Share

Kesedihan

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-01-02 02:04:32

"Bagaimana, BI? Kamu sudah membuang anak itu?" tanya Meria yang datang menghampiri sang asisten.

Asisten rumah tangga itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tangannya gemetar saat memberikan foto bayi yang ia ambil sebelumnya. Bayi itu terlihat sedang tidur dengan kain membungkus tubuh mungilnya, seolah-olah sudah tidak bernyawa.

Meria memandang foto itu dengan puas, senyumnya penuh kepuasan. “Akhirnya masalah ini selesai. Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik. Pastikan kau tidak mengungkit hal ini lagi, apa pun yang terjadi.”

“Iya, Non. Saya mengerti,” jawab asisten rumah tangga, suaranya bergetar.

Meria menyimpan foto itu di ponselnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar dengan ekspresi penuh kemenangan. Di balik wajah tenangnya, ada rencana besar untuk menutupi skandal ini dari semua orang.

Sementara itu, asisten rumah tangga berdiri mematung, napasnya tersengal. Ia tahu tindakannya berbahaya, tetapi hatinya tidak tega membuang bayi yang tidak bersalah itu.

“Maafkan Bibi, Nak." Air matanya jatuh, perasaan bersalah bercampur dengan ketakutan akan apa yang akan terjadi jika rahasianya terbongkar.

Sementara itu di dalam ruangan, Ros yang masih lemah mendengar langkah Meria mendekat. Perasaan cemas dan harapan membaur di dalam dirinya. “Di mana anakku? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lemah.

Meria menatapnya dengan wajah berpura-pura sedih. “Ros, aku harus memberitahumu sesuatu. Anakmu tidak berhasil bertahan. Dia meninggal beberapa menit setelah lahir. Aku turut berduka.”

Ros merasakan dunianya hancur seketika. “Tidak… tidak mungkin…” tangisnya pecah, tubuhnya yang lemah gemetar hebat. “Anakku… anakku…”

Meria hanya memandangnya dingin. Di dalam hatinya, ia merasa menang. Lalu, datang ayah dan ibu sambungnya.

"Ros, cukup. Harusnya kamu senang anak pembawa sial itu mati!" Bukanya menenangkan Ros, Bu Haniva malah membuat Ros semakin terpukul.

"Kembalilah ke kehidupan normalmu. Anggap saja tidak pernah ada kehamilan dan kelahiran bayi sialan itu. Carilah laki-laki kaya yang bisa membantu perusak ayah bangkit, Ros," ujar Pak Bagaskara.

Ros hanya bisa menangis dalam diam, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata ayah dan ibunya menghantamnya lebih keras daripada tamparan. Mereka tidak hanya mengabaikan rasa sakitnya, tetapi juga memperlakukan anak yang baru saja dilahirkannya seolah tidak berarti apa-apa.

“Kenapa kalian begitu kejam?” gumam Ros di tengah tangisannya, suara yang nyaris tidak terdengar. “Dia anakku… darah dagingku… bagaimana kalian bisa bicara seperti itu?”

Bu Haniva mendengus, menatap Ros dengan tatapan penuh cemooh. “Kejam? Kau yang memalukan keluarga ini, Ros. Kejadian ini harusnya jadi pelajaran untukmu. Tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang sudah mati.”

Pak Bagaskara menambahkan dengan nada dingin. “Haniva benar. Anak itu tidak punya masa depan. Kau seharusnya bersyukur dia tidak hidup, karena dia hanya akan menjadi bebanmu dan beban kami.”

Ros meremas ujung seprai lebih kuat, seolah mencoba menahan semua amarah, rasa sakit, dan kekecewaan yang membanjiri dirinya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Perlahan, di balik tangisannya, ada api kecil yang mulai menyala di dalam hatinya.

Ia mengangkat wajahnya, meskipun matanya masih basah oleh air mata. “Kalian salah,” katanya dengan suara yang mulai tegas, meskipun lemah. “Anak itu bukan pembawa sial. Dia adalah segalanya untukku. Dan kalian… kalian tidak punya hak untuk mengatur hidupku lagi.”

Pak Bagaskara terkejut mendengar kata-kata itu. “Apa maksudmu, Ros?”

Ros menatap ayahnya, meskipun matanya masih penuh air mata. “Aku akan bangkit. Aku akan melanjutkan hidupku, tapi bukan dengan cara yang kalian inginkan. Aku tidak butuh laki-laki kaya atau bantuan siapa pun. Aku akan menjadi kuat sendiri, untuk anakku, meskipun dia sudah tiada.”

Bu Haniva tertawa kecil, sinis. “Oh, sungguh? Dan bagaimana kau akan melakukannya, Ros? Kau bahkan tidak punya apa-apa.”

Ros berdiri perlahan, meskipun tubuhnya masih lemah. “Kalian lihat saja. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak butuh kalian, atau siapa pun, untuk menjadi seseorang yang lebih baik.”

"Jangan gila kamu Ros! Kamu masih lemah dan pendarahan tadi jika bukan kami yang menolong mungkin nasib kamu akan sama dengan anak kandung kamu." Lagi, Haniva membuat Ros semakin emosi.

"Kenapa tidak kalian biarkan aku mati hah? Aku tidak Sudi berhutang nyawa dengan kalian!" Ros menatap tajam ibu sambungnya, tangan itu kembali mengepal keras. Namun, tubuhnya masih sangat lemah untuk bangkit bahkan bangun dari tempat tidur.

Haniva tertawa kecil, sinis, menatap Ros dengan penuh kemenangan. “Kau ingin mati? Jangan konyol, Ros. Kau pikir kematian itu akan menyelesaikan semuanya? Tidak. Kami menyelamatkanmu karena kami masih punya rencana untukmu. Jangan sia-siakan itu.”

