Share

2. PINTU YANG DIBUKA

Author: Aleena Tan
last update Last Updated: 2025-11-07 02:52:47

Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.

Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.

“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”

Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”

“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”

Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”

Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.

“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”

Kael mengerut tipis alisnya. “Dan sekarang?”

“Sekarang kau sudah memenuhi syarat. Rasa sakitmu, darahmu, pengkhianatan mereka … semuanya membuka pintu. Pintu menuju darah bayangan.”

Kael diam, menunggu jawaban yang lebih jelas.

“Darah iblis lain menyala,” suara itu lanjut, “Tapi darahmu menyerap. Kau tidak memancarkan kekuatan, kau memakan kekuatan.”

Kael menunduk, dan benar, darah hitam itu bukan menetes. Ia diserap oleh lantai, seolah tanah itu haus.

“Jadi aku dikutuk?” tanya Kael.

“Tidak. Kau dipilih.”

Keheningan turun beberapa detik, keras seperti tembok.

“Aku ingin kekuatan,” Kael berkata pelan. “Bukan untuk hidup … tapi untuk membalas.”

“Dan aku ingin wadah,” suara itu menjawab lembut. “Jadi kita sepakat, kau memberi tubuhmu, aku memberi kekuatan. Tapi ada harga.”

Kael menggeleng samar. “Aku sudah membayar jauh sebelum ini.”

Bayangan di sekelilingnya terangkat, seperti tangan-tangan hitam yang menyambutnya. Suara itu berkata, “Buka pintunya, Kael. Dan dunia yang membuangmu … akan berlutut di bawahmu!”

Dan Kael membuka.

Hujan kembali terdengar, arena eksekusi kembali terlihat. Ribuan murid masih berdiri di tribun, para tetua masih menatap dari kursi tinggi. Tapi sekarang, semuanya sunyi.

Kael berdiri lagi, bukan karena tubuhnya pulih, tapi karena bayangan menopangnya. Mata Kael terbuka, dan kini ada lingkar gelap tipis di sekitar pupilnya.

Darah di dadanya, yang tadi merah kini hitam.

“Dia … bangkit?” bisik salah satu murid.

“Aura itu, bukan darah suci.” Tetua kedua mundur satu langkah.

Darian mengangkat tombak, mencoba mengisi ulang aura darahnya. “Mainan,” katanya keras-keras. “Aku akan menghancurkannya.”

Kael menatapnya. Bukan marah, bukan takut, tapi tenang. “Kau masih tidak mengerti,” katanya pelan. “Sesuatu telah berubah.”

Darian berteriak dan melompat, menebas tombaknya ke arah Kael. Rune merah menyala, dan angin panas menerjang batu arena.

Bayangan di bawah kaki Kael berdiri, membentuk tangan gelap yang menahan tombak itu dalam satu hentakan.

KRANG!

Rune darah di tombak Darian padam, seperti api dilempar ke laut hitam.

“A … apa—!?” Darian mundur. “Kekuatan darahku menghilang?!”

Kael menatap tombak yang kini setengah mati. “Cahaya tidak bisa hidup di tempat yang tidak mengizinkannya.”

Para murid mulai panik. “Itu … kemampuan menelan energi!”

“Seperti teknik pemakan aura!”

“Tidak mungkin, itu terlarang!”

Tetua ketiga bangkit, menunjuk Kael. “Itu bukan bakat! Itu kekuatan iblis bayangan! Hancurkan dia sebelum—”

Bayangan di tribun melesat, menutup mulut tetua itu, memaksanya terdiam dengan mata membelalak.

Kael tidak melihat tetua itu. Ia hanya berjalan ke depan, langkahnya lambat, namun setiap langkah membuat bayangan di tanah ikut bergerak.

Darian mencoba lagi, menciptakan tiga tombak aura. Bayangan Kael menyapu udara, dan ketiganya lenyap, seperti ditelan lubang hitam.

“Tidak…” Darian gemetar. “Tidak mungkin kau—”

“Aku sudah mati sekali.” Kael menyela. “Sekarang aku meminjam hidup untuk memungut hutang.”

Ia mengangkat tangan. Bayangan di sekitar arena bergetar menjadi seperti ribuan jarum hitam yang menunggu perintah.

Seluruh arena membeku.

Kael menoleh sedikit ke kursi tertinggi, ke ayahnya.

Lord Varyon berdiri. “Berhenti di situ, Kael.”

Kael tidak berhenti. “Mengapa?” Suaranya datar.

