Share

Bayangan Darah Sang Putra Buangan
Bayangan Darah Sang Putra Buangan
Author: Aleena Tan

1. DARAH YANG DIBUANG

Author: Aleena Tan
last update Last Updated: 2025-11-06 19:40:51

“Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”

“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”

“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”

Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.

Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.

Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.

Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.

Di mata orang luar, ia bisa saja terlihat sebagai putra terkuat sekte. Tapi dunia di sini hanya menghargai satu hal, kekuatan yang terbukti.

Dan Kael … tidak pernah dianggap memilikinya.

Di tribun atas, Darian Astaroth—saudara sulung, sang pewaris utama melangkah sambil membawa tombak berhiaskan rune darah. Senyum di bibirnya tipis, kejam, dan sangat menikmati keadaan.

“Kael,” katanya lantang, agar seluruh arena mendengar. “Kau tahu apa yang paling lucu darimu?”

Kael menatapnya, diam, tidak membalas, tidak melarikan diri, tidak memohon.

Darian menunduk sedikit, seolah berbagi rahasia. “Kau tidak lemah karena tak punya kekuatan. Kau lemah karena tidak berguna. Setidaknya orang lemah bisa mati tanpa menyusahkan siapa pun. Tapi kau? Kau sudah hidup delapan belas tahun hanya untuk mempermalukan keluarga.”

Sorak-sorai meledak.

“BUNUH DIA!”

“JANGAN BUANG WAKTU!”

Darian menepuk bahunya sendiri sambil tertawa. “Lihat tubuhmu, terawatt, rapi, bahkan tampan. Kau tahu kenapa? Karena kau diberikan kesempatan hidup sebagai putra sekte, sementara kau tak pernah memberi apa pun sebagai balasannya.”

Kael masih tak merespons, hanya tatapannya yang berubah sedikit, dari datar menjadi dingin.

Dan itu membuat Darian semakin senang. “Lihat? Bahkan sekarang kau diam. Karena jauh di dalam hati, kau akhirnya sadar… bahwa kau memang sampah.”

Tawa menggema, hinaan menari di udara, Kael tetap diam.

Lalu matanya mengangkat sedikit, bertemu dengan singgasana tertinggi. Di sana duduk lelaki berusia separuh baya dengan mata dingin, Lord Varyon Astaroth. Ayahnya. Penguasa sekte. Kekasih dari ratusan selir, termasuk seorang wanita manusia yang kini telah dibuang, yaitu ibunya.

Varyon tidak berbicara, tidak marah, tidak membela, tidak peduli.

Kael menunduk sebentar, hanya sebentar. Cukup untuk menyadari, ia memang sendirian di dunia ini.

Darian mengangkat tombaknya. “Sebelum aku membunuhmu, jawab satu hal, adik kecil.”

Ia mendekat, wajah hanya sejengkal dari Kael. “Lalu apa gunamu lahir?”

Kael akhirnya berbicara. “Untuk mengingat,” katanya pelan. “Wajah orang-orang yang harus mati.”

Arena membeku sejenak. Beberapa orang mengerutkan kening, tak yakin apakah Kael baru saja mengancam atau … berhalusinasi sebelum mati.

Darian tertawa pelan, bahunya naik turun. “Mengancam? Kau? Yang bahkan tidak bisa mengaktifkan inti energi sendiri?”

Kael tidak menjawab, karena ia merasa itu tidak perlu.

Darian menutup jarak, menekan tombak ke dada Kael. “Kau tahu apa yang akan terjadi setelah kau mati? Namamu akan dihapus, ibuku akan tertawa. Para murid akan merayakan. Dan ayah—” Ia menoleh sedikit ke singgasana. “Akan tidur nyenyak tanpa pernah mengingat bahwa kau pernah lahir.”

Satu tusukan.

Tombak itu menembus kulit Kael. Tidak dalam, tapi belum. Darian ingin perlahan, ingin memahat rasa sakit menjadi tontonan. Suara napas Kael goyah sebentar, tapi ia tetap berdiri.

“Ah, benar,” Darian tersenyum lagi. “Kau tetap tenang bahkan ketika aku menusukmu. Tapi kau tahu hal lain yang lucu?”

Tombak berputar, runenya menyala merah pekat. “Tak ada yang akan menangisi kematianmu.”

Dan tombak itu menusuk lagi, kini lebih keras, lebih dalam, menembus daging dada Kael. Darah meleleh, jatuh ke batu arena. Teriakan sorak membuncah.

Kael jatuh berlutut.

Napasnya hilang, tenaganya hilang. Suara di arena memudar menjadi dengung kabur.

Untuk pertama kalinya ia merasakan tubuhnya benar-benar mati.

Namun, tidak ada ketakutan.

Yang ada adalah keheningan aneh, seperti suara air yang jatuh ke dalam sumur yang sangat dalam. Dan di dalam sumur itu … sesuatu seperti terbuka.

Sesuatu yang selama bertahun-tahun tidak pernah tersentuh, tidak pernah dipanggil, tidak pernah terbangun, karena dunia menyebutnya kutukan iblis purba.

Darah Kael yang mengalir di lantai mulai menghitam. Bukan cokelat merah gelap, bukan darah beku. Hitam, seperti tinta bayangan.

Aura dingin menyusup ke udara, bukan dingin angin. Dingin seperti tanah kuburan yang menunggu penghuni baru.

Tetua di tribun berdiri. Salah satu berbisik, “Itu … bukan darah biasa.”

Darian berhenti tertawa. Ia menatap darah hitam itu, lalu menatap mata Kael yang kini perlahan terbuka lagi.

Dan iris yang dulu hitam polos itu … kini berubah. Ada garis tipis gelap berputar di sekeliling pupilnya, seperti cincin bayangan hidup.

Kael mengangkat kepalanya perlahan. Bukan dengan tenaga otot, tapi seolah ada sesuatu yang mengangkatnya dari dalam.

“Aku akan ingat ini,” katanya pelan.

Darian mundur satu langkah tanpa sadar. “Kau … kau sudah mati. Kau seharusnya mati.”

Kael berdiri. Bayangan di bawah kakinya terangkat bersama tubuhnya, seperti sesuatu yang memiliki napas sendiri.

“Aku memang mati,” ujarnya tenang. “Tapi kau salah jika mengira itu akhir.”

Sorak ejekan berhenti.

Hujan mulai turun.

Kael menatap seluruh arena, para murid yang menertawakannya, para tetua yang menyebutnya aib, para pelayan yang melihatnya seperti kotoran, sang ayah yang bahkan tak menganggapnya layak untuk dibunuh dengan tangan sendiri.

Lalu ia menatap Darian, dan berkata pelan, seperti membacakan vonis, “Kalian seharusnya membunuhku sebelum darahku bangun.”

Bayangan di tanah bergerak. Tidak seperti cahaya yang datang dari atas, tapi dari bawah. Seperti sesuatu di dalam bumi merespons keberadaannya.

Darian membuka mulut, ingin menyerang, namun tubuhnya menegang. Tombaknya terasa berat, seolah cahaya di dalamnya padam dilahap sesuatu.

“Kael …” Darian bergumam. “Apa … apa yang kau lakukan?”

Kael tidak menjawab. Karena itu bukan lagi kael yang berdiri di sana sepenuhnya.

Yang berdiri adalah warisan yang telah tidur selama delapan belas tahun.

Dan ketika ia membuka telapak tangannya, bayangan merespons seperti binatang lapar yang baru diberi perintah.

Arena bergetar.

Tribun terdiam.

Dan Kael mengucapkan kalimat yang kelak akan menjadi awal dari kehancuran sekte itu, “Jika dunia menolak keberadaanku … maka aku akan menelan dunia itu.”

Lalu bayangan pertama menyerang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Divya Gauri
Bab pertama nagih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   6. DENYUT YANG TERBANGUN

    Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   5. UJIAN PERTAMA

    Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   4. GERBANG SUNYI

    Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   3. PUTRA TANPA NAMA

    Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   2. PINTU YANG DIBUKA

    Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   1. DARAH YANG DIBUANG

    “Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status