Ros semakin gemetar mendengar kata-kata itu. Napasnya terasa sesak, amarahnya memuncak, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Matanya memerah, penuh dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.

“Kalian tidak menyelamatkanku karena peduli. Kalian menyelamatkanku karena kalian hanya peduli pada rencana busuk kalian sendiri,” kata Ros dengan suara bergetar. “Aku benci kalian… aku tidak butuh kalian…”

Pak Bagaskara mendekat, suaranya rendah namun tajam. “Berhenti berdrama, Ros. Hidup ini keras, dan kau harus realistis. Kalau kau mau tetap hidup, ikut aturan kami. Bangkit, bersihkan nama keluarga ini, dan lakukan apa yang seharusnya kau lakukan.”

Ros memalingkan wajahnya, air mata terus mengalir. Ia merasa seperti boneka yang dipermainkan, tak punya hak untuk memilih jalannya sendiri.

“Tapi ingat ini, Ros,” Haniva menambahkan dengan nada penuh ancaman, “kalau kau melawan, kau tidak akan punya apa-apa. Kau akan sendirian, dan aku jamin dunia di luar sana tidak akan lebih baik untukmu. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum melawan kami.”

Ros tetap diam, tidak menjawab. Dalam hatinya, dia tahu bahwa mereka tidak akan pernah berubah. Namun, dia bersumpah dalam diam, dia akan menemukan caranya sendiri untuk bangkit. Meskipun tubuhnya lemah sekarang, hatinya tidak akan menyerah.

Ia hanya menunggu waktu.

"Cukup, jangan pikir aku akan menjadi boneka kalian lagi. Kenapa tidak Meria saja yang kalian tumbalkan, kenapa harus aku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Jati diri Ros

    Nicolas mengajak Ros makan di restoran. Kali ini Nicolas ingin menyelesaikan semuanya. Kebohongan yang selama ini dia tahan. Namun, hatinya tak biasa menampik rasa yang ada."Apa ada yang bisa kamu jelaskan?" tanya Nicolas saat Ros hendak makan siang. "Tentang identitas sebagai cucu Nyonya agata."Ros meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nicolas tanpa buru-buru. Sorot matanya tajam, tapi tenang.“Aku tidak berniat menyembunyikan, Nic. Tapi bukan waktunya saat itu. Aku bukan seseorang yang suka ! ada luka di balik kalimatnya.Nicolas menghela napas, mencoba menurunkan egonya. “Tapi kamu tahu, aku harusnya jadi orang pertama yang tahu. Setelah semua yang kita lalui…”Ros tersenyum tipis, getir. “Setelah semua kebohonganmu juga? Tentang El, tentang pernikahan yang kamu tawarkan, tentang... rasa yang kamu bahkan baru akui kemarin?”Nicolas terdiam. Ros melanjutkan, suaranya kini lebih lembut. “Aku bukan ingin menyakiti kamu, Nic. Aku cuma ingin dikenal karena diriku sendiri, bukan seba

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Ini Nyata

    Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pewaris Tunggal

    Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    akhirnya memeluk anakku

    Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Frustasi

    "Kenapa begitu tiba-tiba Tuan Aldo dari perusahaan Nyonya Agata mengambil alih project kita?" tanya Nicolas.Nicolas kaget saat tiba-tiba Alex mengabarkan berita yang tak terduga.Alex menyesuaikan kacamatanya sebelum menjawab. "Aku juga baru menerima laporan ini, Tuan. Tuan Aldo mengklaim kepemilikan atas sebagian saham proyek ini dengan dalih perjanjian lama yang tidak diperbarui."Nicolas menghela napas, ekspresinya mengeras. "Dan kenapa kita tidak tahu soal perjanjian itu sebelumnya?""Karena dokumen lama itu seharusnya tidak berlaku lagi. Tapi, entah bagaimana, Aldo berhasil mendapatkan celah hukum untuk menggunakannya."Nicolas mengepalkan tangannya. "Aldo tidak mungkin bergerak sendiri. Aku ingin kau cari tahu siapa yang ada di belakangnya."Alex mengangguk. "Baik, Tuan. Saya juga sudah menghubungi tim legal untuk meninjau ulang semua dokumen terkait. Tapi, sebaiknya Anda juga berbicara langsung dengan Nyonya Agata."Nicolas menatap lurus ke arah jendela kantornya, pikirannya d

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Persiapan Matang

    "Ros, sampai kapan kamu menutupi identitas kamu? Jika kamu menikah, Nicolas harus tahu siapa kamu," ujar Oma Agata. Ros menegang mendengar perkataan Oma Agata. Rahasianya selama ini menjadi beban yang terus menghantui. Dia tahu cepat atau lambat Nicolas akan tahu, tapi dia tidak siap untuk menghadapi reaksi pria itu."Oma... apa itu penting sekarang?" suara Ros terdengar lemah. Matanya menatap lantai, menghindari tatapan tajam Oma Agata dan Tian."Sangat penting, Ros," Oma Agata menegaskan. "Jika kamu menikah dengannya tanpa mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya, kamu tidak hanya menipu Nicolas, tapi juga dirimu sendiri. Pernikahan tidak bisa dibangun di atas kebohongan."Ros menghela napas panjang. Pikirannya bercampur aduk antara ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah."Aku takut, Oma... jika dia tahu semuanya, dia mungkin tidak akan menerimaku." suara Ros bergetar.Tian mendekat, menatap Ros dengan lembut. "Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan mengerti. Kamu berhak dicint

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status