Bab 4.
Hanum duduk di bangku sudut lorong rumah sakit, jauh dari pandangan perawat maupun keluarga pasien lain. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir, meski suara tangisnya nyaris tak terdengar. Ia memeluk lutut, tubuhnya gemetar karena beban yang tak sanggup lagi ia pikul.
Ponselnya berdering. Nama "Ibu" muncul di layar.
Hanum buru-buru mengusap air mata dan menjawab, berusaha menata suaranya sebaik mungkin.
"Ibu... Iya, Melati sudah diperiksa," katanya lirih. "Tenang saja, Mas Arlan sudah janji akan bayar lagi asuransinya. Aku sudah bicara sama dia." jawab Hanum yang langsung kembali ke ruang UGD, melihat kembali keadaan adiknya.
Padahal kenyataannya, Arlan tak pernah berjanji. Yang ia tawarkan hanya syarat-syarat kejam yang menusuk harga diri Hanum paling dalam.
Setelah memastikan kondisi adiknya jauh lebih baik Hanu pulang. Setiap langkahnya berat, menopang tubuhnya yang nyaris roboh.
Saat ia tiba di rumah, lampu ruang tengah sudah menyala. Arlan duduk di sofa, santai, mengenakan kemeja rumah sambil memainkan ponselnya. Tanpa menoleh, ia bertanya dengan suara dingin dan datar.
"Kamu sudah memikirkan soal tawaranku?"
Hanum berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat. Ia tak menjawab, hanya menatap Arlan dengan mata sayu yang menyimpan luka dalam.
Arlan akhirnya menatapnya langsung. "Kamu setuju tidur dengan Danial sekali lagi, kan?"
Air mata Hanum nyaris tumpah lagi, tapi ia tahan. Suaranya keluar nyaris seperti bisikan.
"Iya."
Arlan mengangguk puas, lalu berdiri. "Dia akan datang malam ini. Jangan buat dia menunggu."
Hanum merasa tubuhnya dingin, meski keringat dingin justru membasahi punggungnya. Ia masuk ke kamar, berjalan seperti raga tanpa jiwa. Sekali lagi, ia menjadi korban dari permainan laki-laki yang katanya suaminya.
Malam itu, Danial datang. Pintu rumah terbuka tanpa ketukan. Hanum menunggu di kamar, duduk kaku di tepi ranjang. Malam terasa begitu sunyi dan menyesakkan.
***
1 bulan kemudian.
Arlan menatap tajam benda mungil di tangannya test pack dengan satu garis merah yang begitu jelas. Hanum menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, menanti kemarahan yang sudah bisa ia rasakan menggumpal di udara.
"Negatif lagi?" suara Arlan pelan, namun dinginnya menusuk seperti ujung pisau. Ia membuang test pack itu ke lantai seolah tak ada artinya.
"Sudah sebulan, Hanum! SEBULAN!' suaranya meninggi. "Kau tidur dengannya, bukan?! Lalu kenapa belum juga hamil?!"
Hanum menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang mulai menggenang. Hatinya perih. Ia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa tubuhnya bukan mesin yang bisa dikendalikan sesuka hati. Tapi bibirnya kelu.
“Apa kau bahkan melakukannya dengan benar?! Atau kau sengaja menahannya?! Jangan-jangan kau memang tak ingin mengandung anak Danial!”
"Tidak, Mas. aku—aku sudah mencoba."
"Tapi kau gagal!" bentak Arlan. Ia berjalan mondar-mandir seperti binatang buas yang kehilangan arah. "Kau tahu betapa aku menginginkan anak itu. Anak yang bisa mengubah segalanya!"
Hanum menunduk, tubuhnya gemetar. Yang Arlan inginkan bukan sekadar anak tapi anak dari pria lain. Dan semua ini, rasa sakit, kehancuran harga diri, hanyalah bagian dari obsesi gila suaminya sendiri.
***
Arlan duduk di ruang kerjanya yang sepi, hanya ditemani denting jam dinding dan berkas-berkas yang tak sempat disentuh. Tatapannya kosong menembus jendela kaca, tapi pikirannya kacau. Sudah sebulan lebih Hanum menjalani perintahnya tapi tetap saja, belum ada tanda-tanda kehamilan. Tespek demi tespek hanya memberi satu garis. Harapannya perlahan berubah menjadi kekecewaan.
Tangannya mengepal di atas meja. "Masalahnya tidak mungkin ada pada Hanum," gumamnya pelan, "Jangan-jangan… Danial yang bermasalah?"
Pikiran itu membuatnya geram sendiri. Ia tak mau menerima kemungkinan bahwa rencana yang ia susun rapi justru gagal karena Danial pria yang ia percaya bisa memberinya keturunan.
Tanpa banyak pikir, Arlan menekan tombol interkom.
"Panggil Danial ke ruang kerja saya. Sekarang."
Beberapa menit kemudian, Danial masuk dengan langkah tenang. Tapi ketenangan itu segera pecah saat Arlan membuka pembicaraan.
"Aku ingin kamu ke rumah sakit. Periksa dirimu. Pastikan kalau kau tidak mandul."
Danial mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Kau menuduh aku—"
"Bukan menuduh. Aku butuh kepastian!" potong Arlan tajam. "Sudah lebih dari sebulan, tapi Hanum tidak hamil. Aku ingin tahu kenapa.”
Danial berdiri tegak, wajahnya memanas. "Kamu pikir aku penyebabnya? Tidak ada masalah dengan tubuhku. Kamu yang menyuruh semua ini, tapi sekarang kamu lempar kesalahan ke aku?"
Arlan bangkit dari kursinya, menghantamkan telapak tangan ke meja. "Ini bukan soal menyalahkan. Aku hanya butuh bukti. Kalau memang tidak ada masalah, buktikan! Pergi dan lakukan pemeriksaan. Atau kamu lebih memilih aku berpikir kau memang mandul?"
Beberapa detik ruangan itu penuh ketegangan dan ego yang saling menyerang. Wajah Danial memerah, menahan amarah,"Baik. Kalau itu yang kamu mau. Akan kubuktikan jika tidak ada masalah pada diriku." Jawab Danial, melangkah keluar dari ruangan.
Keesokan harinya, Danial datang ke ruang kerja Arlan dengan wajah datar dan secarik kertas di tangannya. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan hasil pemeriksaan laboratorium di atas meja kerja Arlan.
"Ini hasilnya," ucap Danial singkat. "Aku tidak mandul. Sudah kukatakan tidak ada masalah denganku, bukan aku yang pecundang tapi kamu." Ujar Danial seraya tersenyum kecut, berbalik badan meninggalkan ruangan.
Arlan mengambil kertas itu dengan cepat, matanya menyapu setiap baris laporan medis yang jelas menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kesuburan Danial. Tangannya mengepal pelan, rahangnya mengeras.
Arlan tau Hanum sehat, tak ada riwayat medis yang mencurigakan. Lalu kenapa hingga sekarang dia belum juga hamil?
Pikiran Arlan kalut, benaknya dipenuhi tanya tanpa jawaban.
Bab 26.Langit sore berwarna kelabu saat mobil hitam Arlan memasuki gerbang rumah sakit jiwa di pinggiran kota. Pohon-pohon tua berdiri kaku, dan bangunan bergaya kolonial itu menyimpan aura muram yang menusuk. Suasana di dalam mobil begitu sunyi, hanya deru mesin dan napas berat Danial yang mengisi ruang.“Apa kita benar-benar harus ke sini?” tanya Danial, matanya tak lepas dari kaca jendela.Arlan tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, hingga mobil berhenti dan seorang petugas rumah sakit menyambut mereka.Mereka berjalan melewati lorong panjang, dinding-dinding yang pudar dan aroma obat yang menyengat. Arlan berjalan tanpa ragu, seolah ia telah berkali-kali ke tempat itu. Danial, sebaliknya, makin pelan. Kakinya berat. Kepalanya dipenuhi kemungkinan terburuk.Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dikunci. Seorang perawat membuka pintunya.Di dalam, duduklah seorang perempuan tua, rambut kusut, tubuh kurus seperti ranting, tapi mata itu…Danial terpaku. Mata itu adala
Bab 25.Di ruang rumah sakit yang dingin, tubuh Hanum terbaring lemah dengan tatapan kosong ke langit-langit. Seolah jiwanya ikut luruh bersama kehidupan kecil yang gagal bertahan di dalam rahimnya. Arlan berdiri di samping tempat tidur, diam dan kaku, dengan tangan mengepal. Tak ada air mata. Hanya tekanan yang membuncah, tanpa arah begitu pula Danial.Orang tua Arlan masuk ke dalam ruangan. Sang ibu memeluk Hanum dengan mata berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Nak,” bisiknya lembut. “Yang penting kamu masih bisa hamil. Masih ada waktu, masih ada harapan. Tuhan tahu kapan saat yang tepat.”Hanum mencoba tersenyum, tapi rasanya wajahnya tak mampu bergerak. Ucapan itu tulus, tapi justru mebuat dadanya makin sesak. Bagaimana bisa mereka melihat keguguran ini sebagai sekadar kegagalan teknis dalam ‘proyek’ memiliki cucu?Beberapa hari berlalu. Luka di tubuh Hanum mungkin membaik, tapi hatinya tidak. Ia mengurung diri di kamar, menangis dalam diam. Setiap sudut rumah terasa seperti sangkar, dan
Bab 24.Mobil melaju menuruni jalanan perumahan elite yang sunyi, menembus kabut pagi yang mulai menipis. Di dalam kabin, Hanum duduk diam, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Danial sesekali meliriknya, tapi memilih untuk tidak berkata apa-apa dulu. Beberapa menit kemudian, saat mobil sudah cukup jauh dari rumah keluarga Hutomo, Hanum akhirnya bersuara, nyaris berbisik:"Aku tidak pernah berpikir semuanya akan menjadi serumit ini."Danial tidak menjawab langsung. Ia menepikan mobil ke sisi jalan yang sepi, mematikan mesin, dan memutar badan menghadap Hanum.“Kau ingin pergi jauh dari semua ini?”Hanum menoleh padanya, matanya berkaca-kaca. “Aku ingin... tapi aku juga takut.”“Takut apa?”“Takut mereka menyakiti orangtuaku lagi. Takut Arlan akan mempergunakan apa pun untuk membuatku kembali. Dia punya kuasa. Dia punya uang. Dia punya... segalanya untuk memaksa.”Danial menggenggam tangannya. “Tapi dia tidak punya hatimu. Itu satu hal yang tidak bisa dia kendalikan.”Hanum ter
Bab 23Pagi itu matahari seperti enggan terbit. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka. Suasana rumah keluarga Hutomo sunyi, tapi bukan sunyi yang damai. Sunyi yang menahan napas, seperti sebelum badai datang.Hanum terbangun di kamar tamu, dengan kepala berat dan mata sembab. Di sebelahnya, Danial masih duduk di kursi, tertidur dengan kepala bersandar ke dinding. Tapi semua ketenangan semu itu sirna saat pintu kamar terbuka keras.“Keluar.”Suara Arlan. Dingin, datar, tapi matanya merah. Entah karena marah, atau tidak tidur semalaman. Atau keduanya.Danial perlahan berdiri, tubuhnya masih lelah, tapi sorot matanya siaga.“Jangan bangunkan semua orang dengan dramamu,” ujarnya datar.Arlan tertawa pendek, getir. “Drama? Kau pikir aku tak tahu apa yang terjadi semalam?”Hanum berdiri pelan. “Kami tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak kuat tidur di kamar itu.”“Bukan tempatnya yang salah, Hanum.” Arlan mendekat, menatap istrinya tajam.
Bab 22.Hari itu hujan turun Danial baru pulang dari kantor. Matanya berat, tubuhnya letih.Namun begitu membuka pintu, ia tahu ada yang salah.Tak ada sepatu Hanum di rak.Danial memanggil-manggil namanya, membuka kamar, memeriksa balkon, bahkan kamar mandi. Tidak ada jejak. Tidak ada catatan. Tidak ada pesan.Panik menyergap seperti gelombang dingin. Ia meraih ponsel, menekan nomor Hanum berkali-kali."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif..."Lutut Danial hampir lemas. Dalam kepalanya terputar kemungkinan terburuk Hanum kabur, Hanum diseret paksa, atau... kembali ke tempat yang tidak seharusnya. Tak berpikir panjang, Danial langsung menyalakan mobil dan meluncur ke satu-satunya tempat yang ia pikir Hanum bisa tuju dengan sisa akal sehatnya rumah orangtuanya.“Kamu? Tumben kamu ke sini?" Ucap ibu Hanum menatap heran karena tidak biasanya Danial bertamu, "Kamu ke sini dengan Hanum?” tanyanya cepat.Danial terdiam, pernyataan wanita paruh baya itu langsung menegaskan jika Hanum sed
Bab 21.Sementara itu, di rumah Arlan, udara pagi tidak membawa ketenangan. Viona duduk di meja makan dengan mata panda dan secangkir kopi yang sudah dingin. Arlan belum tidur semalam, mengurung diri di kamar kerja. Setelah kepergian Hanum, sesuatu di dalam dirinya tak lagi tenang.Pintu dibuka dengan kasar. Arlan keluar dengan map di tangan.“Kau ingin aku ceraikan dia? Akan kulakukan. Tapi tidak sekarang.”Viona mendongak cepat. “Apa maksudmu?!”“Dia akan kugugat. Karena menyalahgunakan harta keluarga. Karena berselingkuh. Karena menghina martabat pernikahan.”“Arlan, hentikan. Ini tidak masuk akal.”“Terserah kamu ikut atau tidak. Tapi aku akan pastikan dia tidak menang.”Viona berdiri, bergetar. “Ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal manusia. Kamu masih tega setelah semua yang kau lakukan padanya?”Arlan menatap Viona tajam, dingin. “Kalau dia bisa mencintai Danial setelah tidur dengannya hanya karena perintahku… maka aku tidak lagi merasa punya kewajiban jadi manusia baik.”