Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.
Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.
Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.
Dan mungkin… dulu memang begitu.
Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.
“Yang Mulia.”
Suara berat itu datang dari ujung lorong, seperti pintu besi yang berderit tiba-tiba. Aku menoleh. Seorang pria tua berdiri di bawah lengkungan batu, tongkat hitam di tangan kirinya, jubah ungu keperakan menjuntai menyapu lantai.
Tuan Marcell. Penasihat kerajaan. Seorang pria yang tidak pernah tersenyum, dan mungkin juga tidak pernah tidur.
Matanya tajam dan dingin, seperti permukaan es yang menyimpan pisau di bawahnya.
“Raja menanti Anda di ruang dewan,” katanya. Suaranya tenang, nyaris hampa, tapi ada tekanan halus di baliknya, seperti bilah yang menempel di leherku.
Aku menegakkan punggung, meniru wibawa yang mungkin dulu melekat pada Darius.
“Baik,” jawabku pendek, menahan getar di dada.
Marcell menunduk sedikit, lalu melangkah pergi. Suara ujung tongkatnya berdetak di lantai marmer, ritmis, perlahan menghilang di tikungan. Tapi tatapannya masih menempel di punggungku, menusuk seperti belati yang belum dicabut.
Aku melanjutkan langkah, dan kali ini aku sadar, setiap sudut istana seperti labirin mata.
Di balik tirai sutra, aku melihat kainnya bergerak pelan, seolah ada seseorang yang bersembunyi di sana. Dari balkon atas, kilat cahaya kecil pantulan lensa pengintai. Bahkan dari patung batu leluhur kerajaan, aku merasa mata kosong mereka menatapku dengan penghakiman diam.
Ini bukan hanya tempat tinggal bangsawan… ini adalah sangkar. Dan aku adalah serigala yang dikurung di tengah kawanan pemburu. Mereka tidak berani menyerangku terbuka.Tapi aku bisa merasakannya…
Mereka menunggu aku tergelincir, walau hanya satu langkah.
Saat kembali ke kamar, cahaya senja merembes lewat sela tirai, membakar lantai marmer dengan warna tembaga. Elira duduk di tepi ranjang, diam, menunduk, menyulam sesuatu yang tidak bisa kukenal bentuknya. Benang peraknya berkilau dalam cahaya suram, tapi tangan mungilnya gemetar pelan.
Ia tampak seperti lukisan yang indah… namun retak di setiap sisinya.
Aku berdiri di ambang pintu beberapa detik, takut keberadaanku membuatnya kabur. Tapi saat ia menyadari aku di sana, bahunya menegang. Ia berdiri perlahan, seperti burung kecil yang siap terbang jika aku mendekat terlalu cepat.
“Selamat sore, Yang Mulia,” ucapnya lirih, menunduk.
“Elira,” kataku perlahan, menjaga suara tetap rendah agar tidak menusuk telinganya.
“Kau boleh tetap duduk.”
Ia duduk kembali… tapi kaku, seperti dipaku di tempatnya sendiri. Ia tidak menoleh sedikit pun.
Aku melangkah masuk, duduk di kursi ukir beberapa langkah darinya. Menjaga jarak. Mencoba memberi ruang yang bisa membuatnya merasa aman.
“Aku akan menghadiri pertemuan para bangsawan nanti,” kataku, pura-pura tenang, padahal dada ini bergetar.
“Mungkin akan berlangsung lama.” Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang lebih pekat dari malam. Lalu tiba-tiba, tanpa menoleh, ia berkata pelan,
“Berhati-hatilah, Yang Mulia… mereka membenci Anda.”
Aku membeku. Suara itu begitu lembut, seperti daun jatuh, tetapi cukup untuk membuat jantungku meloncat. Aku menatapnya, tapi ia tidak menoleh. Jemarinya hanya menggenggam ujung kain lebih erat, seolah takut kata-katanya sendiri.
Untuk pertama kalinya… ia memperingatkanku. Untuk pertama kalinya… ia peduli, walau mungkin ia sendiri tidak sadar.
Ada nyala kecil yang hangat di dadaku lalu perih, karena aku tahu kepedulian itu mungkin akan ia sesali. Ia pasti takut mengkhawatirkan seorang monster.
Tapi itu cukup. Satu celah kecil, retakan pertama di dinding yang selama ini memisahkan kami.
Setelah ia keluar meninggalkan kamar, aku berdiri di hadapan cermin tinggi yang memantulkan seluruh tubuhku. Sosok yang menatap balik bukan aku. Mata dingin, rahang tajam, sorot angkuh yang tampak siap mengoyak siapa pun yang menantang.
Itulah wajah yang mereka takuti. Itulah topeng yang harus kupakai setiap saat, atau mereka akan mencabikku hidup-hidup.
Namun topeng ini perlahan membunuhku dari dalam.
Aku menatap bayangan itu, lalu bersumpah di dalam hati.
“Aku akan menghapus Darius… sebelum bayangannya menelan aku.”
Di luar, lonceng senja berdentang. Suara para pelayan tergesa di lorong, dan denting logam pedang terdengar samar dari kejauhan.
Mata-mata yang tak terlihat mulai bergerak. Mereka mengintai Menunggu aku melakukan satu kesalahan kecil. Dan jika itu terjadi…aku tahu mereka akan membunuhku dengan tangan yang bahkan tak akan pernah terlihat.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r