Share

7. LANGKAH PERTAMA

Author: Aleena Tan
last update Last Updated: 2025-11-19 11:00:55

Hujan berhenti sebelum Kael muncul dari balik kabut. Bukan karena cuaca berubah, tetapi karena udara memutuskan untuk tidak menyentuhnya.

Setiap tetes yang jatuh beberapa meter darinya membeku, berubah menjadi serpihan gelap sebelum runtuh seperti pasir hitam. Langkah pertama Kael di luar lembah membuat tanah mengerut, seolah akar dunia yang tak terlihat sedang mundur agar tidak tersentuh.

Angin pun ragu untuk lewat.

Kael berdiri di pintu lembah seperti seseorang yang baru saja kembali dari kematian, tetapi tidak membawa kematian sebagai beban. Ia membawanya sebagai perintah.

Bayangan di bawah kakinya bergerak, menyebar perlahan, tidak seperti kabut yang meluas, tetapi seperti makhluk lapar yang sedang mencium arah mangsanya.

“Dunia luar masih sama,” gumam Kael, suaranya pelan, tenang, namun membuat udara sekitarnya bergetar. “Terlalu terang.”

Ia mengangkat tangan. Jubah Malam membentuk aliran tipis di belakangnya, berkibar tanpa angin, seperti kenyataan itu sendiri sedang berubah ritme untuk mengiringi geraknya.

Dari kejauhan, suara-suara pertama terdengar.

“Itu dia!”

“Kael! Dia keluar!”

“Tetua tunggu, tunggu! Jangan dekat-dekat!”

Beberapa pemburu bayaran yang diam-diam berkeliaran di sekitar lembah, yang berharap Kael mati di dalam mulai mundur dengan wajah sepucat tulang. Mereka bukan pengecut, mereka para profesional yang hidup dari menilai bahaya.

Dan di mata mereka, Kael bukan lagi target.

Ia adalah kesalahan perhitungan yang mereka tidak pernah ingin ulangi.

Salah satu pemburu, pria bertato di wajah, mencoba melarikan diri sambil memaki. Namun bayangan tipis menyambar kakinya seperti tali halus. Ia tersungkur, wajahnya menghantam tanah basah. Tubuhnya bergetar ketakutan.

“Sa—saya tidak datang untuk melawan!” jeritnya. “Saya hanya … hanya memantau.”

Kael tidak menoleh, bayangannya yang menoleh.

Gelap itu mengangkat tubuh pemburu itu, hanya beberapa sentimeter dari tanah. Tidak melukai, tidak mencekik. Hanya menahan.

Menilai.

Kael berjalan melewatinya tanpa memberi perhatian. Saat Kael sudah tiga langkah menjauh, bayangan melepaskannya. Pemburu itu jatuh, merangkak mundur dengan tangan gemetar.

Ia tidak berani menatap Kael lagi.

“Bukan manusia,” bisiknya. “Dia bukan manusia lagi.”

Kael berhenti sejenak.

Kemudian berucap lirih, “Akhirnya kalian mulai mengerti.”

Ia terus berjalan.

Sementara itu, sekte memanas seperti sarang lebah yang diguncang.

Tetua-tetua berkumpul di paviliun pusat. Darian berjalan mondar-mandir, aura amarahnya kacau. Para murid berkerumun di luar, ingin tahu tetapi terlalu takut mendekat.

“Dia keluar dari lembah!” Salah satu murid berteriak dari kejauhan. “Aku melihat badai bayangan sampai ke langit!”

Tetua Keempat memukul meja hingga retak. “Mustahil. Tidak ada yang keluar dengan selamat dari lembah itu dalam ratusan tahun!”

“Dan karena itu,” sahut Tetua Ketiga dengan suara berat, “Tidak ada yang tahu apa jadinya seseorang bila berhasil keluar.”

Darian menoleh pada ayahnya. “Ayah, beri perintah! Jika kita menunggu, Kael akan—”

“Kael apa?” Varyon memotong, dingin. “Akan menyerang? Akan membunuh? Atau akan datang menagih sesuatu yang sejak awal kalian semua berutang padanya?”

Darian membeku.

Varyon menatap badai yang masih tersisa di horizon. Rautnya tetap tak terbaca, tapi matanya tidak bohong, ada ketakutan yang tidak ingin ia akui.

“Dia bukan lagi murid sekte,” lanjutnya. “Dia bukan bagian dari dunia ini.”

“Lalu kita harus—”

“Tidak ada kita menghadapi Kael,” kata Varyon tegas. “Siapa pun yang memancingnya sekarang … akan mati.”

Keheningan jatuh lagi, tetapi kali ini terasa seperti pisau di tenggorokan semua orang.

