Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.
Udara dingin dan berat.
Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.
Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.
Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.
Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bangsawan berselendang bulu eksotis dan perhiasan yang menyilaukan. Semua kepala menoleh serentak. Seolah seekor serigala baru saja melangkah ke kandang domba.
Atau sebaliknya.
“Pangeran Darius,” ucap Raja Eldric ayah dari tubuh yang kini kutempati.
Suaranya berat, dingin, dan tajam seperti bilah pedang.
“Duduklah.”
Aku menahan napas, lalu berjalan ke kursi tinggi di sisi kanan raja, kursi yang lebih besar dari yang lain, dihiasi ukiran gigi serigala yang saling mengunci. Mereka menyebutnya Kursi Sang Serigala tempat bagi pewaris takhta sekaligus panglima tertinggi kerajaan.
Begitu duduk, tubuhku menegang. Kursi itu dingin, tapi punggungku dibakar tatapan-tatapan mereka.
Mereka menungguku bicara. Mereka menunggu Darius yang mereka kenal.
Yang kasar, meledak-ledak, haus darah.
Aku hanya seorang pria biasa yang dulu nyaris pingsan saat upacara.
Tapi sekarang, semua orang di ruangan ini akan mencabikku hidup-hidup jika aku tampak lemah.
Raja Eldric membuka gulungan surat yang diantarkan pengawal, matanya menyapu cepat baris-baris tinta gelap di atas perkamen. Ia mengangkat pandangannya, menatap seluruh ruangan.
“Laporan mata-mata menyebutkan bahwa Kerajaan Morgone memusatkan pasukan di perbatasan utara,” katanya datar.
Bisik-bisik langsung pecah di antara para bangsawan. Suara kain sutra bergesek, kipas terbuka, kursi bergeser. Seorang adipati berambut putih berdiri, dagunya terangkat tinggi.
“Yang Mulia, biarkan Pangeran Darius memimpin pasukan,” katanya lantang. “Darah musuh akan membeku hanya dengan mendengar namanya.”
Beberapa bangsawan lain tertawa sinis. Suara mereka seperti paku berderak di atas kaca.
Darahku membeku. Mereka ingin aku memimpin perang. Aku… bahkan tak tahu cara memegang Busur panah dan pedang dengan benar.
Tapi semua mata menatapku. Menunggu. Menuntut. Menanti sang serigala mengaum. Aku menegakkan punggung, menatap lurus ke arah mereka dan berkata dengan suara yang kubuat setenang mungkin:
“Aku akan pergi ke perbatasan. Tapi kita tidak akan mengirim pasukan tanpa rencana. Kita bukan pembantai. Kita pelindung kerajaan.”
Ruangan mendadak membeku. Tawa terputus di tenggorokan. Beberapa bangsawan menoleh satu sama lain, dahi mereka berkerut. Seolah mereka mendengar sesuatu yang mustahil keluar dari mulutku.
Marcell, yang berdiri di belakang Raja, menyipitkan mata. Tatapannya menusuk seperti paku es.
Ia mencium sesuatu, bahwa mungkin jiwa di balik tubuh ini bukan lagi Darius yang mereka kenal.
Raja Eldric menatapku lama sekali, nyaris tanpa berkedip. Jantungku berdetak begitu keras sampai aku yakin mereka bisa mendengarnya.
Lalu, perlahan… bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
“Begitu ya,” katanya lembut, tapi mengandung ancaman samar.
“Tampaknya darahmu mulai mendingin, Darius.”
Aku menunduk singkat, menahan napas. Jari-jariku menggenggam ujung meja begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
Mereka mengira aku masih sang serigala. Padahal, aku hanyalah pria dari dunia asing… yang mencoba tidak tampak takut.
Pertemuan berlanjut, membahas strategi, perbekalan, dan politik istana. Aku hanya menanggapi secukupnya, menjaga tatapan tetap tajam, seolah siap membunuh siapa pun yang menantangku.
Namun di dalam dada, rasa gentar menari liar. Satu kata yang salah, satu senyum yang terlalu lembut… dan mereka akan tahu.
Aku mencuri pandang pada Marcell beberapa kali. Ia tidak menulis. Tidak berbicara.
Hanya menatapku… seperti pemburu sabar yang menunggu mangsanya membuat kesalahan.
Setelah pertemuan usai, aku berjalan keluar sendirian, langkah berat menggema di lorong batu. Nafasku tercekat.
Lorong terasa lebih sunyi dari biasanya. Atau mungkin… lebih mengintai.
Bayangan pilar memanjang ke arahku seperti jari-jari yang siap meraih leherku. Dan di tengah hening itu, satu pikiran menghantamku.
Mereka tidak menungguku memimpin. Mereka menungguku gagal… agar bisa menghabisiku.
Aku mengepalkan tangan, dan berbisik pada diriku sendiri:
“Aku tidak akan jatuh. Tidak hari ini.”
Lonceng istana berdentang dari kejauhan. Pertarungan belum dimulai,
tapi medan perangnya… sudah mengepungku.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r