Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut.
"Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you." Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara. Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play. "Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya." Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar. "Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya." Tak butuh waktu lama, ponselnya kembali bergetar. "Aku nggak sabar banget ketemu kamu malam ini, Sayang. Aku udah siapkan kejutan spesial buat kamu. Kamu pasti suka." Jantung Brisa berdetak lebih cepat. Kejutan? Ia membayangkan berbagai kemungkinan, makan malam romantis, hadiah spesial, atau bahkan sesuatu yang lebih besar. Perasaan berdebar itu ia bawa saat menemui kedua orang tuanya. "Ma, Pa, Sagara mengajakku kencan malam ini," ucapnya dengan mata berbinar. Pak Aryan dan Bu Tara saling berpandangan sebelum senyum mereka merekah. "Bagus sekali. Ini kesempatan kalian untuk lebih dekat," ujar Pak Aryan. "Setuju. Pergilah, nikmati waktumu!" tambah Bu Tara lembut. Brisa mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. *** Malam itu, setelah Brisa pergi, suasana rumah terasa lebih sunyi. Bu Tara duduk di ruang tamu, tatapannya kosong. Pikirannya berkelana, hatinya diliputi kecemasan yang tak bisa ia abaikan. Pak Aryan yang sedari tadi mengamatinya, akhirnya berdehem pelan. "Ada apa, Sayang? Kau terlihat gelisah." Bu Tara menghela napas panjang. "Aku hanya khawatir. Bagaimana jika Sagara mengetahui tentang kehamilan Brisa sebelum mereka menikah?" Pak Aryan ikut termenung. Kata-kata istrinya itu adalah ketakutan yang diam-diam juga menghantuinya. Ia menarik napas dalam. "Aku juga memikirkan hal itu. Kita akan merahasiakannya sampai waktu yang tepat." Pak Aryan menatap istrinya yang gelisah, matanya penuh kelembutan. "Aku tahu, tapi aku takut Sagara akan berubah pikiran," bisik Bu Tara, suaranya penuh kekhawatiran. "Bagaimana kalau dia tidak mau menikah dengan Brisa? Bagaimana jika dia meninggalkannya?" Pak Aryan tak menjawab segera. Ia meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat, seolah ingin menyalurkan ketenangan melalui sentuhannya. "Aku yakin Sagara adalah anak yang baik. Dia mencintai Brisa. Dia tidak akan tega meninggalkannya, terlebih dalam keadaan seperti ini." Bu Tara menatap mata suaminya yang penuh keyakinan. Namun, hatinya masih diliputi kegelisahan. "Aku harap begitu, tapi bagaimana jika keluarganya tidak menerima Brisa? Bagaimana jika mereka menentang pernikahan ini?" Pak Aryan mengusap lembut rambut istrinya, tatapannya penuh kasih. "Sayang, apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi semuanya bersama. Brisa adalah putri kita dan tugas kita adalah melindunginya. Selama kita ada di sisinya, dia tidak akan sendirian." Bu Tara menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu suaminya benar. Apapun yang terjadi, mereka akan selalu ada untuk Brisa. *** Cahaya rembulan menari di atas permukaan laut, memantulkan kilauan perak yang memesona. Malam begitu tenang, hanya diiringi suara deburan ombak yang berkejaran ke bibir pantai. Brisa berjalan di samping Sagara, merasakan pasir hangat di bawah kakinya. Angin malam berembus lembut, membelai rambutnya, membawa serta aroma laut yang menenangkan. "Aku benar-benar menikmati malam ini," ucap Brisa pelan, suaranya selembut bisikan angin. Sagara menoleh, menatapnya penuh kelembutan. "Aku juga. Kamu terlihat sangat cantik malam ini." Brisa tersipu. Pipinya memanas, jantungnya berdebar lebih cepat. Mereka berhenti di sebuah gazebo kecil di tepi pantai. Lilin-lilin kecil menerangi meja yang telah disiapkan, menciptakan suasana yang begitu intim. Sagara menarik kursi untuk Brisa, membuatnya tersenyum tipis. "Aku sudah memesan makanan," ujar Sagara, matanya berbinar melihat Brisa duduk di hadapannya. Brisa menatapnya, hatinya dipenuhi kehangatan. Pria ini selalu tahu bagaimana membuatnya merasa spesial. Mereka menghabiskan malam dengan mengobrol, berbagi tawa, dan menikmati kebersamaan yang terasa begitu alami. Namun, ketika Sagara tiba-tiba menggenggam tangannya, Brisa bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdegup lebih cepat. "Aku ingin kita selalu bersama seperti ini," bisik Sagara, suaranya terdengar lebih serius kali ini. Brisa terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Sagara yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. "Brisa," Sagara menarik napas dalam, seakan mengumpulkan keberanian. "Aku ingin kita menikah." Brisa membeku. Menikah? Kata itu menggema di kepalanya, menciptakan badai di hatinya. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat," lanjut Sagara dengan suara penuh ketulusan. "Tapi aku benar-benar serius denganmu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu." Brisa ingin merasa bahagia harusnya ia merasa bahagia. Sagara adalah pria yang baik, seseorang yang selalu memperlakukannya dengan cinta dan perhatian. Namun, ada sesuatu yang menahan dirinya. Rahasia yang belum ia ungkapkan. Bagaimana jika Sagara tahu bahwa ia sedang mengandung anak yang bahkan ia sendiri tidak tahu siapa ayahnya?Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b