lana tengah memeriksa laporan tambahan di mejanya, tiba – tiba terdengar ketukan di pintu ruangannya. Ia mendongak dan melihat seorang pria dengan penampilan yang agak tak biasa masuk tanpa diundang. Dengan setelan serba hitam yang sudah tampak usang, mata tajam yang menyorot keingintahuan, dan senyum tipis yang seolah menyimpan rahasia, pria itu tampak tidak seperti orang kebanyakan. Di lehernya tergantung kalung dengan batu berwarna merah tua yang terlihat sangat antik.
Lana menatap pria itu dengan heran, kemudian bangkit dari kursinya. “Maaf, Anda siapa ya? Saya sedang sibuk dan tidak menerima tamu tanpa janji.”
Pria itu tersenyum simpul. “Namaku Raka Pradipta. Aku seorang ahli paranormal dan mungkin sedikit eksentrik menurut sebagian orang. Aku di sini untuk membantumu dalam kasus kematian Dimas Hartanto.”
Lana mengangkat alis. “Ahli paranormal?” Di satu sisi, ia merasa skeptis. Namun, kehadiran Raka tampak tak biasa. Dia berbicara seolah – olah memiliki informasi yang relevan dan menganggap dirinya sudah terlibat dalam kasus ini.
“Maaf, Tuan Raka,” ujar Lana sambil menahan keraguan dalam suaranya, “Tapi kami di sini bekerja berdasarkan fakta dan bukti, bukan hal – hal yang berhubungan dengan dunia lain.”
Raka tertawa kecil. “Kamu benar – benar orang yang logis, Detektif. Tapi percayalah, dalam beberapa kasus, logika saja tidak cukup. Ada hal – hal yang melampaui pengetahuan manusia, dan kutukan cermin antik adalah salah satunya.”
Kata “kutukan” langsung menarik perhatian Lana. Selama ini, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin antik di tempat kejadian. Namun, mendengar bahwa ada seseorang yang meyakini bahwa cermin tersebut terkutuk, semakin menambah rasa penasaran Lana. “Apa yang anda ketahui tentang cermin itu?” tanyanya, mulai terbuka pada kemungkinan baru.
“Banyak hal,” jawab Raka, suaranya lebih serius. “Cermin itu bukan sekadar benda antik. Ada sejarah kelam yang mengikuti keberadaannya. Ini adalah salah satu dari sedikit benda yang disebut ‘Cermin Ratu Sekar Sari,’ buatan seorang dukun sakti dari masa lalu yang berpengaruh dalam kerajaan Nusantara kuno. Cermin ini konon dapat membuka jalan ke dunia lain, mengungkapkan bayangan dari dimensi yang tak terlihat.”
Lana mendengarkan dengan seksama, meskipun skeptisisme masih memenuhi pikirannya. “Dan anda yakin bahwa cermin itu benar – benar memiliki kekuatan semacam itu?”
Raka mengangguk pelan. “Bukan sekadar kekuatan, tapi kutukan. Siapa pun yang mencoba melihat terlalu dalam, atau mencari tahu tentang sejarahnya, akan terperangkap dalam bayang – bayang cermin tersebut. Bukan kebetulan jika Dimas menemui ajalnya di dekat cermin itu. Dia sudah masuk terlalu dalam, dan cermin itu mengambil sesuatu darinya.”
Pernyataan itu membuat bulu kuduk Lana meremang. Ada sesuatu yang menakutkan sekaligus menarik dalam cerita Raka. Namun, ia berusaha menjaga profesionalitasnya. “Baiklah, Tuan Raka. Misalnya saya percaya pada cerita Anda, apa alasan Anda datang ke sini dan menawarkan bantuan?”
Raka menatap Lana dengan pandangan intens. “Kau harus tahu bahwa cermin ini bukan sekadar objek penyelidikan. Semakin dalam kau menyelidiki, semakin dalam pula kau akan terlibat dalam kutukannya. Dan ketika cermin itu mulai merasakan keberadaanmu, kau tidak akan bisa mundur lagi. Aku datang karena aku tahu kau juga akan membutuhkan bantuan.”
Lana terdiam sejenak. Selama ini, ia telah melihat berbagai hal dalam pekerjaannya sebagai detektif, tetapi tak ada yang mendekati keanehan ini. Meskipun cerita Raka tampak sulit dipercaya, perasaan di hatinya berkata lain. Rasa penasaran akan kemungkinan adanya dimensi atau kekuatan lain mulai mengusiknya.
“Apa yang perlu saya lakukan?” Lana akhirnya bertanya, meskipun ia tahu ini adalah langkah yang mungkin akan membawanya lebih dalam ke dalam misteri.
“Kita harus melacak asal usul cermin ini,” kata Raka. “Cermin ini bukan milik sembarang orang. Ada sejarah panjang di balik pembuatannya, dan aku yakin ini tidak berakhir di sini saja. Semakin kita mengetahui tentang pembuatnya, Ratu Sekar Sari, semakin kita bisa memahami bagaimana menghentikan pengaruh cermin ini.”
“Ratu Sekar Sari?” Lana mengerutkan kening. Nama itu baru baginya, tetapi sepertinya Raka memiliki informasi mendalam tentang sosok ini.
“Ya,” jawab Raka. “Menurut cerita, dia adalah seorang ratu sekaligus dukun sakti yang hidup beberapa abad lalu. Dia dikenal memiliki ilmu mistis dan dipercaya mampu melihat bayangan masa depan. Cermin itu dibuat dengan tujuan tertentu, mungkin untuk menjebak atau mengunci sesuatu di dalamnya.”
Lana mencoba mengolah informasi ini. Bayangan Dimas dan catatannya yang aneh kembali muncul dalam pikirannya. Apakah Dimas menyadari kutukan cermin itu atau hanya sekadar terjerat dalam rasa penasarannya yang mendalam?
“Bagaimana anda bisa begitu yakin dengan semua ini?” tanya Lana.
Raka tersenyum tipis, seolah – olah sudah menebak pertanyaan itu akan datang. “Aku sendiri pernah berhadapan dengan cermin serupa, meski yang satu ini jauh lebih kuat. Kau akan kaget mengetahui betapa banyak benda – benda seperti ini yang tersebar di Nusantara, masing – masing memiliki kekuatan dan cerita yang unik. Aku sendiri pernah merasakan pengaruh cermin itu, meski hanya sebentar. Aku bisa melihat… bayangan, sesuatu yang tampak nyata tapi berada di luar jangkauan.”
Lana terdiam, mencoba mencerna penjelasan Raka. Walau rasanya sulit dipercaya, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya berpikir dua kali. “Kalau begitu, apa langkah kita berikutnya?”
“Kita harus kembali ke tempat cermin itu,” jawab Raka tanpa ragu. “Aku bisa merasakan energi yang ditinggalkan, jejak dari orang – orang yang sudah terperangkap dalam bayangan cermin. Jika kita bisa melacak energi itu, mungkin kita bisa mengungkap rahasia yang sebenarnya.”
Lana merasa tertarik, tetapi juga enggan. Menghadapi sesuatu yang mungkin bukan berasal dari dunia ini bukanlah sesuatu yang dia pelajari dalam akademi kepolisian. Namun, nyawa Dimas dan kemungkinan korban lainnya terus mengusiknya. Ia tahu bahwa menolak tawaran ini berarti melewatkan potensi jawaban untuk kasusnya.
“Baiklah, aku akan ikut,” kata Lana akhirnya. “Tapi ingat, ini tetap penyelidikan resmi. Aku tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang bisa mengganggu penegakan hukum.”
Raka tersenyum puas. “Tentu, Detektif. Aku hanya ingin membantumu menemukan kebenaran, meskipun kebenaran itu mungkin bukan sesuatu yang ingin kau ketahui.”
Lana mengangguk dan mengambil jaketnya. Mereka berdua keluar dari kantor dan menuju tempat kejadian, di mana cermin itu masih disimpan sebagai barang bukti. Malam semakin larut, dan suasana di luar kantor terasa semakin dingin dan sunyi. Ketika mereka mendekati bangunan fakultas tempat Dimas ditemukan, Lana merasakan atmosfer yang berbeda, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang – bayang.
Raka berhenti di depan ruangan di mana cermin itu disimpan. Dia memejamkan mata, menghela napas panjang, dan mengangkat tangannya, seolah mencoba merasakan kehadiran sesuatu yang tidak terlihat. “Energi di sini kuat, lebih kuat dari yang kubayangkan.”
Lana menatapnya dengan rasa ingin tahu sekaligus kewaspadaan. “Apa yang kau rasakan?”
Raka membuka matanya perlahan. “Bayangan. Ada jejak orang-orang yang terperangkap dalam pantulan cermin ini. Mereka tidak lagi hidup, tapi juga belum mati. Mereka berada di antara dunia kita dan dunia lain.”
Lana menelan ludah, rasa takut mulai merayap di hatinya. Namun, ia menenangkan dirinya dan kembali fokus pada tugasnya. Bersama Raka, ia akan melangkah lebih jauh, mencoba menguak kebenaran di balik kutukan yang melekat pada cermin ini. Dengan tekad yang semakin kuat, Lana memasuki ruangan tersebut, bersiap menghadapi misteri yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Lana menatap inti kekuatan itu, lalu menatap Raka. Keputusan ini akan mengubah segalanya.Dia harus memilih.Menghancurkan inti dan mengorbankan Raka?Atau membiarkan portal tetap terbuka dan mempertaruhkan dunia manusia?Tangannya gemetar. Waktu hampir habis.Lana menarik napas dalam-dalam.Dan kemudian, dia mengambil keputusan.Lana menutup matanya sejenak, lalu dengan penuh tekad, menghancurkan inti kekuatan cermin. Cahaya biru itu berkedip sesaat sebelum meledak, menciptakan gelombang energi yang menyapu seluruh dimensi roh dan dunia nyata.Teriakan Ratu Sekar Sari menggema di udara, tubuhnya memudar menjadi abu sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dunia roh mulai runtuh, menghisap semua jiwa yang tersesat, termasuk bayangan-bayangan yang sebelumnya ingin melarikan diri ke dunia manusia.Di dunia nyata, cermin yang tersisa hancur menjadi serpihan kecil. Port
Sebelum Lana bisa membuat keputusan, suara keras bergema di sekitar mereka. Pintu ruang bawah tanah tempat mereka berdiri didobrak dengan paksa. Sekelompok orang berpakaian hitam dengan simbol aneh di dada mereka menyerbu masuk."Jauhkan diri dari cermin itu," suara berat seorang pria terdengar. Dia melangkah ke depan, matanya tajam dan penuh ambisi. "Kalian tidak mengerti betapa berharganya benda ini."Lana, Raka, dan Farah langsung bersiap. Mereka mengenali simbol itu—Organisasi Rahasia 'Bayang Jaya', kelompok yang dipercaya mempelajari dan mengeksploitasi benda-benda mistis untuk tujuan mereka sendiri.“Jadi ini benar,” gumam Farah, jantungnya berdebar kencang. “Kalian memang mengincar cermin ini selama ini.”Pria itu tersenyum dingin. “Tentu saja. Cermin ini bukan sekadar penjara bagi roh. Ini adalah pintu menuju kekuatan yang tak terbayangkan. Jika digunakan dengan benar, kita bisa
Raka terbangun dengan kepala berdenyut. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin dan lembap di sekelilingnya. Dia mencoba bangkit, lalu melihat Farah terbaring di dekatnya, tidak sadarkan diri."Farah!" Raka mengguncang bahunya.Farah membuka mata dengan lemah, wajahnya pucat pasi. "Di mana kita...?" suaranya lirih, penuh ketakutan.Mereka berada di dalam sebuah gua gelap, dengan dinding batu yang lembap dan penuh ukiran aneh. Cahaya redup berpendar dari celah-celah batu, menciptakan bayangan yang bergerak sendiri di sekeliling mereka.Tiba-tiba, suara berat terdengar dari ujung gua."Kenapa kalian datang ke tempat ini?"Raka dan Farah membeku.Dari kegelapan, muncul sesosok bayangan besar dengan mata merah menyala. Bentuknya humanoid, tapi tidak memiliki wajah. Tangannya panjang dan bersisik, dengan kuku tajam yang menyerupai belati.
Sejak saat itu, roh Sekar Sari terperangkap di dalam cermin, dipenuhi dendam yang tak kunjung padam. Setiap orang yang melihat bayangannya dalam cermin itu menjadi sasaran kutukannya.Lana merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang mereka hadapi bukan sekadar fenomena supranatural biasa. Sekar Sari tidak hanya meminta bantuan. Dia menginginkan sesuatu."Dia ingin membalas dendam," bisik Lana pada dirinya sendiri.Tapi ada sesuatu yang janggal. Jika Sekar Sari adalah korban, mengapa dia justru membunuh orang-orang yang tidak bersalah? Apakah cermin itu mempermainkan jiwanya? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap yang masih tersembunyi?Di sisi lain, Raka dan Farah juga mulai menyusun teori mereka."Kalau cermin itu adalah alatnya, maka satu-satunya cara menghentikan kutukan ini adalah menghancurkannya," kata Raka saat mereka akhirnya bertemu kembali."Tapi kalau kita salah langkah, kita bisa membebaskan sesuatu yang lebih berb
Raka akhirnya bersuara, "Apa yang terjadi jika kita gagal?"Pak Wirya menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya pelan namun penuh ketegangan."Maka dia akan menggantikan salah satu dari kalian."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan setelah pernyataan terakhir Pak Wirya. Lana menatap cincin di tangannya dengan perasaan tak menentu. Ia sudah banyak menghadapi kasus misterius dalam kariernya, tetapi ini… ini di luar nalar manusia."Kalau begitu, kapan kita harus melakukan ritual itu?" Lana bertanya, mencoba tetap tenang.Pak Wirya menghela napas. "Sebelum bulan purnama berikutnya. Itu adalah waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia roh melemah. Jika kalian menunggu terlalu lama, cermin itu akan terbuka dengan sendirinya."Farah menggigit bibirnya. "Berarti kita harus bergerak cepat. Dimana kita harus melakukan ritual itu?"Pak Wirya menatap mereka dengan sorot mata penuh peringatan. "Di depan cermin itu. H
Malam terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.Lana mencoba tidur lagi, tetapi setiap kali ia menutup mata, bayangan cermin itu muncul di pikirannya. Suara bisikan Ratu Sekar Sari terngiang di telinganya."Kembalikan…"Ia menggigil. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa cincin yang ia bawa adalah kunci dari semuanya—tapi juga ancaman terbesar yang membuat nyawanya kini berada dalam bahaya.Di tempat lain, Farah menatap bekas cengkeraman di pergelangan tangannya. Ia mengusapnya dengan keras, berharap tanda itu hilang, tetapi tidak ada perubahan."Apa ini akan tetap ada? Apa aku sudah ditandai?" pikirnya.Sementara itu, Raka duduk di meja kerjanya, menyalakan dupa untuk menenangkan pikirannya. Namun, asap dupa yang berputar di udara justru membentuk sesuatu…Wajah seorang wanita.Wajah Ratu Sekar Sari.Raka tersentak mundur, jantungnya hampir melomp