LOGINHutan di luar lembah menahan napas saat Kael melangkah. Tidak ada suara ranting patah, tidak ada desir rumput digesek angin. Bahkan suara detak jantung alam seperti ikut mengecil, seolah menyesuaikan dengan ritme jantung Kael yang baru, ritme yang tidak dimiliki makhluk hidup mana pun.
Bayangan di bawah kakinya berubah bentuk setiap beberapa langkah, seperti tinta yang mencari pola baru. Kadang memanjang seperti ular hitam, kadang melebar seperti genangan, kadang bergerigi seperti gigi.
Semua itu tidak Kael kendalikan dengan sengaja, itu hanya reaksi bayangan terhadap keberadaannya.
Ia mengikuti jejak pemburu tanpa tergesa. Setiap bau darah kering, sisa makanan, atau gesekan sepatu di tanah membentuk garis peta yang Kael lihat dengan sangat jelas, meski matanya tidak benar-benar menatap tanah.
Sekarang ia tidak membaca dunia dengan mata, ia membaca dunia dengan kegelapan.
“Delapan ratus meter,” gumamnya. “Kelompok pertama.”
Langkahnya tetap santai.
Namun bagi mereka yang mendengarnya dari jauh, terdengar seperti derap kematian yang berjalan perlahan untuk memberi kesempatan terakhir pada mangsanya.
Lima orang duduk di sekitar api yang hampir mati. Mereka mengenakan jubah penangkal aura dan masker kulit. Masing-masing membawa senjata berbeda, tombak pendek, panah racun, dan dua pedang kembar.
“Harusnya dia sudah mati,” gumam salah satu pemburu, menusuk tanah dengan pisau. “Tidak mungkin ada yang keluar dari lembah itu.”
Yang lain mendengus. “Kita lihat saja nanti. Kalau tubuhnya keluar terbawa arus bayangan, kita tarik bagian yang bisa dijual.”
“Kau yakin ada bagian yang bisa—” Kata-katanya terputus.
Api unggun mereka padam, bukan karena tiupan angin, melainkan karena bayangan merayap ke dalam nyala dan memakan warnanya.
“Ap—apa itu?”
“Gelapnya… salah.” “Siapkan senjata!”Mereka berdiri terburu-buru, panik, nafasnya naik turun. Lalu seseorang berjalan keluar dari hutan.
Langkahnya ringan, tenang, tidak terburu-buru. Tetapi setiap langkahnya membuat warna di sekitar memudar.
Lampu siang berubah seperti senja, senja berubah seperti malam. Dan malam berubah seperti sesuatu yang tidak pernah ingin ditulis dalam bahasa manusia.
Kael muncul di antara pepohonan. Wajah tampan itu tidak berubah, hanya … lebih sunyi. Lebih dalam, lebih sulit dibaca.
Bayangan di belakang Kael memanjang seperti mantel berat yang bergerak sendiri.
Para pemburu mundur secara refleks.
“S—Siapa kau?!” seru salah satunya.
Kael mengangkat kepala, dan mata hitamnya memantulkan sisa cahaya seolah sedang menilai.
“Kalian menunggu aku mati,” jawab Kael pelan. “Aku hanya datang untuk memastikan apakah harapan kalian masih perlu ada.”
Salah satu pemburu panik dan meluncurkan panah racun. Panah itu melesat cepat, dengan aura yang seharusnya mampu menembus perisai tingkat menengah.
Kael tidak menoleh.
Bayangan di pundaknya bergerak seperti cambuk, dan panah itu hancur menjadi debu hitam sebelum menyentuhnya.
Pemburu yang lain langsung menyerang bersamaan, menyerbu dari tiga arah. Mereka adalah profesional, tidak gegabah meski panik. Serangan dilakukan serentak, memanfaatkan sudut buta.
Kael tidak bergerak satu milimeter pun, dan itu cukup untuk membuat mereka tahu mereka sudah kalah.
Dari bawah Kael, bayangan melonjak seperti gelombang hitam. Menyambut, mengikat, menjerat.
Para pemburu mengerang, tubuh mereka diangkat beberapa sentimeter dari tanah. Mereka tidak bisa bergerak, bahkan bernafas pun terasa berat, seperti udara diambil dari paru-paru mereka.
“K-kekuatan apa ini?”
“Dia … bukan manusia!” “Aku bilang jangan dekat-dekat lembah itu!”Kael menatap mereka dengan tatapan datar.
“Dulu,” katanya tenang, “Aku takut dengan dunia luar karena aku tidak tahu bagaimana dunia melihatku.”
Bayangan menekan sedikit, tulang salah satu pemburu berderit.
“Tapi sekarang,” lanjut Kael, “Akulah yang melihat dunia. Dan aku memutuskan … kalian tidak penting.”
Dengan satu gerakan jari, bayangan berubah bentuk seperti kabut yang memotong.
Tidak ada jeritan, tidak ada darah memercik. Tubuh mereka hancur seperti pasir gelap yang tertiup angin.
Sisa bayangannya kembali ke tanah dan menyatu dengan langkah Kael kembali.
Ia tidak menatap ke belakang, tidak satu pun dari mereka layak menjadi ingatan.
Kael berjalan beberapa menit lagi hingga bau ketakutan berikutnya muncul. Dari balik dedaunan, tiga orang pemburu memegangi mulut satu sama lain, menahan napas. Mereka melihat apa yang terjadi dari jauh.
“Kau lihat tadi?! Dia—dia bahkan tidak menyentuh mereka!”
“Kita harus pergi! Ini bukan target biasa!” “Kau ingin pergi ke mana?! Dialah yang menemukan KITA!”Kael berhenti tepat di depan semak tempat mereka bersembunyi.
Tanpa melihat, ia berkata, “Terlalu berisik.”
Mereka membeku.
“Aura kalian bergetar seperti hewan luka,” lanjutnya. “Kukira kalian lebih profesional.”
Bayangan menyebar, tidak mengikat, hanya … menyentuh. Sentuhan ringan itu cukup membuat ketiganya pingsan.
Kael berjalan lagi, ia tidak butuh membunuh semua orang. Beberapa cukup ditinggalkan hidup agar cerita tentang dirinya bisa menyebar.
Ketakutan adalah bahasa yang lebih efisien daripada pedang.
Kael merasakan aura kelompok ketiga semakin jelas, mereka bukan pemburu biasa. Tekanan aura mereka lebih rapi, lebih terlatih, lebih … berbahaya.
Kael berhenti. Angin yang mati kembali bergerak. Tanah yang dingin kembali bergetar.
“Akhirnya,” gumamnya. “Sesuatu yang tidak membosankan.”
Bayangan di sekelilingnya merapat, seperti pasukan yang menyiapkan barisan.
Kael menatap ke depan. “Tunjukkan apakah kalian layak menjadi penghangat sebelum aku naik gunung itu.”
Dan ia melanjutkan langkahnya, ke arah kelompok yang tidak datang untuk mengambil mayatnya, tetapi untuk memastikan ia tidak pernah mencapai sekte lagi.
“Akhirnya,” gumamnya, “sesuatu yang tidak membosankan.”
Tekanan aura di depan terasa berbeda. Tidak bergetar seperti milik pemburu kelas rendah, tidak liar seperti kelompok sebelumnya.
Ini… tenang. Stabil. Seperti tangan ahli yang bisa mematikan seseorang tanpa perubahan ekspresi.Kael berhenti sejenak, membiarkan bayangannya merayap maju seperti antena untuk membaca keadaan.
Di kejauhan, tiga sosok berdiri di atas dahan pohon besar. Masing-masing tidak bergerak, tetapi aura mereka berdenyut seperti baja yang digosok.
Mereka mengenakan masker perak tipis dan jubah tempur yang hanya dipakai oleh Pemburu Tingkat Emas, golongan paling mematikan di benua, biasanya dikerahkan untuk menangkap kultivator level tinggi.
“Dia mendekat,” bisik salah satu sosok di atas pohon.
“Tidak. Dia tahu kita di sini.” Koreksi sosok yang tubuhnya paling kurus namun auranya paling tajam. “Dan dia menunggu kita mengakui kehadiran kita.”
“Ini tidak seperti laporan. Dia … berbeda.”
Kael mengangkat kepalanya sedikit. “Jika kalian berencana menyerang dari atas,” katanya tenang. “itu tidak akan membantu.”
Ketiga sosok itu saling menatap, kaget karena seseorang dari bawah bisa mendengar bisikan mereka dari jarak sekitar seratus meter.
Sosok di tengah, pemimpin kelompok itu, menarik napas dalam.
“Kael Astaroth,” katanya lantang. “Atas nama Persekutuan Pemburu, kami diutus bukan untuk mengambil kepalamu…”
Kael mengangkat alis tipis.
“Tetapi untuk memastikan kau tidak melangkah ke luar lembah.”
Kael tersenyum kecil, dingin seperti malam yang tidak mengenal belas kasihan.
“Sayangnya,” katanya. “Lambat.”
Bayangannya menggulung naik seperti gelombang hitam raksasa, menyentuh akar-akar pohon, batang, lalu merayap ke udara seperti kabut yang berusaha menggigit langit.
Ketiga pemburu emas itu serempak menghunus senjata mereka.
Kael melangkah ke depan.
“Baik,” gumamnya pelan, “Tunjukkan apakah kalian pantas menghalangiku.”
“Dia … bukan—” Kata-kata itu tidak sempat selesai.Bayangan Kael menutup seperti kepak sayap raksasa, menghantam udara dengan suara ‘DUM’ rendah yang membuat pepohonan di kiri-kanan melengkung. Dua Pemburu Emas itu terlempar mundur, tubuh mereka membentur tanah keras.Kael berdiri tanpa bergerak, bayangan di belakangnya berkedip-kedip seperti napas makhluk hidup.Perempuan yang terluka di balik semak itu memandangi Kael tanpa berkedip. Jarak mereka cukup jauh, namun ada sesuatu yang aneh karena setiap kali Kael bergerak, tubuh perempuan itu merespons, seolah aura Kael memengaruhi detak jantungnya sendiri.Bukan karena takut, justru sebaliknya.Seperti tubuhnya mengenali sesuatu yang logikanya tidak bisa menjelaskan.“Dia bukan manusia!” Pemburu paling tinggi akhirnya selesai kalimatnya.Kael mengangkat wajah sedikit. “Terlambat menyadarinya.”Bayangan melesat dari tan
Kabut malam menebal, mengitari batang pohon seperti asap yang berusaha melarikan diri. Tiga Pemburu Tingkat Emas berdiri tegak di dahan tertinggi, tubuh mereka tegang, tetapi bukan ketakutan, mereka adalah profesional.Kael menatap mereka dari bawah, jubah malamnya berkibar tanpa angin. Bayangan menyatu di belakangnya, membentuk pola seperti sayap patah yang merunduk dan membuka kembali, siap melahap apa pun yang bergerak.“Aku tidak punya waktu banyak,” katanya pelan. Suara itu tidak keras, tetapi memecah udara sampai daun-daun di sekitarnya bergetar halus.Tiga pemburu itu saling bertukar pandang, sebelum pemimpin mereka mengangkat tangan, memberi kode.“Bola jarring, sekarang!”Dua pemburu menggerakkan jari mereka cepat. Formasi segel muncul di udara, membentuk jaring tak terlihat yang menutup dari atas, seperti kubah cahaya tipis.“Ada banyak monster yang keluar dari lembah,” gumam salah satunya. &ldqu
Hutan di luar lembah menahan napas saat Kael melangkah. Tidak ada suara ranting patah, tidak ada desir rumput digesek angin. Bahkan suara detak jantung alam seperti ikut mengecil, seolah menyesuaikan dengan ritme jantung Kael yang baru, ritme yang tidak dimiliki makhluk hidup mana pun.Bayangan di bawah kakinya berubah bentuk setiap beberapa langkah, seperti tinta yang mencari pola baru. Kadang memanjang seperti ular hitam, kadang melebar seperti genangan, kadang bergerigi seperti gigi.Semua itu tidak Kael kendalikan dengan sengaja, itu hanya reaksi bayangan terhadap keberadaannya.Ia mengikuti jejak pemburu tanpa tergesa. Setiap bau darah kering, sisa makanan, atau gesekan sepatu di tanah membentuk garis peta yang Kael lihat dengan sangat jelas, meski matanya tidak benar-benar menatap tanah.Sekarang ia tidak membaca dunia dengan mata, ia membaca dunia dengan kegelapan.“Delapan ratus meter,” gumamnya. “Kelompok pertama.”
Hujan berhenti sebelum Kael muncul dari balik kabut. Bukan karena cuaca berubah, tetapi karena udara memutuskan untuk tidak menyentuhnya.Setiap tetes yang jatuh beberapa meter darinya membeku, berubah menjadi serpihan gelap sebelum runtuh seperti pasir hitam. Langkah pertama Kael di luar lembah membuat tanah mengerut, seolah akar dunia yang tak terlihat sedang mundur agar tidak tersentuh.Angin pun ragu untuk lewat.Kael berdiri di pintu lembah seperti seseorang yang baru saja kembali dari kematian, tetapi tidak membawa kematian sebagai beban. Ia membawanya sebagai perintah.Bayangan di bawah kakinya bergerak, menyebar perlahan, tidak seperti kabut yang meluas, tetapi seperti makhluk lapar yang sedang mencium arah mangsanya.“Dunia luar masih sama,” gumam Kael, suaranya pelan, tenang, namun membuat udara sekitarnya bergetar. “Terlalu terang.”Ia mengangkat tangan. Jubah Malam membentuk aliran tipis di belakangnya, be
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya
Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba







