Pagi pembuka hari, Kara duduk seorang diri di dapur Paradise Place. Berkutat dengan pikirannya sambil menikmati secangkir hangat susu coklat. Dia pengangguran sekarang. Jemarinya membuka sosial media Amara Bunga Kayla, memasuki kata sandi dan melihat feed wanita pujaan Garvin. Sebagai syarat utama menjadi istri Prabu Garvin yang tampan dan mapan adalah menjelma menjadi Amara.
Keputusan Kara untuk menjadi istri Garvin semakin menguat, dia tahu hanya akan menjadi bayangan Amara tapi Kara tak perduli. "Apa aku akan mati kalau menjadi duplikat orang lain? Tentu tidak aku hanya perlu membuang sisi lain diriku, mengumpulkan serpihan-serpihan Amara lalu menyatukan dalam diriku, dan aku akan kaya."
Dia tersenyum di depan pantulan layar handphone, bayangan wajahnya tampak samar. "Kebanyakan orang kaya tak menginginkan publikasi. Tak mengapa Kara kalau Garvin menginginkan pernikahanan ini tak di ketahui publik. Sebagian mereka memang menyembunyikan pasangannya." batin Ka
What's on your mind, Kara? Kalimat pembuka dari salah satu sosial media. "Aku memikirkan pernikahan ganjil yang ku lakukan hari ini, semua sudah selesai di laksanakan. Selanjutnya apa yang akan aku lakukan?" Kara menoleh ketika Garvin mengenggam tangannya. Dia menatap memuja pada penampilan Kara, yang anggun dalam balutan gaun pengantin menyerupai gaun pernikahan Amara dulu. Garvin sengaja memilih desainer sama, yang merancang gaun pernikahan dia dan Amara. Desainer berkulit pucat itu membutuhkan waktu, sebelum tersadar di hadapannya bukan Amara. Gaun pernikahan dari bahan silk cady dengan potongan sabrina neckline, menonjolkan bahu mulus tanpa cela milik Kara. Garvin memilih warna putih karena merupakan favorit Amara, Kara sendiri tidak menyukai warna putih. Bagi Kara warna putih lebih sering merepresentasikan sebuah akhir. Bendera putih yang di kibarkan, wajah putih sepucat kapas, kain putih yang digunakan untuk membalut kehidupan terakhir. Di
Tubuh Kara terasa remuk redam. Hasrat lima tahun terpendam Garvin terlampiaskan malam tadi, dia memperlakukan Kara secara lembut dan perlahan. Menikmati setiap jengkal tubuh istrinya. Kara tidak menampik menikmati malam pertama mereka. Garvin memuja tubuh Kara, menjelajah dan memberikan kenikmatan yang menggelora.Setiap sentuhan Garvin dipenuhi kerinduan dan cinta, dan semua itu bukan untuk Kara. Desahan serta suara berat Garvin menyebut nama Amara. Sudah memberi pemahaman pada Kara, siapa yang mengenggam hati Garvin. Nafsu yang tak pernah diperoleh dari Bastian lah yang membutakan Kara. Dia menikmati malam panas bersama Garvin.Kara menyingkirkan lengan dan paha Garvin yang melingkar di tubuhnya. Terasa lengket sisa percintaan mereka malam tadi. Kara berjalan menuju kamar mandi, mengunci pintu menuju wastafel. Dia memulai rutinitas hari ini dengan kegiatan penting, membersihkan aset berharga Kara. Apalagi kalau bukan wajah rupawan Kara yang serupa dengan
Pagi yang menyesakkan, Kara merangkak keluar dari selimut. Dia menendang dengan kasar membiarkan selimut putih polos teronggok di lantai. Tubuh Garvin tersingkap, lalu secepat kilat Kara mengambil kembali dan menutup Garvin sebelum dia terbangun. Kara tidak mau Garvin memintanya melakukan apa yang dinamakan Garvin 'hasrat terpendam'.Mulut dan tangan Kara terasa kebas, Garvin seakan tak pernah puas. Terpendam atau memang tak pernah di salurkan. Dia menggerutu sambil memijat kedua pipinya dengan tangan. Kara menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi, menatap putus asa pada smart toilet.Mengapa mereka membutuhkan banyak tombol hanya untuk urusan buang air?Kara harus menjelma menjadi seperti Amara, sesuai kesepakatan dan permintaan Garvin. Dia tidak boleh udik, Kara harus menyenangkan Garvin. Dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan wangi.Kali ini Kara bernapas lega, Garvin terlalu sibuk menyiapkan kepindahan Kara dari Paradise Pl
"Dia pantas mendapatkan hukuman!" Wanita cantik dengan mata coklat dihiasi bibir merah menyala, menyeringai penuh kepuasan. Suara rintihan kesakitan pelayan yang sedang menerima hukuman, seakan musik menyenangkan di telinganya."Arrgghhh ... am-pun, Nyo-nya." harap Elisabeth nama pelayan, dia berjongkok sambil meratap memohon ampun. Kedua pengawal mencambuk kuat gadis malang yang berharap kehilangan kesadaran, agar tak merasa sakit."Pukul lebih kuat lagi!""Nyonya, tolong maafkan Elisabeth." Robert memohon, dia tak tahan melihat alur memerah merembes dari pakaian pelayan yang tak sengaja memecah parfum kesayangan Amara."Kamu mau menggantikan tempat Elisabeth, Robert?""Robert ... Robert!" Panggilan yang awalnya pelan berakhir menjadi bentakan. Membuat Robert tersadar dari lamunan, dia kembali berada di masa sekarang. Kara menatap manik mata Robert dengan tak sabar."Maaf, maafkan saya, Nyonya Ra."Kara mengibaskan tang
Keesokan harinya, ketika Kara bangun, Garvin sudah rapi berpakaian. Kara memperhatikan Garvin dari tempat tidur. Ia memiliki garis wajah yang sempurna, keseluruhan yang ada di wajah Garvin membentuk kata tampan layak di sandangnya. Ia menoleh lalu menghampiri Kara, membungkuk memberi ciuman pagi. "Bangun, sayang, kita akan berpergian kembali." Garvin tak mengatakan kemana mereka pergi. Kara seakan berada dalam mimpi ketika Perancis adalah tempat yang mereka tuju. Jika ini adalah mimpi maka aku tak mau bangun. Batin Kara dengan letupan bahagia. Kakinya gemetar ketika pertama kali melihat menara Eiffel. Jiwanya melayang ketika melihat keindahan Place Vendome. Mereka menginap di Ritz, sesekali Kara merasa takut ini hanya mimpi, tapi genggaman hangat tangan Garvin selalu menyadar Kara jika ia tak bermimpi. Dia mulai menyukai Garvin, pada kemewahan yang diberikan oleh Garvin. Menikmati aktivitas mengunjungi tempat ikonik di Perancis, di lanjutkan dengan berbelanja
"A-ku ... aku bukan siapa-siapa untukmu." Kara menepis tangan Reinhard yang masih bertengger di lengan, mengumpulkan energi yang ada dan mengalirkan untuk segera lari menjauh dari Reinhard. Apa yang harus ia katakan? tak ada alasan yang terpikirkan di otak Kara. Ia mencatat di pikiran. Melarikan diri dari masalah akan menjadi keahlian baru. Reinhard tersenyum geli melihat langkah cepat Kara, dengan high heel di tambah dress ketat membalut tubuh. Langkah Kara tidak secepat yang ia kira, dua langkah Reinhard sudah bisa menyusul Kara. "Ikut, aku!" Reinhard menggamit lengan Kara. "Jangan berontak!" perintah Reinhard yang jelas di tolak Kara. "Jangan menyentuh ku!" Tangan Kara yang bebas, mengarah ke wajah Reinhard. "Aku akan berteriak dan mempermalukan kamu, disini!" Kara menyapu seluruh mall. Dia mengumpat kesal ketika pengunjung mall yang ada justru membuang wajah melihat Kara dan Reinhard. Mereka hanya menganggap tak lebih sepasang kekasih tak tahu malu berten
Jantung Kara berdegup kencang. Perkataan Reinhard membuat ketegangan pada jiwa Kara. Ia masih merasakan kakinya bergetar hebat, ketika memasuki mobil. Kara setengah mati bersikap normal agar Ben tidak curiga, tapi suara yang keluar mengkhianati dirinya."Apartemen Paradise Place, Ben." Nada gemetar dalam suara Kara, membuat Ben refleks menoleh."Baik, Nyonya. Apakah ada yang tidak beres?""Tidak, tapi saya lupa sesuatu yang penting dan tertinggal pada saat pindah ke kediaman Garvin." Kara diam sejenak. "Semoga masih ada di sana." Sejak menikah dengan Garvin, ia harus pandai bersilat lidah. Kara tidak mau Ben mengadu kepada Garvin, Ben adalah sopir yang di pilih Garvin. Kesetiaan Ben bukan dipersembahkan kepada Kara, tetapi pada tuannya, Garvin."Iya, Nyonya, semoga." Ben kembali menatap lurus ke depan, memacu mobil keluar dari Diamond Mall.Kara menoleh ke belakang, memandang Diamond Mall yang semakin mengecil, lalu menghilang dalam pan
Sinar matahari menerobos masuk, menciptakan kilauan lembut pada penutup ranjang dari bahan sutra. Bahan yang sama melapisi sofa pada kamar utama di kediaman Garvin. Kara berangkat dari ranjang, membuka lebar tirai. Membuka akses sebanyak mungkin sinar matahari masuk ke kamar, dia membutuhkan penerang cahaya untuk berpikir. Ia berjalan menghampiri foto Amara, bersidekap memandang raut rupawan wanita yang tersenyum bahagia di foto. Amara tak pernah berada di posisi terendah dalam kasta masyarakat, jika ia tahu betapa berharga cinta seorang suami. Amara tak akan melakukan hal hina di belakang Garvin. "Kamu memandang kembaran mu, sayang?" Aroma mint menyentuh indra penciuman Kara, rangkulan Garvin di pinggang Kara, membuat ia menoleh dan mendapatkan ciuman pagi dari Garvin. Kembaran? dia mengatakan kembaran Amara. Hanya dalam imaginasi mu, Garvin! Aku tak sudi disamakan dengan Amara Bunga Kayla. Jerit Kara dalam hati. "Ia, dia sangat cantik dan penuh peso