Lima tahun kemudian
Ros sudah sampai di rumah megah milik Nyonya Agata. Dirinya sengaja pulang dulu dan berganti pakaian. Dirinya sangat lelah karena setelah dia bertugas mengecek beberapa pasien anak yang baru saja akan pulang, dirinya pun harus menjaga Oma Agata yang sedang di rawat di rumah sakit. "Non, hari ini apa kondisi Nyonya besar sudah pulih?" tanya Bi Siti. "Alhamdulillah sudah, Bi. Tadi saya enggak bawa baju. Mandi di rumah sakit agak gimana gitu, Bi," ucap Ros. "Iya sih. Non, pokonya kabarin kondisi Nyonya. Sepi banget kalau enggak ada Nyonya besar." Bi Siti kepala pelayan kembali bicara. Ros tersenyum tipis, meskipun hatinya masih sedikit gundah. "Iya, Bi. Saya pasti kabarin terus. Doain aja Nyonya cepat pulih, ya." Bi Siti mengangguk semangat, matanya penuh harap. "Pasti, Non. Saya selalu doain yang terbaik buat Nyonya besar. Kalau Nyonya sudah pulang, rumah ini pasti ramai lagi. Rasanya kosong banget kalau beliau enggak ada." "Non, kalau Non Ros capek, istirahat aja dulu. Jangan terlalu dipaksain. Nyonya pasti enggak mau lihat Non sakit juga," ucap Bi Siti lagi dengan nada perhatian. Ros tersenyum lebih tulus kali ini. "Terima kasih, Bi. Saya tahu Bi Siti selalu perhatian. Nanti kalau ada kabar apa-apa, saya pasti langsung kasih tahu." "Iya, Non. Jangan lupa makan, ya," ujar Bi Siti sebelum berlalu, meninggalkan Ros sendiri dengan pikirannya. Ros menatap langit-langit rumah, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berdoa agar semuanya bisa kembali seperti dulu—meski ia tahu, ada bagian dari dirinya yang tak akan pernah sama lagi. *** Ros dengan cepat melangkah masuk ke rumah sakit. Walau dia tahu sang nenek kondisinya sudah baik-baik saja,tapi tetap saja dia cemas. Ros tersentak saat tubuh kecil seorang anak laki-laki tiba-tiba menabraknya. Hanya dalam sekejap, pandangannya tertuju pada darah yang menetes dari tangan kecil anak itu. Selang infusnya terlihat terlepas, meninggalkan luka kecil yang mengeluarkan darah. “Hey! Kamu siapa? Kenapa bisa seperti ini?” Rosa bertanya panik sambil berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan sang anak. Anak itu tidak menjawab, hanya menatap Rosa dengan mata yang besar dan penuh ketakutan. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh, dan tubuhnya gemetar. Rosa bisa melihat wajah anak itu pucat, jelas tidak sehat, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Rosa terdiam sejenak. “Infusmu terlepas, kamu terluka,” Rosa berkata dengan suara lebih lembut, mencoba menenangkan anak itu. Ia meraih tasnya, mencari sesuatu untuk menghentikan darah yang masih mengalir. “Kita harus segera mengobatinya.” Namun, anak itu tiba-tiba menariknya. "Aku tidak mau kembali ke kamar, aku bosan. Aku mau main saja." “Baiklah,” kata Rosa lembut, mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu anak itu. “Aku tidak akan membawamu ke mana pun. Tapi aku perlu menghentikan lukamu dulu, oke?” Anak itu memandang Rosa dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk perlahan. Rosa segera mengambil syal dari lehernya, melilitkannya dengan hati-hati di sekitar luka untuk menghentikan darah. “Namamu siapa?” tanya Rosa sambil bekerja, mencoba membuat anak itu merasa lebih nyaman. “...El,” jawab anak itu pelan. "Nama yang bagus." Rosa tidak mungkin membiarkan darah itu terus mengalir. Wanita itu hendak membawa ke ruangan perawatan tapi dia kembali di kejutkan oleh suara pria dewasa. "Mau di bawa ke mana anak itu dan mengapa dia mengeluarkan banyak darah?" Rosa terkejut dengan kemarahan pria itu yang tiba-tiba, apalagi ketika dia menyebut anak laki-laki itu sebagai "anaknya." Namun, yang lebih mengejutkan adalah reaksi El. Alih-alih merasa lega atau senang, anak itu justru semakin erat memeluk Rosa, tubuhnya gemetar seolah-olah pria itu adalah sosok yang paling ia takuti. “Dia anakku! Cepat berikan dia padaku!” Pria itu berkata dengan nada penuh otoritas, langkahnya semakin mendekat. Namun, Rosa segera mundur selangkah, melindungi El dengan tubuhnya. “Tunggu! Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Saya tidak akan menyerahkan dia begitu saja tanpa tahu kebenarannya!” katanya tegas, meski suara dan tubuhnya sedikit bergetar. Pria itu tampak semakin marah, kalau menghampiri sang anak. Wajah itu berubah semringah lalu cemberut. Hal itu sudah biasa dilihatnya dari sang anak. "kamu sengaja berulah karena aku pergi selama beberapa hari?" Anak laki-laki itu tidak menjawabnya wajahnya malah cemberut, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu Ros. Nic kembali mencoba membujuk sang anak dengan kembali menoleh mensejajarkan wajah mereka. "kamu marah padaku?" El tidak langsung menjawab, lalu mengangguk pelan. Nicolas menghela napas. "Tapi kita obati dulu tanganmu ya? Lalu kamu bisa lanjut marah padaku." Nicolas kembali berniat mengambil El dari gendongan Ros, tapi bocah itu menolak dan justru mengeratkan pelukannya pada Rosa. Nicolas hendak menegur, tapi Ros kemudian berkata bahwa dia bisa mengobati El dalam gendongannya apabila diperkenankan → suara Ros lembut dan keibuan membuat Nicolas sedikit melunak dan berhubung El tak mau lepas dari wanita itu. ***Di bawah langit malam yang tenang, angin bertiup pelan menerpa helai rambut Ros yang jatuh di bahunya. Langkahnya menyusul Nicolas, menyusuri sisi taman kecil yang diterangi cahaya kuning temaram dari lampu dinding rumah. Jantung Ros berdegup tak karuan. Tadi Nicolas memintanya bicara secara pribadi, dan itu sudah cukup untuk membuat pikirannya berputar-putar.Begitu mereka sampai di sudut taman, Nicolas berhenti. Ia membalikkan badan, menatap Ros dengan mata yang tak biasa—ada kegugupan, ada ketegasan, dan ada… cinta."Ros," katanya pelan namun mantap. “Aku sudah terlalu lama menahan semuanya.”Ros menatapnya, menanti. Namun diamnya adalah jawaban paling jujur dari ketakpastian dalam dadanya.Nicolas menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi mungkin aku harus langsung ke intinya.”Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Ros terperangah, tubuhnya seperti terpaku di tempat.“Aku tahu ini mendadak. Mungkin kamu berpikir aku hanya sedang
Rosalia sempat terdiam, bibirnya mengatup kaku karena tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu dari Nyonya Sandrina. Ia menatap wajah wanita paruh baya di hadapannya, yang kini tampak begitu hangat dan tulus.“Mama?” Ros mengulang pelan, seolah ingin memastikan.Nyonya Sandrina mengangguk lembut. “Iya, kamu sudah seperti anak sendiri. Kalau kamu bersedia memanggilku begitu… aku akan sangat senang.”Ros menunduk, hatinya tiba-tiba hangat. Sepanjang hidupnya, ia jarang merasa sedekat ini dengan sosok ibu. Meski pernah punya ibu tiri, kasihnya tak pernah benar-benar menyentuh.“Terima kasih… Mama,” ucap Ros dengan suara pelan namun penuh makna.Nyonya Sandrina meraih tangan Ros dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi aku tahu kamu anak baik. Dan aku tahu El sangat mencintaimu.”Ros tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sangat mencintai El.”Nyonya Sandrina tersenyum lebar. “Dan itu sudah cukup. Kamu pantas berada di sisiny
Nicolas mengajak Ros makan di restoran. Kali ini Nicolas ingin menyelesaikan semuanya. Kebohongan yang selama ini dia tahan. Namun, hatinya tak biasa menampik rasa yang ada."Apa ada yang bisa kamu jelaskan?" tanya Nicolas saat Ros hendak makan siang. "Tentang identitas sebagai cucu Nyonya agata."Ros meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nicolas tanpa buru-buru. Sorot matanya tajam, tapi tenang.“Aku tidak berniat menyembunyikan, Nic. Tapi bukan waktunya saat itu. Aku bukan seseorang yang suka ! ada luka di balik kalimatnya.Nicolas menghela napas, mencoba menurunkan egonya. “Tapi kamu tahu, aku harusnya jadi orang pertama yang tahu. Setelah semua yang kita lalui…”Ros tersenyum tipis, getir. “Setelah semua kebohonganmu juga? Tentang El, tentang pernikahan yang kamu tawarkan, tentang... rasa yang kamu bahkan baru akui kemarin?”Nicolas terdiam. Ros melanjutkan, suaranya kini lebih lembut. “Aku bukan ingin menyakiti kamu, Nic. Aku cuma ingin dikenal karena diriku sendiri, bukan seba
Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta