หน้าหลัก / Fantasi / Bayangan Sang Panglima / BAB 2 KETAKUTAN DI BALIK TATAPANNYA

แชร์

BAB 2 KETAKUTAN DI BALIK TATAPANNYA

ผู้เขียน: HK.ANDVARA
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-16 18:52:58

Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.

Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.

“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”

Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.

“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.

“Maaf… jika aku telah mengganggu.”

Kata-kata sederhana. Tapi rasa takut dalam nada suaranya menamparku lebih keras dari teriakan. Jantungku mencelos. Hanya dengan berbicara, aku membuatnya gemetar.

Aku ingin mendekat. Aku ingin menyentuh bahunya dengan lembut dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tak bisa. Bukan karena aku tak berani… tapi karena aku tahu tangan ini, tangan Darius pernah meninggalkan memar di kulitnya. Luka yang tak pernah hilang, bahkan setelah sembuh.

Hening.

Hanya suara detak jam besar di sudut ruangan. Setiap detiknya terdengar seperti palu yang menghantam dinding antara kami.

Langkah kaki pelan di luar ruangan membuat Elira tersentak. Ia mundur selangkah, bibirnya membisu, pupilnya menyempit ketakutan. Reaksi spontan dari seseorang yang terbiasa hidup dalam ancaman. Aku bisa merasakannya… ada sesuatu yang lain di balik tatapannya. Bukan hanya takut, tapi juga kewaspadaan. Ia terbiasa diawasi. Dicurigai. Dikekang. Dunia yang membentuknya seperti burung yang hidup di sangkar berduri.

“Elira,” panggilku lagi, kali ini lebih lembut.

Ia berhenti, tapi tak menoleh. Hanya bahunya yang bergetar pelan.

“Kau boleh… keluar kapan pun kau mau. Kau tidak harus takut lagi padaku.”

Kata-kata itu keluar seperti janji yang kugenggam erat dalam dada. Aku tak tahu apakah ia percaya, tapi aku tahu aku harus mengatakannya.

Elira menahan napasnya sejenak, lalu mengangguk sekali dengan cepat, gugup, seperti gerakan seekor rusa yang siap lari. Ia tidak menatapku bahkan sekali pun. Kemudian ia berjalan cepat keluar, langkahnya ringan tapi tergesa, seperti seseorang yang baru saja lolos dari tepi jurang.

Pintu menutup perlahan, dan ruangan kembali tenggelam dalam sunyi.

Aku berdiri diam. Tidak ada suara, tidak ada napas lain selain milikku sendiri. Tapi dada ini terasa sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya erat. Aku berjalan ke cermin besar di dinding, menatap bayangan asing yang memandang balik.

Rahang tegas. Mata tajam. Tatapan angkuh dan dingin yang seperti selalu menyimpan amarah. Wajah ini… wajah seorang tiran.

Bukan Raka. Bukan siapa pun yang kukenal.

Namun kini, itu wajahku.

Tanganku mengepal di sisi tubuhku, kuku-kukuku menancap ke telapak tangan. Aku ingin merobek wajah itu, ingin melepaskannya dari diriku. Tapi aku hanya bisa bersabar. Menatap dan berjanji di dalam hati.

“Aku akan membunuh Darius… bukan tubuhnya, tapi dirinya. Aku akan hancurkan bayangannya dari dalam.”

Hari-hari berikutnya berjalan seperti menapaki bara. Setiap langkahku di lorong-lorong istana terasa berat, karena setiap pasang mata yang menatapku membawa tatapan yang sama: takut. Para pelayan menunduk begitu dalam saat aku lewat, punggung mereka membungkuk seperti batang gandum diterpa badai. Tidak ada satu pun yang berani menatap mataku.

Mereka berpikir hanya satu pandanganku bisa menghancurkan hidup mereka Dan… mungkin dulu memang begitu.

Aku mencoba bersikap hangat, menahan diri untuk tidak membentak atau memerintah. Tapi justru itulah yang membuat mereka lebih ketakutan. Mereka menatapku dari balik sudut mata, membisikkan sesuatu begitu aku lewat.

Seolah… mereka mencium bahwa ada yang berubah.

Bahwa aku… bukan lagi Darius

Saat aku kembali ke kamar di suatu siang yang muram, Elira duduk di tepi ranjang, menunduk, menyulam sesuatu dengan jemari halusnya. Cahaya matahari menerobos tirai sutra, menari di rambut keemasannya. Bahunya tampak kecil, rapuh… seperti bisa hancur hanya dengan disentuh.

Ia terdiam saat aku masuk. Lalu, perlahan, ia berdiri. Gerakannya anggun tapi kaku, seperti boneka yang dipaksa bergerak.

“Selamat siang, Yang Mulia.”

“Elira,” panggilku lembut, mencoba menyisipkan kehangatan dalam nada suaraku.

“Kau tidak perlu berdiri setiap kali aku datang.”

Matanya bergetar sesaat, tapi ia duduk kembali. Tidak membalas tatapanku. Tidak bicara.

Aku duduk di kursi dekat jendela, mengamati cahaya matahari yang menembus tirai sutra. Elira tetap diam, jemarinya bergerak di atas kain, tetapi setiap kali mataku menoleh ke arahnya, ia menegang, bahunya naik turun seperti menahan napas.

Aku mencoba berbicara, suaraku pelan, hampir seperti bisikan.

“Elira…"

Ia menoleh sekejap, mata yang membulat menatapku, tetapi segera menunduk lagi, rambut keemasannya menutupi wajahnya. Ada ketakutan yang begitu nyata di sana, bukan sekadar waspada—tapi panik yang masih melekat dari masa lalu.

“A-aku… baik,” gumamnya, suaranya serak, retak di ujung kata.

Aku menghela napas. Kata-kata itu terlalu rapuh untuk menenangkan trauma yang jelas masih hidup dalam dirinya. Setiap gerakanku, bahkan langkahku yang paling pelan sekalipun, membuatnya mundur sedikit, seperti burung yang selalu siap melarikan diri.

Aku menunduk, menatap jemari sendiri yang mengepal di pangkuan. Aku ingin meraih tangannya, ingin meyakinkannya… tapi aku tahu itu hanya akan membuatnya takut lebih dalam. Masa lalu itu terlalu kuat, bayangan Darius terlalu besar.

Hening memenuhi ruangan, tebal seperti kabut yang tak bisa ditembus. Detak jam besar di sudut terdengar keras, menambah ketegangan yang tidak terlihat.

Elira tiba-tiba bergerak, menaruh kainnya ke samping, dan berdiri. Gerakannya anggun tapi kaku, seperti boneka yang dipaksa bergerak. Tubuhnya menegang, bahu tegak, tetapi matanya terus menatap lantai. Tidak ada senyum, tidak ada tanda kepercayaan. Hanya ketakutan murni yang membekas di setiap gerakannya.

“Yang Mulia…” suaranya hampir tak terdengar, seperti berbisik kepada dinding.

“Aku… aku harus pergi.”

Aku menelan ludah, menahan diri untuk tidak memanggilnya lagi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menatapnya pergi. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan ruangan yang sunyi dan dingin.

Aku berdiri, menatap bayangan diriku di cermin. Wajah yang sama, tegas, dingin, penuh amarah, tetap menatap balik. Wajah yang membuatnya trauma, wajah yang masih menghantui Elira.

Aku tahu… proses ini tidak akan mudah. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada janji yang bisa menembus tembok ketakutannya saat ini. Elira masih terjebak di masa lalu, di bayangan Darius.

Dan aku… aku harus belajar bersabar. Tidak ada senyum, tidak ada kehangatan, tidak ada kedekatan. Hanya diam, hanya menunggu, hanya berharap ia tetap aman, meskipun matanya menolak mempercayai siapa pun.

Hari-hari berikutnya, aku melihatnya dari jauh, di koridor, di ruang belajar. Ia selalu menjaga jarak, selalu waspada, selalu menahan napasnya seolah siap lari. Bahkan keberadaanku di dekatnya membuatnya menegang. Trauma itu begitu dalam, begitu mencekam… dan aku hanya bisa berdiri di sini, menatap, merasakan ketakutannya tanpa bisa menghapusnya.

Aku menundukkan kepala, menyadari satu hal pahit.

Elira… tidak akan percaya padaku. Setidaknya, belum saat ini.

Dan itu membuatku sadar, perjalananku baru saja dimulai. Bukan perjalananku untuk membuktikan siapa aku sekarang. Tapi perjalananku untuk melindunginya dari bayangan Darius, walau ia sendiri masih terperangkap di dalam ketakutan yang mengekangnya.

Pintu kamar yang sedikit terbuka berderit di tengah angin sore, mengingatkanku bahwa malam akan datang, membawa gelap yang lebih dalam daripada siang. Dan di dalam kegelapan itu… Elira masih menunggu, atau mungkin berlari, tetapi aku tidak tahu ke arah mana.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 7 RETAKAN DI DINDING HATI

    Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 6 DARAH DI MENARA TIMUR

    Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 5 BAYANGAN MASA LALU

    Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 4 KURSI SANG SERIGALA

    Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 3 MATA YANG MENGINTAI

    Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang

  • Bayangan Sang Panglima   BAB 2 KETAKUTAN DI BALIK TATAPANNYA

    Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status