Langit sore menguning lembut saat Laras melangkah pelan menyusuri pematang sawah di desa kecilnya. Udara mulai dingin, aroma tanah basah dan daun gugur memenuhi udara yang lembap. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan terdengar samar, menambah suasana sepi di antara hamparan sawah yang mulai terbenam dalam kabut tipis.
Laras mengangkat keranjangnya sedikit lebih tinggi, menahan getaran yang tak biasa di dadanya. Sejak kecil, hatinya selalu terpaut aneh pada hutan yang membatasi desanya. Orang-orang di desa sering bercerita tentang makhluk gaib yang menghuni sana, tentang janji leluhur yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam gaib. Namun Laras selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita—ada sesuatu yang mengikat dirinya dengan hutan itu secara pribadi. Kabut makin pekat, sosok itu menghilang perlahan ke dalam bayang-bayang hutan, meninggalkan Laras berdiri sendirian dalam keheningan. Hatimu terasa berat, tapi ada tekad membara di dalam dada. Laras tahu, ini baru permulaan. Hari itu, kabut mulai turun lebih tebal, menutupi sawah dan mengaburkan batas antara dunia nyata dan dunia lain. Laras tahu ia seharusnya tak berjalan terlalu jauh, tapi ada dorongan kuat untuk menyusuri batas hutan itu. Dia berhenti di tepi pepohonan, menarik napas dalam-dalam. Suasana di sana sunyi, seolah waktu berhenti berputar. Dari balik kabut, tiba-tiba muncul sosok tinggi dan kurus berdiri tegap di bawah pohon beringin tua. Wajahnya tersembunyi bayangan, tapi sepasang mata terang berkilauan memancarkan dingin dan kesendirian yang menusuk. Laras membeku, jantungnya berdegup kencang, tubuhnya kaku. Ada ketakutan, tapi juga rasa ingin tahu yang membakar. “Siapa kamu?” suaranya bergetar. Sosok itu menutup mata, menghela napas berat seperti memikul beban ribuan tahun. Ketika membuka lagi, tatapannya berubah menjadi sendu dan penuh luka. “Aku kutukan yang tak boleh kau sentuh,” katanya pelan, suaranya dalam dan berat. Laras tidak bisa bergerak, terperangkap dalam tatapan yang membingungkan dan menusuk itu. “Kenapa aku?” tanyanya lirih, suara hampir tak terdengar. “Ada darah lama yang mengalir dalam nadimu. Aku bagian dari takdirmu.” Langkah Laras terasa ringan dan kosong saat ia berjalan pulang, seolah sebagian jiwanya tertinggal di balik kabut hutan. Langit semakin gelap, dan suara azan magrib menggema dari musala kecil di ujung desa, menandai berakhirnya hari—namun bukan akhir dari rasa gelisah yang tumbuh di hatinya. Sesampainya di rumah, ibu sudah menunggunya di dapur dengan wajah setengah kesal. "Kemana aja, Laras? Udah magrib, kamu tahu sendiri hutan itu…" "Aku cuma jalan sebentar di sawah, Bu. Nggak masuk hutan kok," bohongnya cepat. Ia tak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang baru saja ia lihat. Ibunya menghela napas panjang, tak berkata apa-apa lagi. Laras tahu, sejak kecil ibunya selalu menghindar bicara soal hutan. Ada semacam ketakutan di sana—ketakutan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Malam itu, Laras berbaring di atas tikar, matanya menatap langit-langit kamar kayu yang remang. Di luar, suara serangga dan angin malam bercampur dalam harmoni sunyi yang tak biasa. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... diawasi. Bukan dengan rasa takut, tapi lebih seperti... dijaga. Ia memejamkan mata, dan mimpi pun datang. Ia berada di tengah hutan, dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya bulan. Pohon-pohon bergoyang pelan, tapi tidak ada angin. Di tengah itu semua, sosok itu berdiri, kini lebih dekat. Ia bisa melihat wajahnya dengan jelas—pucat, rahang tajam, mata hitam yang seolah menyimpan seribu rahasia. Dan taring. Taring itu muncul saat dia tersenyum tipis. “Kenapa kamu memanggilku?” tanya Laras dalam mimpi. “Aku tidak memanggil. Kau yang datang,” jawabnya pelan. “Karena kau ingin tahu kebenaran, bukan?” Laras mengangguk tanpa sadar. “Kalau begitu, kau harus siap. Karena kebenaran… tidak pernah datang tanpa harga.” Ia terbangun dengan peluh dingin membasahi keningnya. Di luar, fajar belum datang. Tapi Laras tahu satu hal pasti—hidupnya tak akan lagi sama. --- Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit yang tadi kuning lembut kini berubah kelabu gelap, dan suara binatang malam mulai muncul satu per satu. Laras berjalan cepat pulang, tapi pikirannya tertinggal di hutan—di balik kabut—bersama sosok misterius itu. Napasnya masih belum tenang, pikirannya kacau. Apakah itu hanya bayangan? Mimpi buruk? Atau... nyata? Sesampainya di rumah, ibunya sudah menunggu di teras. “Kamu dari mana aja, Laras?” tanya Ibu, nada suaranya campuran antara khawatir dan kesal. “Maaf, Bu. Tadi bantu Bu Lurah di kebun, terus kebablasan jalan ke sawah,” jawab Laras sambil menunduk. Ia tidak bohong, tapi juga tidak jujur. Ibunya mengangguk pelan. “Kalau kabut udah turun, jangan keluar lagi. Hutan itu bukan tempat main.” Laras hanya mengangguk. Ia tahu nasihat itu sudah ia dengar ratusan kali. Tapi sekarang, semuanya terasa... berbeda. Malam itu, Laras mencoba tidur, tapi matanya enggan terpejam. Di balik kelopak matanya, bayangan sosok tadi terus menari—tatapannya, suaranya, dan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Ia merasa seperti ditarik, seperti ada ikatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Saat ia akhirnya tertidur, mimpi itu datang. Ia berdiri di tengah hutan, kabut menyelimutinya. Tapi tidak dingin. Tidak menakutkan. Justru terasa seperti... rumah. Sosok itu berdiri di sana lagi, lebih dekat kali ini. Wajahnya masih samar, tapi Laras bisa melihat garis rahangnya, kulitnya yang pucat nyaris keabu-abuan, dan mata itu—tajam, namun menyimpan luka. “Kenapa kau selalu muncul?” bisik Laras dalam mimpi. “Karena kau belum siap mengingat.” “Mengingat apa?” Sosok itu mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan. “Kita pernah saling mencintai. Tapi waktu... dan dunia... memisahkan kita.” Laras terbangun dengan keringat dingin di pelipis. Nafasnya memburu. Itu bukan mimpi biasa. Ia tahu. Jiwanya tahu. Pagi menjelang dengan cahaya yang lembut menyusup lewat celah-celah jendela kamarnya. Laras terduduk lama di ranjang, membiarkan cahaya itu membasuh wajahnya yang lelah. Mimpi semalam masih membekas jelas—bukan sekadar mimpi, lebih seperti potongan kenangan dari masa yang tak ia ingat. Siapa dia? Apa maksudnya dengan "kita pernah saling mencintai"? Apa hubungan dirinya dengan makhluk itu? Hari itu Laras tidak pergi ke sekolah. Ia memilih membantu ibunya di dapur, membersihkan halaman, lalu pura-pura membaca buku di beranda—padahal pikirannya sibuk merangkai potongan-potongan misteri. Kepalanya penuh dengan bayangan kabut dan suara laki-laki asing yang terasa begitu familiar. Menjelang sore, hujan gerimis turun pelan. Kabut mulai turun lagi dari arah barat, menyapu sawah dengan tenang. Laras berdiri di teras, menatap ke arah hutan. Jantungnya berdetak cepat. Tanpa sadar, kakinya mulai melangkah. Melewati jalan setapak, melewati sawah yang becek, dan berhenti lagi di tempat yang sama: di tepi hutan, di depan pohon beringin tua. Kosong. Tak ada siapa-siapa. --- “Kalau memang kau nyata… muncullah,” katanya pelan. Angin bertiup dari dalam hutan. Daun-daun bergoyang. Kabut menebal. Dan perlahan, dari balik kabut, dia muncul. Sosok itu. Tinggi, diam, namun penuh makna. Kali ini Laras bisa melihat wajahnya lebih jelas—muda, tampan, tapi pucat seperti tak hidup. Matanya merah tua seperti bara yang padam. “Kau kembali,” katanya. “Aku butuh jawaban.” Sosok itu menatapnya lama, lalu melangkah mendekat. Laras menahan napas, tapi tubuhnya tidak menolak. Ia tidak takut. Anehnya, justru merasa... utuh. “Aku tidak boleh mencintaimu, Laras,” ucapnya lirih. “Tapi aku... tidak pernah berhenti.” Laras menatapnya dengan mata membulat. Dunia seolah berhenti berputar. Kabut menjadi saksi diam. Dan di momen itu, Laras tahu—ia tak lagi bisa mundur. Apa pun yang terjadi, hidupnya telah terikat dengan sosok misterius ini. Dengan cinta yang terlarang. Dengan takdir yang tak bisa ditolak. Dan dengan kegelapan yang belum ia pahami.Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per
*Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da
*Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma
Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag
Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai
Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas