Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.
Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.
Suara kematian.
Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.
Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:
"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.
Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.
Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan berlumuran darah seperti satu tebasan tajam.
Aku berlutut sebentar, memejamkan mata. Dia bahkan tak sempat berteriak.
“Maafkan aku,” bisikku singkat, lalu berdiri lagi dan melesat ke atas.
Semakin tinggi, udara makin dingin dan pengap. Bau besi dan darah menyelinap ke paru-paruku.
Aku mendengar suara berderak...
Bukan kayu. Bukan batu. Itu suara napas seseorang yang berusaha disembunyikan.
Aku menerobos pintu ruang puncak menara.
Bulan menggantung besar di luar jendela pecah, memandikan ruangan dalam cahaya perak dingin. Meja kayu hancur berserakan. Dinding batu penuh goresan baru.
Tiga pengawal terkapar bersimbah darah di lantai.
Dan di tengah ruangan berdiri seorang pria berjubah hitam, tubuhnya kurus namun padat otot, wajahnya tertutup topeng baja kelam. Tangannya memegang pedang lengkung berlumur darah segar.
Ia berdiri di sana, diam seperti patung… namun setiap urat di tubuhnya menjerit haus darah.
“Pangeran Darius…” suara itu seram dan berat, menggema di balik topengnya seperti siap ingin membunuhku, . “Akhirnya… kita bertemu.”
Aku mengangkat pedang dari punggungku, ujungnya berkilat menelan cahaya bulan. “Aku tidak tahu siapa kau,” jawabku datar, menahan detak jantungku sendiri, “tapi kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Dia tertawa lirih, suara yang lebih mirip pisau digoreskan ke batu.
“Seharusnya akulah yang mengatakan itu.”
Dia menyerang seperti kilat.
Baja bertemu baja. Suaranya memecah udara seperti petir. Getaran dari benturan pertama membuat lenganku nyaris mati rasa. Ia cepat, terlalu cepat. Gerakannya liar tapi terlatih, seperti bayangan yang menusuk dari segala arah.
Aku menangkis, melompat mundur, lalu berputar. Tubuh ini, tubuh Darius bergerak dengan naluri pembunuh, seolah otot-ototnya mengingat cara membunuh bahkan saat jiwaku membeku ketakutan.
Dia menyerang lagi, sabetan mendatar mengincar leher. Aku menunduk, membalas dengan tebasan ke arah lambung, tapi dia memutar pedangnya dan menangkis dengan percikan api.
Logam menghantam logam. Suara keras menggema di dinding batu, memecah kesunyian malam.
Tebasan berikutnya menyerempet lengan kiriku darah hangat memercik ke lantai. Nyeri tajam menyambar, tapi aku menahannya. Genggamanku mengeras, mataku menyipit.
Dia terlalu cepat… tapi aku lebih putus asa.
“Darius!” Suara lembut itu datang tiba-tiba, dari balik pintu yang setengah terbuka.
Aku membeku.
Elira berdiri di ambang tangga, rambut keemasannya berantakan, gaun tidurnya lusuh, wajahnya pucat. Mata lebarnya membulat ketakutan, tapi ada sesuatu di balik itu, cemas.
“Kenapa kau di sini!?” bentakku, panik. “Keluar! Sekarang!”
“A-aku takut terjadi sesuatu padamu…” suaranya pecah, lirih, nyaris tak terdengar di atas derit angin.
Mata penyusup itu menyipit di balik topeng.
“Ah… sang istri. Aku dengar kau sangat berharga baginya.”
Dia melemparkan belati kecil, kilat perak melesat ke dada Elira.
“ELIRA!!!”
Waktu melambat. Aku melompat, menubruk tubuhnya, membanting kami berdua ke lantai.
Belati menancap ke dinding tempat dadanya tadi berada, bergetar ganas.
Tubuh Elira menegang di bawahku. Matanya membulat, napasnya memburu.
“Ka-kau melindungiku…” bisiknya, nyaris tak percaya.
Aku tidak sempat menjawab. Penyusup itu sudah melompat ke arah kami, pedangnya terangkat tinggi untuk menebas kami berdua sekaligus.
Aku meraih belati dari lantai dan melemparkannya tepat ke bahunya. Darah hitam muncrat. Ia meraung, kehilangan keseimbangan. Aku menendangnya sekuat tenaga hingga ia terlempar ke arah jendela pecah.
Dia bergelayutan di bingkai, darah menetes ke kegelapan di bawah.
“Aku akan kembali… Pangeran… Serigala…” desisnya penuh benci sebelum melepaskan genggamannya jatuh ke pekat malam.
Sunyi.
Hanya suara napas kami yang tersisa, berat dan tajam.
Aku menatap Elira, tubuhku masih melindungi tubuhnya. Ia menatap balik, tidak lagi hanya dengan ketakutan. Ada air mata tipis di sudut matanya… tapi juga sesuatu yang lain, hangat, asing, dan membuat dadaku sesak.
“Aku pikir… kau akan membiarkanku mati,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tanganku bergetar, bukan karena luka tapi karena rasa takut kehilangan dia.
“Tidak, Elira,” jawabku pelan.
“Aku… akan membunuh siapa pun yang mencoba menyentuhmu.”
Untuk pertama kalinya, ia tidak menunduk. Ia hanya menatapku lama… dan tidak lari.
Aku berdiri perlahan, membantu Elira bangkit. Langkahnya masih goyah. Tanganku yang berdarah menempel di punggungnya, memandu pelan menuruni tangga spiral.
Setiap langkah menuruni menara terasa seperti berjalan meninggalkan mimpi buruk yang belum selesai.
Di kejauhan, lonceng istana berdentang nyaring, tanda bahaya telah berakhir.
Tapi di dalam dadaku, perang baru saja dimulai.
Karena penyusup itu… menyebut namaku bukan dengan rasa takut. Tapi dengan kebencian yang membara. Dan itu berarti…dia tidak hanya datang untuk membunuhku.
Dia datang untuk menghancurkan semua yang kucoba lindungi.
***Istana masih bergetar saat kami kembali dari menara timur.Lonceng peringatan telah lama berhenti berdentang, tapi udara belum kembali tenang. Para pengawal berjaga di setiap sudut lorong dengan mata tajam, tangan menempel pada gagang pedang. Pelayan berlarian pelan, membisikkan rumor seolah ketakutan itu bisa menular lewat udara.Beberapa menatapku dari balik pilar, sorot mereka waspada, curiga. Seolah malam ini membuktikan bahwa “Serigala” memang belum mati.Mereka tidak tahu yang melawan tadi bukan Darius. Itu aku Raka yang hanya tidak ingin wanita itu terbunuh di depan mataku.Elira berjalan di sampingku, langkahnya kecil dan lambat. Gaunnya robek di ujung, dan ada bercak darahku di lengan tipisnya. Tangannya menggenggam erat kain gaunnya sendiri, tapi bahuku sesekali merasakan sentuhan ringan dari bahunya yang goyah.Dia masih gemetar. Tapi tidak menjauh dariku.Itu hal kecil. Tapi untuk Elira… itu berarti banyak.Aku menoleh, menatapnya sejenak. “Kau tidak terluka?”Ia menggelen
Angin malam mencambuk wajahku saat aku melesat menembus lorong-lorong istana yang gelap. Batu-batu tua memantulkan gema langkahku, berat dan cepat, seperti dentuman genderang perang yang datang dari dada sendiri.Setiap jengkal udara terasa beku. Dan dari kejauhan… samar-samar terdengar logam beradu, teriakan pendek, lalu hening lagi.Suara kematian.Aku memacu langkah, jubah hitamku berkibar liar. Obor di dinding berkedip tertiup hembusan angin dari kecepatan lari.Bayangan Darius yang dulu haus darah menari-nari di tepian pikiranku, mengejekku:"Mereka takut padamu… buat mereka takut lagi."Aku menggertakkan gigi. Malam ini… aku tak punya pilihan.Tangga spiral menara timur menjulang bagaikan usus naga batu. Setiap anak tangganya dingin, sempit, dan bergetar ringan di bawah telapak kakiku. Aku menapaki satu per satu, cepat tapi senyap, napasku tertahan.Di anak tangga ke-13, tubuh seorang pengawal tergelimpang. Mata membelalak kosong. Darah menggenang di bawah dadanya, robek dan ber
Langit malam masih bertabur bintang saat aku melangkah menyusuri lorong istana. Batu-batu tua di bawah kakiku memantulkan suara langkah yang berat, namun kosong… seperti gema dari seseorang yang bukan aku.Dinding-dinding berhiaskan obor perlahan meredup, meninggalkan bayangan panjang yang merayap di sepanjang karpet merah gelap. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah.Hanya keheningan. Keheningan yang menempel erat di setiap jejakku, seperti kain kafan yang membungkus masa lalu.Para prajurit yang berjaga melirik dari balik helm baja saat aku lewat. Mata mereka berkilat cemas dari celah topeng logam.“Dia berubah,” bisik salah satu dengan suara setipis embusan napas.“Serigala tidak menjadi domba hanya karena diam,” balas yang lain, lebih pelan, namun tajam.Aku pura-pura tak mendengar. Tapi kata-kata itu menempel di tengkukku seperti duri.Mereka menunggu aku meledak. Mereka menunggu Darius kembali muncul.Dan itu… membuat setiap langkahku terasa seperti berjalan di a
Langkahku menggema di lorong batu istana, diapit pilar-pilar raksasa dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya seperti mata-mata diam. Di bawah kakiku, karpet merah darah membentang lurus ke ruang dewan kerajaan, seperti lidah seekor naga yang menuntunku masuk ke perutnya.Udara dingin dan berat.Setiap pengawal yang berdiri di sepanjang lorong menunduk begitu dalam saat aku lewat. Tapi dari sudut mata mereka… ada rasa lain di balik hormat itu, lebih tepatnya itu seperti rasa Takut.Ketakutan yang dalam, seperti pisau yang menancap dalam dan sulit untuk ditarik kembali.Dua pintu mahoni raksasa menjulang di depanku. Ukirannya menggambarkan sejarah kerajaan perang, penaklukan, darah. Aku mendorongnya pelan. Engselnya berderit berat, seolah menjerit menolak kehadiranku.Ruangan bundar terbuka lebar di depanku, berkubah tinggi berhias lukisan para leluhur yang memandang dari atas, diam namun menekan. Di tengahnya, meja bundar raksasa dari marmer hitam mengilap, dikelilingi para bang
Lorong-lorong istana membentang panjang, dingin, dan sunyi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Ada bisik-bisik yang menempel di dinding batu, tatapan samar dari balik pilar, bayangan yang memanjang saat aku lewat. Aku tidak berjalan sendirian.Aku berjalan di antara rasa takut yang hidup.Para pelayan membeku ketika aku mendekat. Mereka menunduk begitu dalam, seperti sedang menghindari tatapan seekor binatang buas. Tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi menatap mataku. Nafas mereka tertahan, gerak mereka membeku sampai aku benar-benar lenyap dari pandangan. Mereka tidak melihatku sebagai manusia. Mereka melihatku sebagai momok yang bisa mencabut hidup mereka kapan saja.Dan mungkin… dulu memang begitu.Aku ingin berkata, “Aku bukan Darius yang kalian takuti.”Tapi kata-kata tidak akan menghapus bekas luka di punggung mereka, atau bayangan ketakutan di mata mereka. Luka berbicara lebih keras daripada suaraku. Dan luka… ada di mana-mana.“Yang Mulia.”Suara berat itu datang
Elira berdiri membeku di dekat pintu, seolah setiap helaan napasku bisa berubah menjadi cambuk yang siap mencambuknya. Ia diam, tapi seluruh tubuhnya menjerit ketakutan. Ada jarak tak terlihat di antara kami bukan ruang, bukan udara, tapi ketakutan. Ketakutan yang begitu kental hingga membuat udara di ruangan ini terasa membeku.Dan aku tahu, ketakutan itu bukan salahnya. Itu warisan kelam dari Darius… dari tubuh ini. Dosa yang sekarang menjeratku tanpa aku minta.“Elira…” ucapku pelan, mencoba menyusun senyum yang mungkin terlihat canggung di wajah garang ini. “Kau… baik-baik saja?”Matanya membulat sekejap. Ia menoleh cepat, seperti rusa yang mencium bau serigala, lalu memastikan tidak ada orang lain di ruangan. Bahunya menegang seperti kawat yang ditarik. Ia menunduk dalam, begitu dalam hingga helaian rambut keemasannya jatuh menutupi wajahnya seperti tirai.“A-aku baik, Yang Mulia,” suaranya gemetar, retak di ujungnya.“Maaf… jika aku telah mengganggu.”Kata-kata sederhana. Tapi r