“Karena jika kau melangkah lagi,” kata Varyon pelan, “Kau tidak akan bisa kembali ke siapa pun. Bahkan ibumu tidak akan mengenalmu.”

Kael memejam sebentar. Sekilas, wajah lembut ibunya muncul dalam ingatannya, diikuti darah, hinaan, dan pembuangan.

Dengan napas yang terdengar seperti keputusan, Kael membuka mata lagi.

“Aku tidak pernah punya tempat untuk kembali,” ujarnya. “Kau membuatnya jelas sejak awal.”

Ia menurunkan tangan hanya sedikit, dan jarum bayangan menegang, siap ditembakkan.

Semua orang menahan napas.

Darian mundur, kakinya goyah. “Kael … Kael, dengar aku. Kau tetap sampah!”

Kael menoleh dan menatapnya. Tatapan yang dulu kosong kini seperti pisau.

“Diam,” katanya, ringan tapi memaksa.

Darian terdiam. Bukan karena takut, tapi karena suara Kael menekan udara.

Kael memandang ke seluruh arena dan berkata pelan, namun terdengar ke setiap sudut, “Aku tidak akan menghabisi kalian hari ini.”

Ada yang lega. Ada yang bingung.

“Tapi seseorang,” Kael menoleh pada tribun kanan, “Harus menjadi peringatan.”

Bayangan di lantai bergerak dan melilit seorang tetua, orang pertama yang pernah meludahi ibunya saat diusir. Ia terseret ke depan seperti binatang, tubuhnya membentur batu.

“Kael, jangan!” teriak seseorang.

Kael hanya menatap. “Ini bukan pembalasan. Ini perkenalan.”

Bayangan menggigit.

Jeritannya pecah. Murid-murid menutup mulut, para tetua bangkit dari kursi, Varyon mempersempit mata.

Dan Kael berdiri di tengah semua itu, wajah tampan, tubuh berdarah, tapi kini memancarkan sesuatu yang lebih gelap dari sekte itu sendiri.

Ketenangan seorang iblis yang baru saja lahir.

Ia menatap mereka, suaranya datar, tak terguncang. “Kalian mengira aku mati? Yang salah bukan dugaannya, hanya waktunya.”

Hujan turun lebih deras, bayangan menyebar seperti kabut.

Dan bisikan dari kekuatan dalam dirinya terdengar lagi, “Selamat datang, pewaris bayangan. Mari lihat berapa lama dunia bisa bertahan sebelum lututnya menyentuh lantai.”

Hening itu tidak bertahan lama. Dari kursi singgasana, Lord Varyon turun satu langkah, seperti raja yang berjalan menuju tepi jurang yang baru saja terbuka. Wajahnya tidak marah, melainkan tenteram dengan ancaman yang baru ia hitung.

Di sekeliling, tetua bergeming, beberapa menunduk, beberapa menutup mulut, tapi semua merasakan satu hal yang sama, dunia mereka berubah dalam satu napas.

“Apa yang kau inginkan?” Varyon bertanya, suaranya dingin namun jelas terdengar. “Apakah kau menuntut hakmu sebagai pewaris, atau kau berniat menghancurkan keluarga ini?”

Kael menatapnya lama, hujan menetes di tepi bibirnya. “Keduanya,” jawab Kael. “Aku menuntut pengakuan. Dan bila kau menolak, aku akan menuntut nyawa yang pernah meremehkanku.”

Darian mengaum, berusaha mendekat kembali, namun kakinya gemetar. Di benak tiap murid, gambaran yang dulu hanya berupa cerita buruk kini nyata. Seorang putra terbuang yang bangkit bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk mengubah aturan permainan.

Varyon menutup mata sekejap, lalu membuka kembali. “Kau punya satu kesempatan, Kael. Tunjukkan bahwa ini bukan sekadar kekuatan liar. Tunjukkan bahwa kau bisa memerintah, bukan sekadar merusak.”

Kael mengangguk tipis, penerimaan sekaligus ancaman. Di luar arena, bayangan gelap merayap seperti tinta menyebar, menandai awal babak baru.

Dan ketika tribun gemetar oleh bisik-bisik ketakutan, satu pesan jelas mengalun ke seluruh sekte, permainan telah dimulai dan para penonton kini berada di atas papan catur yang sedang runtuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   6. DENYUT YANG TERBANGUN

    Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   5. UJIAN PERTAMA

    Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   4. GERBANG SUNYI

    Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   3. PUTRA TANPA NAMA

    Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   2. PINTU YANG DIBUKA

    Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   1. DARAH YANG DIBUANG

    “Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status