Kael berjalan melewati deretan batu hitam yang menandai pintu keluar lembah. Di luar sana, hutan kembali berwarna, hijau, cokelat, kebiruan. Namun semua warna itu tampak pucat di hadapan auranya.

Langkahnya terasa lebih ringan, tetapi bukan karena tubuhnya berubah, melainkan karena beban lamanya sudah tidak ada.

“Kau sudah memilih,” suara lembah bergema samar, seperti bisikan angin terakhir. “Sekarang dunia akan menunggu putusanmu.”

Kael menatap ke arah kejauhan, ke gunung tempat sekte berdiri. Tempat ia dibesarkan, tempat ia dihina, tempat ia hampir mati.

Rasanya aneh, tidak ada kemarahan. Tidak ada kerinduan, tidak ada getaran.

Yang ada hanya keheningan yang tajam, keheningan dari seseorang yang akan bertindak bukan karena emosi, tetapi karena keputusan.

“Dunia berpikir aku akan kembali untuk menagih,” gumamnya.

Bayangan berkumpul di sekelilingnya, berputar seperti pusaran angin hitam.

“Tapi aku kembali … untuk memilih apa yang layak dibiarkan hidup.”

Ia mengangkat wajah.

Di kejauhan, suara teriakan pertama dari para pemburu lain mulai terdengar, ketakutan spontan, seperti insting alam yang tahu predator terkuat baru muncul.

Kael melangkah maju, jubah malam berkibar, bayangan mengikuti langkahnya seperti barisan pasukan tak terlihat.

“Aku akan memulai dari mereka,” katanya pelan. “Yang mengira aku masih sama seperti dulu.”

Dan dengan itu, Kael melangkah keluar dari lembah sebagai sesuatu yang baru.

Bayangan di sekitar Kael merespons dengan gelombang halus, seperti seluruh kegelapan di wilayah itu sedang mengangguk setuju. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, dunia sendiri tampak menahan napas. Angin berhenti. Hutan membeku.

Lalu, suara dentuman kecil terdengar. Bukan dari Kael, tapi dari langit.

Awan bergulung seperti dilecut dari dalam, dan retakan cahaya hitam terbentuk di antara celah awan. Tidak besar, hanya selebar mata manusia, tetapi cukup untuk membuat alam gemetar.

Kael mengangkat kepalanya sedikit.

“Menarik,” gumamnya. “Bahkan langit pun bereaksi.”

Kabut yang tersisa dari lembah seperti terhisap ke arahnya. Daun-daun berguguran meski tidak ada angin. Burung-burung berhamburan keluar dari hutan, terbang menjauhi lembah dengan ketakutan naluriah yang lebih tua dari insting mereka sendiri.

Kael berjalan perlahan, dan setiap langkahnya membuat tanah menghitam sebentar sebelum kembali normal. Bayangan mengikuti seperti aliran tinta.

Beberapa puluh meter dari lembah, Kael menemukan tanda. Jejak sepatu, beberapa di antaranya berlari terburu-buru, sebagian lingkaran dari pemburu yang bersembunyi. Ada juga bekas api unggun kecil yang baru dipadamkan.

Kael berlutut, mengangkat abu dingin itu di ujung jarinya.

“Mereka menunggu aku mati,” desisnya. “Dan bersiap menagih mayatku.”

Bayangan menebal di belakangnya seperti dua sayap besar.

Kael menatap jejak itu, lalu menutup mata sejenak. Ia tidak marah, tidak tersinggung. Tidak merasa perlu mempercepat langkahnya.

Namun ada sesuatu yang jelas, mereka yang menunggu kematiannya, sedang dalam perjalanan untuk menjadi langkah pertamanya.

Ia berdiri dan berjalan mengikuti jejak itu.

Semakin jauh dari lembah, semakin terasa perubahan tubuhnya. Aroma hutan kini tidak tercium seperti biasa. Semua wangi bercampur menjadi satu informasi tunggal, arah.

Detak tanah, suara serangga, desis dedaunan, semuanya seperti peta yang membentang di depan Kael. Ia bisa merasakan keberadaan tiga kelompok pemburu, setidaknya delapan ratus meter ke depan.

Dulu, ia harus waspada agar tidak ditemukan. Sekarang, mereka harus berdoa agar ia tidak ingin menemukan mereka.

Suara lembah masih samar-samar terdengar di belakangnya, seperti gema terakhir, Dunia tidak tahu siapa Kael saat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   10. BAYANGAN YANG MEMILIH

    “Dia … bukan—” Kata-kata itu tidak sempat selesai.Bayangan Kael menutup seperti kepak sayap raksasa, menghantam udara dengan suara ‘DUM’ rendah yang membuat pepohonan di kiri-kanan melengkung. Dua Pemburu Emas itu terlempar mundur, tubuh mereka membentur tanah keras.Kael berdiri tanpa bergerak, bayangan di belakangnya berkedip-kedip seperti napas makhluk hidup.Perempuan yang terluka di balik semak itu memandangi Kael tanpa berkedip. Jarak mereka cukup jauh, namun ada sesuatu yang aneh karena setiap kali Kael bergerak, tubuh perempuan itu merespons, seolah aura Kael memengaruhi detak jantungnya sendiri.Bukan karena takut, justru sebaliknya.Seperti tubuhnya mengenali sesuatu yang logikanya tidak bisa menjelaskan.“Dia bukan manusia!” Pemburu paling tinggi akhirnya selesai kalimatnya.Kael mengangkat wajah sedikit. “Terlambat menyadarinya.”Bayangan melesat dari tan

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   9. PEMBURU TINGKAT EMAS

    Kabut malam menebal, mengitari batang pohon seperti asap yang berusaha melarikan diri. Tiga Pemburu Tingkat Emas berdiri tegak di dahan tertinggi, tubuh mereka tegang, tetapi bukan ketakutan, mereka adalah profesional.Kael menatap mereka dari bawah, jubah malamnya berkibar tanpa angin. Bayangan menyatu di belakangnya, membentuk pola seperti sayap patah yang merunduk dan membuka kembali, siap melahap apa pun yang bergerak.“Aku tidak punya waktu banyak,” katanya pelan. Suara itu tidak keras, tetapi memecah udara sampai daun-daun di sekitarnya bergetar halus.Tiga pemburu itu saling bertukar pandang, sebelum pemimpin mereka mengangkat tangan, memberi kode.“Bola jarring, sekarang!”Dua pemburu menggerakkan jari mereka cepat. Formasi segel muncul di udara, membentuk jaring tak terlihat yang menutup dari atas, seperti kubah cahaya tipis.“Ada banyak monster yang keluar dari lembah,” gumam salah satunya. &ldqu

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   8. MEREKA YANG MENUNGGU KEMATIAN

    Hutan di luar lembah menahan napas saat Kael melangkah. Tidak ada suara ranting patah, tidak ada desir rumput digesek angin. Bahkan suara detak jantung alam seperti ikut mengecil, seolah menyesuaikan dengan ritme jantung Kael yang baru, ritme yang tidak dimiliki makhluk hidup mana pun.Bayangan di bawah kakinya berubah bentuk setiap beberapa langkah, seperti tinta yang mencari pola baru. Kadang memanjang seperti ular hitam, kadang melebar seperti genangan, kadang bergerigi seperti gigi.Semua itu tidak Kael kendalikan dengan sengaja, itu hanya reaksi bayangan terhadap keberadaannya.Ia mengikuti jejak pemburu tanpa tergesa. Setiap bau darah kering, sisa makanan, atau gesekan sepatu di tanah membentuk garis peta yang Kael lihat dengan sangat jelas, meski matanya tidak benar-benar menatap tanah.Sekarang ia tidak membaca dunia dengan mata, ia membaca dunia dengan kegelapan.“Delapan ratus meter,” gumamnya. “Kelompok pertama.”

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   7. LANGKAH PERTAMA

    Hujan berhenti sebelum Kael muncul dari balik kabut. Bukan karena cuaca berubah, tetapi karena udara memutuskan untuk tidak menyentuhnya.Setiap tetes yang jatuh beberapa meter darinya membeku, berubah menjadi serpihan gelap sebelum runtuh seperti pasir hitam. Langkah pertama Kael di luar lembah membuat tanah mengerut, seolah akar dunia yang tak terlihat sedang mundur agar tidak tersentuh.Angin pun ragu untuk lewat.Kael berdiri di pintu lembah seperti seseorang yang baru saja kembali dari kematian, tetapi tidak membawa kematian sebagai beban. Ia membawanya sebagai perintah.Bayangan di bawah kakinya bergerak, menyebar perlahan, tidak seperti kabut yang meluas, tetapi seperti makhluk lapar yang sedang mencium arah mangsanya.“Dunia luar masih sama,” gumam Kael, suaranya pelan, tenang, namun membuat udara sekitarnya bergetar. “Terlalu terang.”Ia mengangkat tangan. Jubah Malam membentuk aliran tipis di belakangnya, be

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   6. DENYUT YANG TERBANGUN

    Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya

  • Bayangan Darah Sang Putra Buangan   5. UJIAN PERTAMA

    Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status