Ada sebuah keraguan di mata Ros, wanita tua di hadapannya baru saja dia kenal bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Mana mungkin bisa menceritakan kesedihannya pada orang yang baru baru dan mungkin saja sangat bahaya. Belajar dari sebuah pengalaman yang ternyata menghancurkan hidupnya.
"Nak, katakan apa yang membuat kamu seperti sedang tertekan?" tanya Nyonya itu. Manik mata yang sudah tua itu, menatap penuh harap. "Maaf, saya tidak apa-apa dan tidak sedang tertekan." Ros mencoba berdusta, tapi nyatanya dia sangat gugup. "Kamu bisa percaya sama saya. Saya tidak jahat dan bisa membantu kamu," ujar nyonya Agata kembali meyakinkan Ros. "Ta--tapi saya benar-benar tidak sedang ada masalah." Lagi, Ros mencoba untuk tidak menceritakan hal yang baginya sangat sensitif pada orang asing. Nyonya Agata menarik napas panjang. "Baiklah jika kamu merasa belum bisa cukup percaya. Kamu mau saya antar pulang?" tanya Nyonya Agata lagi. Ros menatap Nyonya Agata dengan ragu. Tawaran itu terdengar tulus, tetapi hati kecilnya masih penuh dengan ketakutan dan kecurigaan. “Tidak usah, Nyonya. Saya bisa pulang sendiri,” jawab Ros pelan, mencoba terdengar tegas, meskipun ada getar di suaranya. Nyonya Agata mengangguk, senyum lembut tak meninggalkan wajahnya. “Baik, saya tidak akan memaksa. Tapi, Nak, jika suatu saat kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, jangan ragu untuk mencari saya. Dunia ini terlalu berat untuk dipikul sendirian.” Ros terdiam, tak tahu harus merespons apa. Kata-kata wanita itu terasa hangat, seolah menyentuh bagian kecil di hatinya yang mulai retak. Namun, rasa takut dan curiga masih terlalu kuat untuk dilawan. “Terima kasih, Nyonya. Saya akan mengingatnya,” ujar Ros akhirnya, mencoba menyudahi percakapan. Tatapan Nyonya Agata sangat hangat. Ingin sekali dirinya meminta untuk sekali saja di peluk erat karena hal itu sangat ia butuhkan. Tak terasa, menyembunyikan semuanya sendiri memang sangat berat. Tampa di duga, bulir bening mengalir di pipi Ros. Melihat hal itu, Bu Agata langsung memeluk Ros dengan erat tanpa Ros sadar dia kembali menangis tersedu-sedu. "Tidak masalah kamu tidak mau menceritakan masalah dalam hidup kamu karena aku orang yang baru saja kamu kenal. Tapi, jangan kamu tahan air mata ini. Menangislah sepuas mu di pelukanku." Ros terisak dalam pelukan Nyonya Agata. Tubuhnya bergetar, semua beban yang selama ini dipendam terasa runtuh begitu saja. Kehangatan pelukan itu memberinya ruang untuk melepaskan semua emosi yang selama ini ia sembunyikan. “Saya... saya lelah,” Ros akhirnya berbisik di sela tangisnya. “Terlalu banyak hal yang saya pikul sendirian. Saya bahkan tidak tahu harus mulai dari mana…” Nyonya Agata mengusap lembut punggung Ros, memberikan rasa nyaman yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. “Tidak apa-apa, Nak. Kamu tidak perlu menjelaskan sekarang. Kadang hanya dengan menangis, hati kita sudah terasa lebih ringan.” Ros hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendirian. Pelukan hangat ini, meskipun dari seseorang yang baru saja dia kenal, terasa seperti tempat aman yang selama ini dia cari. Setelah beberapa saat, tangis Ros perlahan mereda. Dia melepaskan diri dari pelukan Nyonya Agata dengan mata yang masih sembab. “Maaf... saya tidak tahu kenapa tadi menangis.” Nyonya Agata tersenyum lembut. “Tidak perlu meminta maaf. Air mata itu adalah bagian dari dirimu, sama seperti senyuman. Kadang, kita hanya perlu membiarkan hati kita berbicara.” Ros memandang Nyonya Agata dengan rasa syukur. “Terima kasih... Terima kasih sudah ada di sini.” “Selalu, Nak. Dunia ini mungkin dipenuhi orang asing, tapi terkadang, justru dari merekalah kita menemukan secercah cahaya,” jawab Nyonya Agata sambil menggenggam tangan Ros dengan lembut. Sekian detik akhirnya Nyonya Agata kembali bicara. "Saya antar, mau?" tanyanya lagi. Ros menggeleng, dia tak tahu harus diantar kemana. "Saya tidak tahu mau diantar ke mana Nyonya." "Kenapa?" "Karena saya tidak punya tempat lagi untuk tetap tinggal." Nyonya Agata mengerutkan kening, lalu kembali menatap Rosalia. "Nak ... siapa namamu Nak?" tanya Nyonya Agata. "Saya Rosalia." "Nama yang indah. Rosalia, panggil saya Oma Agata." "Oma Agata?" tanya Ros pelan. "Iya, karena mulai hari ini kamu adalah cucu saya. Apa kamu bersedia pulang ke rumah saya?" "A--apa? Ke rumah Nyonya?" "Oma, Oma Agata Ros. Iya pulang ke rumah saya. Bagaimana?" Seketika Ros bungkam, dia berpikir keras untuk jawaban yang akan dia katakan pada Nyonya Agata. Ya atau tidak? ***Di bawah langit malam yang tenang, angin bertiup pelan menerpa helai rambut Ros yang jatuh di bahunya. Langkahnya menyusul Nicolas, menyusuri sisi taman kecil yang diterangi cahaya kuning temaram dari lampu dinding rumah. Jantung Ros berdegup tak karuan. Tadi Nicolas memintanya bicara secara pribadi, dan itu sudah cukup untuk membuat pikirannya berputar-putar.Begitu mereka sampai di sudut taman, Nicolas berhenti. Ia membalikkan badan, menatap Ros dengan mata yang tak biasa—ada kegugupan, ada ketegasan, dan ada… cinta."Ros," katanya pelan namun mantap. “Aku sudah terlalu lama menahan semuanya.”Ros menatapnya, menanti. Namun diamnya adalah jawaban paling jujur dari ketakpastian dalam dadanya.Nicolas menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi mungkin aku harus langsung ke intinya.”Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Ros terperangah, tubuhnya seperti terpaku di tempat.“Aku tahu ini mendadak. Mungkin kamu berpikir aku hanya sedang
Rosalia sempat terdiam, bibirnya mengatup kaku karena tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu dari Nyonya Sandrina. Ia menatap wajah wanita paruh baya di hadapannya, yang kini tampak begitu hangat dan tulus.“Mama?” Ros mengulang pelan, seolah ingin memastikan.Nyonya Sandrina mengangguk lembut. “Iya, kamu sudah seperti anak sendiri. Kalau kamu bersedia memanggilku begitu… aku akan sangat senang.”Ros menunduk, hatinya tiba-tiba hangat. Sepanjang hidupnya, ia jarang merasa sedekat ini dengan sosok ibu. Meski pernah punya ibu tiri, kasihnya tak pernah benar-benar menyentuh.“Terima kasih… Mama,” ucap Ros dengan suara pelan namun penuh makna.Nyonya Sandrina meraih tangan Ros dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi aku tahu kamu anak baik. Dan aku tahu El sangat mencintaimu.”Ros tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sangat mencintai El.”Nyonya Sandrina tersenyum lebar. “Dan itu sudah cukup. Kamu pantas berada di sisiny
Nicolas mengajak Ros makan di restoran. Kali ini Nicolas ingin menyelesaikan semuanya. Kebohongan yang selama ini dia tahan. Namun, hatinya tak biasa menampik rasa yang ada."Apa ada yang bisa kamu jelaskan?" tanya Nicolas saat Ros hendak makan siang. "Tentang identitas sebagai cucu Nyonya agata."Ros meletakkan sendoknya perlahan, menatap Nicolas tanpa buru-buru. Sorot matanya tajam, tapi tenang.“Aku tidak berniat menyembunyikan, Nic. Tapi bukan waktunya saat itu. Aku bukan seseorang yang suka ! ada luka di balik kalimatnya.Nicolas menghela napas, mencoba menurunkan egonya. “Tapi kamu tahu, aku harusnya jadi orang pertama yang tahu. Setelah semua yang kita lalui…”Ros tersenyum tipis, getir. “Setelah semua kebohonganmu juga? Tentang El, tentang pernikahan yang kamu tawarkan, tentang... rasa yang kamu bahkan baru akui kemarin?”Nicolas terdiam. Ros melanjutkan, suaranya kini lebih lembut. “Aku bukan ingin menyakiti kamu, Nic. Aku cuma ingin dikenal karena diriku sendiri, bukan seba
Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta