"Mendiang istrimu?" Kara menatap Garvin, dia menuntut lebih dari sekedar jawaban kali ini.
Garvin pernah bersumpah di depan makam Amara untuk menutup rapat hatinya, namun ketika melihat Kara. Dorongan untuk memilikinya merenggut setiap waktu dalam kesehariannya, dia tersiksa ketika gadis itu bersama pria lain. Keinginan itu semakin mencuat ketika Kara berada dalam apartemen bersama Arjuna.
Kini dia harus mengambil keputusan, Garvin akan menikahi Kara. Dalam hatinya dia tidak melanggar sumpah tapi 'membangkitkan' Amara dalam diri Kara. Cintanya yang tak pernah pergi dalam hidup Prabu Garvin.
"Ya, dia mirip sekali denganmu Kara," tangan Garvin terulur memegang dagu Kara, membelai dengan punggung tangan. Refleks Kara mundur, instingnya merasakan ada sesuatu berbeda yang di rasakan Garvin.
Ruangan tempat Kara berada saat ini dalam suhu normal, tapi gadis itu bergidik merasakan ketakutan samar yang belum mampu dijelaskan. Bagaimana pun melihat orang lain y
"I won the jackpot." teriak Kara sekuat tenaga. Lamaran atau tawaran yang sebenarnya disampaikan Garvin tak menjadi soal bagi Kara. Bahkan tanpa cincin pengikat, Kara tak perduli. Detik berikutnya, dia melompat kegirangan di atas ranjang dalam kamarnya yang bernuansa modern di apartemen Paradise Place. Seperti menemukan Oase bagi pengembara yang telah di dera haus berjam-jam, perasaan Kara saat ini. 26 tahun hidup dalam serba kekurangan, hari ini deretan nol di belakang angka tertera di saldo rekening Kara. Tubuhnya bergetar karena serangan bahagia, perasaan ini tak pernah hadir sebelumnya. Aroma uang terasa menggelitik hidungnya, aku rasa sekarang terkena serangan panik. Aku tak sabar, tak sabar ingin menghamburkan uang. Berbelanja tanpa melihat price tag, selamat tinggal flash sale, diskon, apalah itu. Sekarang dia merasa asing dengan kata-kata yang dulu bagai kata keramat bagi dirinya. Selanjutnya Kara menyambar pouch makeupnya, "apakah Garv
"Apa? bertemu dengan orangtuamu?" mata Kara membulat. Detak jantungnya berpacu secepat kuda balapan. aduh, aku harus bersikap seperti apa? ah sudahlah, pernikahan selain mendatangkan suami maka sepaket dengan mertuanya. Semoga kali ini dia normal tidak sama dengan mertua Bastian. "Malam ini, aku akan menjemputmu pukul tujuh malam" bisik mesra Garvin di telinga Kara. Hembusan hangat dan wangi aroma Garvin membuat gadis itu merinding, dia menjulurkan kepala melihat meja Laura tapi si belut listrik tidak ada. Kara khawatir ada Laura atau Leonard yang mempergoki mereka berdua di kantor "Iya, pak," "Jangan panggil 'pak' jika kita hanya berdua, Amara biasa memanggil sayang atau honey," "Baik, sayang," jawab Kara. Panggilan sayang tanpa makna, dia tidak merasakan apapun selain suara yang berputar di kepalanya.Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta, Jika itu syarat menjadi kaya. Selamat tinggal hidup serba kekurangan yang
Sore hari di kafe Black and White, kafe kasual dengan nuansa hitam putih laksana bidak catur. Membuat pengunjung serupa pion yang siap digerakkan oleh pemainnya. Di sanalah selepas pulang kantor, Kara dan Feli duduk berhadapan dengan secangkir kopi dalam genggaman jari-jari lentik mereka. "Jadi kamu akan resign?" tanya Feli, dia mendekatkan wajahnya ke arah Kara. Seakan ada yang akan menguping pembicaraan mereka, "apakah kamu menemukan tempat menarik dibandingkan Paraduta Group?" "Bisa dikatakan ya tapi bisa juga tidak, aku ha-nya. Ada hal yang menarik membuat ku memutuskan mengajukan resign," Kara teringat ucapan Garvin, dia tidak boleh menceritakan pada siapapun. "Kamu tidak mempercayai ku?" Feli menyesap kopi perlahan, menikmati setiap tegukan yang mengalir di tenggorokan. Intuisi dirinya mengatakan Kara menyimpan rahasia, rasa penasaran dalam dirinya meluap menginginkan sebuah jawaban. Di sisi lain dia sadar Kara mempunyai hak untuk tidak berbagi.
“The Japanese say you have three faces. The first face, you show to the world. The second face, you show to your close friends, and your family. The third face, you never show anyone. It is the truest reflection of who you are.”Kara menggumam pepatah tersebut dalam hatinya, menancapkan dalam pikiran, Mengulang dalam benak. Mengalirkan dalam aliran darahnya, memastikan akan menjadi denyut nadi dalam hidupnya, tiga wajah dalam kehidupan.Seorang wanita yang sepanjang hidupnya serba kekurangan, sekarang mengenggam kesempatan menjadi kaya dalam sekejap. Dia hanya perlu menggunakan 'topeng', maka kekayaan akan menyentuh dirinya. Menanggalkan jubah kemiskinan yang menyelimuti dirinya selama ini."Aku begitu merindukanmu," Garvin memegang wajah Kara dengan kedua tangannya. Netra coklat gelap itu memandang Kara dengan rasa rindu tak terbendung, meluap menutupi logika yang ada. Menciptakan bayangan cinta yang membutak
Pagi pembuka hari, Kara duduk seorang diri di dapur Paradise Place. Berkutat dengan pikirannya sambil menikmati secangkir hangat susu coklat. Dia pengangguran sekarang. Jemarinya membuka sosial media Amara Bunga Kayla, memasuki kata sandi dan melihat feed wanita pujaan Garvin. Sebagai syarat utama menjadi istri Prabu Garvin yang tampan dan mapan adalah menjelma menjadi Amara. Keputusan Kara untuk menjadi istri Garvin semakin menguat, dia tahu hanya akan menjadi bayangan Amara tapi Kara tak perduli. "Apa aku akan mati kalau menjadi duplikat orang lain? Tentu tidak aku hanya perlu membuang sisi lain diriku, mengumpulkan serpihan-serpihan Amara lalu menyatukan dalam diriku, dan aku akan kaya." Dia tersenyum di depan pantulan layar handphone, bayangan wajahnya tampak samar. "Kebanyakan orang kaya tak menginginkan publikasi. Tak mengapa Kara kalau Garvin menginginkan pernikahanan ini tak di ketahui publik. Sebagian mereka memang menyembunyikan pasangannya." batin Ka
What's on your mind, Kara? Kalimat pembuka dari salah satu sosial media. "Aku memikirkan pernikahan ganjil yang ku lakukan hari ini, semua sudah selesai di laksanakan. Selanjutnya apa yang akan aku lakukan?" Kara menoleh ketika Garvin mengenggam tangannya. Dia menatap memuja pada penampilan Kara, yang anggun dalam balutan gaun pengantin menyerupai gaun pernikahan Amara dulu. Garvin sengaja memilih desainer sama, yang merancang gaun pernikahan dia dan Amara. Desainer berkulit pucat itu membutuhkan waktu, sebelum tersadar di hadapannya bukan Amara. Gaun pernikahan dari bahan silk cady dengan potongan sabrina neckline, menonjolkan bahu mulus tanpa cela milik Kara. Garvin memilih warna putih karena merupakan favorit Amara, Kara sendiri tidak menyukai warna putih. Bagi Kara warna putih lebih sering merepresentasikan sebuah akhir. Bendera putih yang di kibarkan, wajah putih sepucat kapas, kain putih yang digunakan untuk membalut kehidupan terakhir. Di
Tubuh Kara terasa remuk redam. Hasrat lima tahun terpendam Garvin terlampiaskan malam tadi, dia memperlakukan Kara secara lembut dan perlahan. Menikmati setiap jengkal tubuh istrinya. Kara tidak menampik menikmati malam pertama mereka. Garvin memuja tubuh Kara, menjelajah dan memberikan kenikmatan yang menggelora.Setiap sentuhan Garvin dipenuhi kerinduan dan cinta, dan semua itu bukan untuk Kara. Desahan serta suara berat Garvin menyebut nama Amara. Sudah memberi pemahaman pada Kara, siapa yang mengenggam hati Garvin. Nafsu yang tak pernah diperoleh dari Bastian lah yang membutakan Kara. Dia menikmati malam panas bersama Garvin.Kara menyingkirkan lengan dan paha Garvin yang melingkar di tubuhnya. Terasa lengket sisa percintaan mereka malam tadi. Kara berjalan menuju kamar mandi, mengunci pintu menuju wastafel. Dia memulai rutinitas hari ini dengan kegiatan penting, membersihkan aset berharga Kara. Apalagi kalau bukan wajah rupawan Kara yang serupa dengan
Pagi yang menyesakkan, Kara merangkak keluar dari selimut. Dia menendang dengan kasar membiarkan selimut putih polos teronggok di lantai. Tubuh Garvin tersingkap, lalu secepat kilat Kara mengambil kembali dan menutup Garvin sebelum dia terbangun. Kara tidak mau Garvin memintanya melakukan apa yang dinamakan Garvin 'hasrat terpendam'.Mulut dan tangan Kara terasa kebas, Garvin seakan tak pernah puas. Terpendam atau memang tak pernah di salurkan. Dia menggerutu sambil memijat kedua pipinya dengan tangan. Kara menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi, menatap putus asa pada smart toilet.Mengapa mereka membutuhkan banyak tombol hanya untuk urusan buang air?Kara harus menjelma menjadi seperti Amara, sesuai kesepakatan dan permintaan Garvin. Dia tidak boleh udik, Kara harus menyenangkan Garvin. Dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan wangi.Kali ini Kara bernapas lega, Garvin terlalu sibuk menyiapkan kepindahan Kara dari Paradise Pl