Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.
Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.
Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.
Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.
Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.
Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.
Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.
Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”
Ia menggeleng pelan, masih menunduk. “Tidak, Yang Mulia… hanya… lelah.”
Suaranya pelan, tapi kali ini tidak gemetar. Ada sesuatu yang lembut, rapuh… dan nyata.
Kamar kami remang saat kami masuk. Api di perapian masih menyala, memantulkan cahaya tembaga ke dinding batu. Udara hangat, tapi sunyi.
Elira berjalan pelan ke kursi dekat perapian dan duduk, menyandarkan tubuhnya, menarik napas panjang untuk pertama kalinya sejak malam dimulai.
Aku berdiri mematung di dekat pintu, pedang masih di tanganku. Baru sekarang aku merasakan nyeri dari luka di lenganku pedih dan panas, darahnya sudah mengering. Tapi rasa sakit itu terasa jauh dibandingkan rasa lega melihat Elira hidup di hadapanku. Dia menoleh, matanya masih sedikit kosong, tapi menatapku.
“Kenapa kau… melindungiku?” tanyanya pelan.
Pertanyaan sederhana. Tapi jantungku seketika melonjak.
“Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku hanya tahu… aku tak bisa membiarkanmu terluka.”
Elira memandangku lama.
Tidak menunduk. Tidak ketakutan.Tatapan itu pertama kalinya terasa… manusiawi.
Aku perlahan berjalan mendekat, berlutut di hadapannya. Tanganku terulur, ragu, lalu menyentuh tangannya yang dingin. Ia menegang sesaat, tapi tidak menariknya.
“Elira…” suaraku serak, “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Termasuk… aku.”
Ia menelan ludah, matanya bergetar, bibirnya terbuka sedikit seperti ingin bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya air mata tipis yang menggenang, membiaskan cahaya api.
Aku mengangkat tangannya, menempelkannya pelan ke pipiku yang masih hangat karena darah dan adrenalin. Ia terkejut kecil… lalu jemarinya justru mengelus pipiku, hati-hati, seperti takut wajahku akan pecah.
“Aku tidak tahu… siapa kau malam ini,” bisiknya.
“Tapi… kau bukan dia.” Dada ini nyaris pecah.
Kalimat itu sekecil apa pun adalah pengakuan pertama bahwa mungkin… ia melihatku
Tubuhnya mulai goyah, lelah menumpuk, bahunya merosot pelan. Ia mencoba berdiri tapi hampir jatuh, dan aku spontan menangkapnya.
“Elira hati-hati,” kataku cepat.
“Aku… hanya lelah…” suaranya makin kecil.
Aku menarik napas dalam, lalu tanpa berpikir panjang, membungkuk dan mengangkat tubuhnya ke pelukanku. Beratnya ringan, terlalu ringan, seolah ketakutan bertahun-tahun telah mengikis tubuhnya.
Elira tersentak kecil, tangannya refleks melingkar di leherku, mata lebarnya menatapku dari dekat, napasnya hangat menyapu pipiku.
“D-Darius…” bisiknya gugup. “Apa yang kau...”
“Mengantarmu istirahat,” potongku lembut. “Bukan apa-apa yang perlu ditakuti.”
Wajahnya memerah samar. Ia menunduk, tapi tidak melepaskan pelukannya. Dadaku bergetar, karena kehangatan tubuhnya terlalu dekat, halus, lembut dan nyata.
Langkahku pelan saat membawanya ke ranjang besar di tengah ruangan. Tirai sutra merahnya berayun lembut tertiup hembusan angin malam yang masuk dari celah jendela.
Setiap langkah terasa seperti menyeberangi batas yang tak boleh kulewati…
Tapi aku tidak ingin menjatuhkannya. Tidak malam ini.
Aku menurunkannya perlahan di atas ranjang. Ia duduk di tepi, menatap selimut, jari-jarinya meremas kain dengan gugup. Napasnya pelan, tapi dadanya naik turun cepat.
Aku berdiri beberapa langkah darinya, tak tahu harus berbuat apa.
Ada keheningan yang aneh, bukan keheningan takut, tapi keheningan canggung, seperti dua orang asing yang nyaris tak sengaja menemukan kedekatan.
“Elira…” kataku pelan, “Tidurlah. Istirahat.”
Ia menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya, bibirnya melengkung sangat tipis… bukan senyum penuh, tapi bayangan samar dari sesuatu yang dulu mungkin pernah ia miliki.
“Terima kasih… karena malam ini… aku tidak mati,” katanya lirih.
Aku nyaris lupa cara bernapas. Aku hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan senyum yang ingin pecah di wajahku.
“Aku janji,” bisikku, “kau akan tetap hidup… dan bahagia.”
Ia menunduk, pipinya memerah samar. Lalu perlahan, ia merebahkan tubuhnya ke bantal, punggungnya menghadapku, seolah malu dengan perasaan yang baru ia sadari.
Aku menatapnya lama. Rambutnya terurai di seprai putih seperti emas yang jatuh. Dadaku terasa penuh, sesak, tapi hangat.
Aku berjalan ke sofa di sisi ruangan, duduk perlahan, masih menatap bayangannya di balik tirai ranjang. Suara napasnya perlahan melambat, menenangkan.
Untuk pertama kalinya sejak aku berada di dunia ini aku tidak merasa sendirian.
Dan di balik semua luka, darah, dan ketakutan, mungkin, hanya mungkin…
cinta bisa tumbuh di reruntuhan.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r