Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi.
Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca Moreau. Selina diam selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangkatnya. “Halo?” “Nona Avery.” Suara Bianca terdengar dingin di seberang sana. “Bos ingin bertemu denganmu besok.” Selina menggigit bibirnya. “Sepertinya aku sudah bilang bahwa aku tidak tertarik—” “Tapi bosku tidak menerima penolakan begitu saja.” Selina menutup matanya, menahan napas. Ia bisa mendengar suara Bianca yang penuh keyakinan, seolah tahu bahwa Selina tak punya pilihan lain. “Di mana?” akhirnya ia bertanya, suaranya nyaris berbisik. Bianca terdengar tersenyum. “Di restoran Lumière pukul tujuh malam. Jangan terlambat.” Tanpa menunggu jawaban, Bianca menutup teleponnya. Selina menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Besok. Ia akan bertemu dengan Damien besok. Sesuatu yang selama ini ia hindari akhirnya menjadi takdir yang tak bisa ia elakkan. Selina menatap layar ponselnya dengan tangan sedikit gemetar. Ia masih bisa mendengar suara Bianca menggema di kepalanya. "Bos ingin bertemu denganmu besok." Damien benar-benar serius. Selina menghela napas panjang. Menolak bukan pilihan, tapi bertemu Damien setelah sekian lama juga bukan hal yang mudah. Ia meremas ponselnya sebelum akhirnya meletakkannya di meja. Tatapannya kosong, pikirannya berputar mencari cara untuk menghadapi situasi ini. Malam itu, setelah memastikan Alana dan Aziel tidur nyenyak, Selina duduk di balkon apartemennya. Angin malam menyapu rambutnya, tetapi pikirannya tetap kacau. Empat tahun. Empat tahun ia berusaha hidup tenang, jauh dari bayang-bayang masa lalunya. Tapi sekarang, takdir seakan menariknya kembali ke titik awal. Apa yang akan terjadi jika Damien tahu tentang Alana dan Aziel? Apa pria itu akan menerimanya? Atau justru berusaha mengambil mereka darinya? Hati Selina mencelos membayangkan kemungkinan itu. Ia tidak bisa kehilangan anak-anaknya. Tidak peduli seberapa kuat Damien, ia tidak akan membiarkan pria itu mengambil mereka darinya. Matanya menatap langit malam yang bertabur bintang, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu— Pertemuannya dengan Damien besok akan mengubah segalanya. Keesokan harinya, Selina mencoba menjalani harinya seperti biasa. Ia mengantar Alana dan Aziel ke sekolah, mengurus butik, dan menjawab pertanyaan para pelanggan. Namun, tidak peduli seberapa keras ia berusaha terlihat tenang, pikirannya terus kembali ke pertemuan malam ini. Jam di dinding butik menunjukkan pukul lima sore ketika Bianca kembali muncul di ambang pintu. “Pastikan kau tidak terlambat,” katanya tanpa basa-basi. Selina menatap wanita itu. “Kau selalu langsung ke inti, ya?” “Itulah yang membuatku efektif,” jawab Bianca dengan santai sebelum berbalik pergi. Setelah kepergian Bianca, Selina menghela napas panjang. Dua jam lagi. Di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota, Damien duduk di belakang mejanya. Matanya terpaku pada layar laptop, di mana ada foto Selina yang diambil baru-baru ini. Perempuan itu tidak banyak berubah. Masih sama cantiknya. Tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda sekarang. Damien mengetukkan jemarinya ke meja, ekspresinya dingin. “Jadi, kau kembali… Dan mencoba tetap bersembunyi dariku?” Ia tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti, Selina.” Pukul enam sore, Selina sudah berada di apartemen, bersiap untuk pertemuannya dengan Damien. Jantungnya berdebar kencang saat ia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya dengan anggun, dipadukan dengan sepatu hak rendah. Rambutnya ia biarkan tergerai alami. “Mommy mau pergi ke mana?” Suara Alana membuat Selina berbalik. Putrinya berdiri di ambang pintu dengan kepala sedikit dimiringkan. “Mommy ada janji dengan seseorang,” jawab Selina lembut. “Dengan siapa?” Selina tersenyum kecil. “Teman lama.” Alana tampak berpikir sejenak sebelum bertanya lagi, “Apa dia orang baik?” Selina terdiam. Pertanyaan sederhana itu terasa begitu sulit untuk dijawab. Damien... apakah pria itu masih seperti dulu? Atau sudah berubah? Ia menunduk dan mengusap kepala Alana. “Mommy harap begitu.” Setelah memastikan anak-anaknya akan baik-baik saja dengan pengasuh mereka, Selina akhirnya pergi. Restoran Lumière berada di lantai tertinggi salah satu gedung elit di kota. Saat ia tiba, seorang pelayan langsung membawanya ke meja yang sudah dipesan. Jantungnya semakin berdetak kencang saat ia melihat sosok pria yang duduk di sana. Damien Alaric. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan jas yang dilepas. Garis wajahnya lebih tajam dibanding terakhir kali Selina melihatnya. Aura dingin dan dominan yang ia miliki masih sama seperti dulu—atau bahkan lebih kuat. Damien mengangkat kepalanya, dan mata kelamnya langsung mengunci pandangan Selina. Sejenak, dunia terasa berhenti. “Sudah lama, Selina.” Suara baritonnya yang dalam menusuk tepat ke hati Selina. Dengan susah payah, ia menelan ludah dan melangkah mendekat. “Sudah lama, Damien.”Malam itu, Selina tidak bisa tidur. Matanya terus menatap langit-langit kamar, pikirannya penuh dengan kecemasan. Sejak pertemuannya dengan Damien di butik tadi siang, ia tahu bahwa waktu yang dimilikinya semakin sedikit. Damien bukan tipe pria yang mudah menyerah, dan dia pasti akan mencari tahu kebenaran sampai menemukannya. Selina berbalik ke samping, menatap tiga anaknya yang tidur nyenyak di ranjang mereka. Nathan, Noel, dan Natalia, ketiganya adalah dunia bagi Selina. Mereka adalah alasan mengapa ia memilih untuk menghilang dari kehidupan Damien, alasan mengapa ia rela memulai dari nol di tempat yang baru tanpa satu pun orang dari masa lalunya. Tetapi kini, masa lalu itu mulai mengejarnya kembali. Selina menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tidak bisa membiarkan rasa takut menguasainya. Ia harus kuat, demi anak-anaknya. Keesokan paginya, suasana di rumah Selina tetap seperti biasa. Anak-anaknya bangun den
Malam itu, Selina duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponselnya dengan gelisah. Pesan dari pengasuh anak-anaknya memastikan bahwa mereka sudah tidur nyenyak, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Sejak pertemuan dengan Damien di butiknya tadi pagi, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang akan datang. Ia menghela napas panjang dan berdiri, berjalan menuju jendela. Kota masih ramai dengan lampu-lampu berkilauan, tetapi Selina merasa kesendiriannya semakin dalam. Ia sudah membangun hidup baru yang damai bersama ketiga anaknya. Namun, dengan munculnya Damien, bayangan masa lalu mulai menghantuinya lagi. Sementara itu, di sebuah gedung perkantoran megah di pusat kota, Damien duduk di kantornya dengan tatapan penuh pikir. Dokumen tentang Selina masih terbuka di layar laptopnya, dan ia membaca setiap detailnya dengan seksama. Namun, tetap saja, ada banyak hal yang tidak tertera dalam dokumen ini. Selina seperti menghilang begitu saja selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba muncul ke
Selina berdiri di depan butik dengan jantung berdebar kencang. Damien masih berdiri di tempatnya, tatapannya tak berubah sedikit pun. Ia terlihat santai, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Selina tahu bahwa pria itu tidak main-main. “Kau tidak bisa terus menghindar, Selina.” Nada suara Damien tenang, tetapi mengandung ancaman halus yang membuat Selina semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak menghindar. Aku hanya tidak ingin bertemu denganmu.” Damien menyunggingkan senyum tipis. “Lucu. Kau dulu juga berkata begitu sebelum menghilang.” Selina merasakan dadanya semakin sesak. Ia menegakkan tubuhnya dan berkata dengan nada setenang mungkin, “Aku sibuk. Jika tidak ada urusan penting, aku harap kau pergi.” “Aku punya banyak urusan denganmu,” kata Damien, mengambil satu langkah maju. “Aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan jawabanku.” Selina menahan napas. Ia tahu, selama bertahun-tahun, Damien adalah orang yang tidak pernah mundur
BAB 9: Bayangan yang Terus Menghantui Selina berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari bayangan Damien yang masih membekas di pikirannya. Udara malam menyentuh kulitnya, tetapi dinginnya tidak sebanding dengan rasa cemas yang merayapi hatinya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan dari pengasuh anak-anaknya. Mereka sudah tidur. Lega, tetapi tetap ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Langkahnya terhenti sejenak di depan mobilnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Damien. "Aku tidak akan membiarkanmu lari lagi, Selina." Gemetar kecil merambati tangannya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak ada gunanya terus memikirkan pria itu. Ia harus fokus pada hidupnya sekarang. Namun, firasatnya mengatakan bahwa ini bukan akhir—ini baru permulaan. Di sisi lain kota, Damien duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan ekspresi tajam. Ia tidak langsung pul
Selina duduk dengan tenang di kursinya, meskipun hatinya jauh dari kata tenang. Damien menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, seolah sedang menilai setiap gerak-geriknya. "Kau menghilang begitu saja selama empat tahun." Kata-kata Damien meluncur dengan tenang, tetapi ada ketegangan yang terselip di dalamnya. Selina mengatur napasnya sebelum menjawab, "Aku tidak menghilang, Damien. Aku hanya memilih hidup yang berbeda." Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Tanpa kabar? Tanpa penjelasan?" Selina tersenyum kecil, meskipun itu bukan senyuman bahagia. "Kau dan aku... kita bukan siapa-siapa satu sama lain saat itu." Damien menyipitkan matanya. "Kau yakin?" Selina terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Damien menatapnya lebih dalam. "Aku mencarimu, Selina." Jantungnya mencelos. "Aku tahu," gumamnya pelan. Damien mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. Selina menarik napas panjang. "Itu sebabnya aku harus per
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Selina. Sejak pertemuannya dengan Lucas, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika Damien benar-benar sedang mencarinya, maka cepat atau lambat, mereka akan bertemu lagi. Namun, ia masih belum siap. Setelah menjemput Alana dan Aziel dari sekolah, Selina membawa mereka pulang. Saat itu, ia berusaha sebisa mungkin terlihat tenang agar anak-anaknya tidak menyadari kegelisahannya. “Mommy, kita mau makan apa malam ini?” tanya Alana sambil melepas sepatu. “Mommy akan masak pasta. Kalian mau?” Aziel yang biasanya kalem langsung mengangguk. “Aku mau pasta dengan keju banyak.” “Aku juga!” seru Alana antusias. Selina tersenyum melihat reaksi mereka. Meskipun pikirannya masih kacau, melihat anak-anaknya tetap bahagia memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia masuk ke dapur untuk mulai memasak, ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya menegang. Bianca