Share

Pemberontakan

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-01-02 12:13:34

Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu.

"Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram.

Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan.

"Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra."

"Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sendiri?”

Pak Bagaskara menatapnya dengan mata menyala. “Diam, Ros! Jangan bicara seolah-olah kau tidak bersalah. Semua ini terjadi karena kebodohanmu sendiri!”

Ros tertawa kecil, meskipun air matanya mengalir deras. “Kebodohan? Apa cinta itu salah, Ayah? Apa aku salah mencintai Narendra dengan tulus? Atau salahku karena kalian tidak bisa mendapatkan keuntungan dari hubungan kami? Aku tahu, sejak awal semua ini bukan tentang aku, tapi tentang keserakahan kalian!”

Haniva, yang berdiri di samping Pak Bagaskara, tampak gusar. “Cukup, Ros! Kau sudah berbicara terlalu jauh. Kau harus tahu tempatmu!”

Ros menggelengkan kepala, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya semakin kuat. “Aku tahu tempatku, Bu Haniva. Tempatku bukan di sini, bukan di keluarga yang hanya melihatku sebagai alat. Aku bukan kalian. Aku masih punya hati, sesuatu yang jelas-jelas kalian buang demi ambisi.”

Pak Bagaskara mengangkat tangannya, seolah ingin menampar Ros lagi. Namun kali ini, ia menghentikan dirinya sendiri. Amarahnya hanya membuatnya terdiam, tidak mampu membantah kebenaran yang diucapkan putrinya.

Ros memalingkan wajahnya, tidak ingin menunjukkan kelemahannya lagi di hadapan mereka. Dengan suara yang lemah tapi penuh keyakinan, ia berkata, “Aku akan pergi dari sini. Kalian sudah kehilangan aku sejak lama. Tapi ingat satu hal aku tidak akan pernah memaafkan kalian atas semua ini apalagi dengan kematian anakku!"

Ros menangis tersedu-sedu, tangannya menutupi wajah, seolah ingin menghapus rasa sakit yang menghantam hatinya tanpa ampun. Tubuhnya yang lemah semakin gemetar, dipenuhi amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam.

Haniva hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Berhentilah menyalahkan orang lain, Ros. Ini sudah takdir. Anak itu memang tidak seharusnya hidup.”

Ros menurunkan tangannya perlahan, menatap Haniva dengan mata merah yang penuh air mata. “Bukan takdir! Kalian yang memutuskan semuanya. Kalian yang memilih untuk membiarkanku terlambat mendapatkan bantuan! Jangan pernah bicara soal takdir jika kalian adalah penyebab semuanya!”

Pak Bagaskara yang berada di samping Haniva mencoba meredam situasi, meskipun nada suaranya tetap keras. “Ros, berhentilah! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan terus menyalahkan kami. Kehidupan ini memang tidak selalu adil. Terima kenyataan dan lanjutkan hidupmu.”

Ros menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir. “Adil? Apa arti keadilan bagi kalian? Tuhan memang mungkin memberikan cobaan, tapi kejamnya kalian yang membuat segalanya lebih buruk! Aku kehilangan anakku… dia satu-satunya alasan aku bertahan di tengah semua ini. Dan sekarang dia sudah tiada, semua karena kalian!”

Ia menunduk lagi, menangis tanpa suara. Lalu, dengan suara lirih namun penuh rasa sakit, ia bergumam, “Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa aku yang harus mengalami semua ini? Apa salahku?”

Hening sejenak, hanya suara tangisan Ros yang memenuhi ruangan. Haniva dan Bagaskara memilih diam, tidak mampu menjawab kata-kata Ros. Di satu sisi, mereka merasa bahwa Ros hanya berlebihan, tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa mereka tidak sepenuhnya tak bersalah.

Namun, bagi Ros, semua itu tidak lagi penting. Di dalam dirinya, amarah, rasa sakit, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi ia juga tahu, di dalam kehancurannya, ia harus menemukan cara untuk bangkit, meskipun jalannya penuh duri dan luka.

***

Tiga hari Ros sudah diperbolehkan pulang. Pedih rasanya, dia melihat orang lahiran pulang membawa bayi mereka. Sedangkan Ros, dia hanya bisa menangisi kehilangan nya.

"Non Ros sudah pulang?" tanya asisten rumah tangganya.

Wanita tua itu ingin sekali mengatakan hal sebenernya tentang sang bayi, tapi Meria sudah mengancam untuk diam dan tak boleh buka suara.

Ros mengangguk lemah, wajahnya pucat tanpa semangat. Ia berjalan masuk ke rumah dengan langkah gontai, matanya masih sembab karena tangis yang tak kunjung reda. “Iya, Bi… aku sudah pulang,” jawabnya dengan suara serak.

Asisten rumah tangga itu, seorang wanita tua bernama Bi Mina, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. Hatinya terasa berat melihat kondisi Ros yang begitu hancur. Ia tahu kebenaran yang sebenarnya, tapi ancaman Meria membayanginya seperti awan gelap.

“Non… Non harus kuat, ya,” ucap Bi Mina dengan hati-hati, mencoba memberi sedikit kekuatan.

Ros tersenyum pahit, menatap Bi Mina dengan mata yang penuh luka. “Kuat, Bi? Untuk apa aku kuat? Aku bahkan tidak punya alasan untuk bertahan lagi…” suaranya pecah di akhir kalimat, membuat air mata kembali mengalir di pipinya.

Ros mengemasi bajunya, tekadnya bulat untuk pergi dari neraka itu. Entah kemana, dirinya pun belum tahu arah dan tujuan nya kali ini.

Bi Mina ingin sekali mengatakan sesuatu, ingin memberitahu bahwa bayi Ros sebenarnya masih hidup. Tapi bayangan ancaman Meria membuatnya menelan kembali kata-kata yang hampir terucap.

“Sabar, Non. Tuhan pasti punya rencana lain untuk Non,” ucap Bi Mina dengan nada lembut, meskipun hatinya diliputi rasa bersalah.

Ros hanya diam, tak merespons. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal erat-erat, seolah mencari pelukan yang tak bisa lagi ia dapatkan. Bi Mina memandangnya dengan air mata menggenang di sudut mata.

“Maafkan Bibi, Non,” gumam Bi Mina pelan, hampir seperti bisikan yang hanya bisa ia dengar sendiri. “Suatu saat… Bibi harap Non akan tahu kebenarannya.”

Namun untuk saat ini, Bi Mina hanya bisa diam, berdoa agar Tuhan memberikan jalan terbaik bagi Ros, sekaligus kekuatan untuk menanggung semua beban yang menimpanya.

"Non mau ke mana? Bukannya masih sangat lemas?" tanya Bi Mina.

"Aku tidak bisa lama-lama di rumah ini. Bi, satu pertanyaan aku tolong jawab dengan benar."

"Apa non?"

"Kenapa bisa anakku meninggal sedangkan saat aku melihatnya dia menangis kencang?"

Bi Mina terkesiap saat itu, entah apa yang akan dia katakan bahkan dusta yang mungkin akan dia simpan seumur hidup.

"Bi, apa ini ada hubungannya dengan mereka? Atau sebenarnya anakku masih hidup dan bibi menyembunyikan nya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Hari Yang Bahagia

    Di bawah langit malam yang tenang, angin bertiup pelan menerpa helai rambut Ros yang jatuh di bahunya. Langkahnya menyusul Nicolas, menyusuri sisi taman kecil yang diterangi cahaya kuning temaram dari lampu dinding rumah. Jantung Ros berdegup tak karuan. Tadi Nicolas memintanya bicara secara pribadi, dan itu sudah cukup untuk membuat pikirannya berputar-putar.Begitu mereka sampai di sudut taman, Nicolas berhenti. Ia membalikkan badan, menatap Ros dengan mata yang tak biasa—ada kegugupan, ada ketegasan, dan ada… cinta."Ros," katanya pelan namun mantap. “Aku sudah terlalu lama menahan semuanya.”Ros menatapnya, menanti. Namun diamnya adalah jawaban paling jujur dari ketakpastian dalam dadanya.Nicolas menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi mungkin aku harus langsung ke intinya.”Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Ros terperangah, tubuhnya seperti terpaku di tempat.“Aku tahu ini mendadak. Mungkin kamu berpikir aku hanya sedang

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Makan Malam Hangat

    Rosalia sempat terdiam, bibirnya mengatup kaku karena tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu dari Nyonya Sandrina. Ia menatap wajah wanita paruh baya di hadapannya, yang kini tampak begitu hangat dan tulus.“Mama?” Ros mengulang pelan, seolah ingin memastikan.Nyonya Sandrina mengangguk lembut. “Iya, kamu sudah seperti anak sendiri. Kalau kamu bersedia memanggilku begitu… aku akan sangat senang.”Ros menunduk, hatinya tiba-tiba hangat. Sepanjang hidupnya, ia jarang merasa sedekat ini dengan sosok ibu. Meski pernah punya ibu tiri, kasihnya tak pernah benar-benar menyentuh.“Terima kasih… Mama,” ucap Ros dengan suara pelan namun penuh makna.Nyonya Sandrina meraih tangan Ros dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi aku tahu kamu anak baik. Dan aku tahu El sangat mencintaimu.”Ros tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sangat mencintai El.”Nyonya Sandrina tersenyum lebar. “Dan itu sudah cukup. Kamu pantas berada di sisiny

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Jati diri Ros

    Nicolas mengajak Ros makan di restoran. Kali ini Nicolas ingin menyelesaikan semuanya. Kebohongan yang selama ini dia tahan. Namun, hatinya tak biasa menampik rasa yang ada."Apa ada yang bisa kamu jelaskan?" tanya Nicolas saat Ros hendak makan siang. "Tentang identitas sebagai cucu Nyonya agata."Ros meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nicolas tanpa buru-buru. Sorot matanya tajam, tapi tenang.“Aku tidak berniat menyembunyikan, Nic. Tapi bukan waktunya saat itu. Aku bukan seseorang yang suka ! ada luka di balik kalimatnya.Nicolas menghela napas, mencoba menurunkan egonya. “Tapi kamu tahu, aku harusnya jadi orang pertama yang tahu. Setelah semua yang kita lalui…”Ros tersenyum tipis, getir. “Setelah semua kebohonganmu juga? Tentang El, tentang pernikahan yang kamu tawarkan, tentang... rasa yang kamu bahkan baru akui kemarin?”Nicolas terdiam. Ros melanjutkan, suaranya kini lebih lembut. “Aku bukan ingin menyakiti kamu, Nic. Aku cuma ingin dikenal karena diriku sendiri, bukan seba

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Ini Nyata

    Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pewaris Tunggal

    Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    akhirnya memeluk anakku

    Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status