Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.
Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.
Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.
Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.
“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.
“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.
Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.
Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.
Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di atas kaca retak.
Aku membuka pintu kamarku perlahan. Suara engselnya berderit lembut, seperti keluhan. Cahaya perapian menyala redup di sudut ruangan. Api berkeredap pelan, memantulkan cahaya oranye ke dinding batu dan perabot kayu tua. Udara hangat tapi terasa berat, penuh kenangan kelam yang menolak pergi.
Di kursi dekat perapian, Elira duduk membungkuk, menatap kosong ke bara api. Rambut keemasannya jatuh di bahu, memantulkan cahaya temaram, namun wajahnya… pucat, kosong. Mata indah itu seperti danau beku, datar di permukaan, menyimpan reruntuhan di bawahnya.
“Elira…” panggilku pelan.
Ia menoleh ragu, pelan sekali, seolah hanya setengah yakin ingin tahu siapa yang memanggil. Tangannya yang mungil meremas ujung gaunnya erat-erat, seperti bersiap menghadapi bentakan… atau pukulan.
“Ada… apa, Tuanku?” suaranya lirih, nyaris pecah.
Aku menahan napas sejenak. Di balik wajahnya yang lembut, aku bisa melihat luka. Luka yang dulu dibuat oleh tangan ini… bukan tanganku, tapi tangan Darius.
Dan kini aku harus menanggungnya.
Aku melangkah pelan ke arahnya. Setiap langkah terasa seperti melangkahi pecahan kaca. Aku bisa merasakan bagaimana udara di sekitar kami menegang, seperti senar yang ditarik terlalu kencang.
Dalam hati aku berbicara, “Aku ingin memperbaiki semuanya… menebus semua luka yang pernah dia tinggalkan padamu.”
Aku berhenti di hadapannya, lalu berlutut perlahan agar pandangan kami sejajar. Untuk pertama kalinya sejak aku berada di tubuh ini, aku menatap matanya langsung. Tanpa kemarahan, tanpa ancaman.
Elira membeku. Mata lebarnya membulat, tapi tidak bersinar hanya penuh kehati-hatian. Ada air mata berkilat tipis di pelupuknya, seperti embun yang menahan diri agar tidak jatuh.
“Jangan mempermainkanku, Darius” bisiknya serak.
“Aku… tak sanggup jika ini hanya permainan barumu.”
Kata-kata itu menghantam dadaku lebih dalam dari semua pedang yang pernah menancap di tubuh ini.
Sakit, karena aku tahu, aku bukan yang menyakitinya, tapi dia tidak tahu itu.
Aku ingin berkata, “Aku bukan dia,” tapi lidahku kelu. Karena bagi Elira, tidak ada perbedaan. Tubuh ini adalah sang tiran yang dulu merenggut semua senyumnya.
Sebelum aku sempat membalas, pintu kamar mendadak terbuka keras. Suara logam berdenting. Seorang pengawal berlari masuk, napasnya memburu, wajahnya pucat.
“Panglima!” serunya panik, membungkuk terburu-buru.
“Ada penyusup di menara timur… dan dia menyebut nama Anda.”
Jantungku mencelos. Aura damai yang rapuh tadi langsung hancur seperti kaca.
Elira menoleh cepat ke arahku. Untuk sepersekian detik, mata kami bertaut ketakutan dan tekad bertabrakan di sana.
Bayangan masa lalu menyelinap ke benakku, samar seperti kabut:
Bayangan Darius berdiri di atas tumpukan mayat, matanya dingin, bajunya berlumur darah, saat orang-orang menyebut namanya dengan teror.
Dan sekarang… seseorang kembali memanggil nama itu.
“Jaga Elira,” ucapku datar, suara ini terdengar asing bahkan di telingaku sendiri.
Aku berdiri, meraih pedang dari dinding, lalu melangkah pergi. Bayanganku memanjang di lantai, menelan cahaya obor satu per satu.
Langkah kakiku menyusuri lorong yang membeku, dan aku tahu… aku tidak hanya akan menghadapi seorang penyusup malam ini.
Aku akan menghadapi masa lalu Darius yang tampaknya belum selesai memburuku.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r