Bab 5.
Siang itu, Hanum yang sedang di rumah mendapat telepon dari ibunya. Suara sang ibu terdengar panik dan cemas.
"Hanum, kondisi Melati menurun lagi, Nak. Sekarang dia di rumah sakit."
Hanum terdiam, darahnya terasa dingin. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas ke rumah sakit. Setibanya di sana, ia langsung menghampiri ibunya yang duduk gelisah di ruang tunggu.
"Bu, bagaimana Melati?" tanya Hanum dengan napas memburu.
"Dokter bilang dia harus segera ditangani intensif tapi mereka butuh jaminan. Dan asuransi dari Arlan sudah tidak lagi, kenapa Arlan kembali menonaktfkan asuransi lagi Nak?" sang Ibu menatap dengan mata berkaca-kaca sekaligus bingung.
Hanum menggigit bibirnya. Ia segera mencoba menelepon Arlan, namun panggilannya tidak diangkat berkali-kali. Hatinya berkecamuk. Tak tahan dengan ketidakjelasan itu, Hanum pun memutuskan untuk langsung pergi ke kantor Arlan.
Sesampainya di sana, ia memaksa masuk ke ruang kerja suaminya tanpa peduli tatapan para karyawan. Arlan sedang duduk di balik mejanya, wajahnya dingin.
"Mas, kenapa kamu nonaktifkan lagi asuransi Melati? Dia butuh perawatan sekarang!” tanya Hanum dengan suara bergetar antara cemas dan marah.
Arlan mendongak menatapnya tajam. "Aku tidak akan menanggungnya lagi," katanya dingin. "Biar saja dia mati."
Hanum menggeleng, tidak percaya. "Apa maksudmu?! Kenapa kamu tega—"
"Karena kamu sudah bohong padaku, Hanum!" bentak Arlan sambil berdiri. 'Kamu pikir aku bodoh?!"
Hanum mundur selangkah. 'Bohong apa maksudmu?"
Arlan menatap tajam, lalu dengan suara menahan amarah ia berkata, "Selama ini aku pasang CCTV di kamar. Aku lihat semuanya. Kamu dan Danial tidak pernah benar-benar tidur bersama, kan? Itu sebabnya kamu tidak kunjung hamil?!'
Darah Hanum seakan berhenti mengalir. Napasnya tercekat. "Kamu… kamu pasang CCTV di kamar kita?"
"Dan kamu berpura-pura menuruti permintaanku. Tapi ternyata kamu hanya membohongi aku, mempermainkan harapanku!" Arlan menghantam meja dengan tangannya.
Hanum tak bisa berkata apa-apa. Ia tidak menyangka, rasa obsesif Arlan telah membawanya melakukan hal sejauh ini mengintainya diam-diam, merenggut privasinya, dan sekarang membiarkan adiknya dalam bahaya hanya karena obsesi gilanya.
"Mas, aku minta maaf."
Arlan tidak menoleh, hanya berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Aku memang bohong, aku memang tidak pernah tidur dengan Danial," ucap Hanum lirih, air matanya mulai jatuh. "Aku tidak sanggup dia adik iparku. Aku tidak bisa menyerahkan harga diriku hanya demi memenuhi keinginanmu untuk punya anak."
Arlan menatapnya tajam kini, diam, tapi jelas penuh emosi.
"Aku cuma ingin kamu mengerti,aku lakukan ini bukan karena aku menantangmu atau menolakmu sebagai suamiku tapi karena aku masih punya harga diri."
Hanum maju selangkah, memegangi lengan Arlan dengan kedua tangan gemetar. "Tolong, kalaupun kamu tak bisa memaafkanku sekarang, setidaknya tolong aktifkan lagi asuransi kesehatan Melati. Keadaannya kritis, dia butuh penanganan segera. Aku mohon."
Tangisnya pecah, tubuhnya nyaris ambruk jika tidak bersandar pada dada pria yang masih diam membatu di hadapannya. Dalam hati, Hanum masih berharap, di balik amarah dan obsesinya, Arlan masih punya secercah rasa peduli.
Sore itu suasana di dalam ruangan itu sunyi, tegang, dan menyesakkan. Arlan menepis tangan Hanum dari lengannya.
"Telepon Danial. Katakan malam ini dia harus datang lagi dan lakukan itu denganmu."
Hanum menatap Arlan dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin menolak, ingin berteriak, tapi hanya bisu yang keluar dari mulutnya. Perlahan, ia mengambil ponsel dengan tangan gemetar, lalu menekan nomor Danial.
Sambungan terangkat setelah beberapa dering.
"Halo?" suara Danial terdengar di seberang.
Hanum terdiam sejenak, menahan isak tangisnya, suaranya lirih saat akhirnya berbicara.
"Danial, aku ingin kamu datang malam ini. Untuk melakukan itu lagi denganku," ucapnya dengan suara bergetar.
Hening menyelimuti sejenak. Di seberang, Danial terdengar menarik napas panjang. Ia sempat bingung, tapi nada suara Hanum yang terdengar seperti tercekik tangis membuatnya paham ini bukan keinginan Hanum. Ini paksaan.
"Dia memaksamu?" suara Danial pelan, tapi sarat emosi.
Hanum tak menjawab. Air matanya mengalir perlahan di pipi, tetapi ia tetap diam. Jawaban itu sudah cukup bagi Danial.
"Baik. Aku akan datang."
Malam itu, suara pintu kamar terbuka pelan. Danial masuk tanpa banyak bicara, seperti biasa. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, seolah tubuhnya sekadar menjalani kewajiban, bukan keinginan.
Hanum sudah duduk di tepi ranjang, gelisah. Kedua tangannya saling menggenggam erat, dingin dan gemetar. Ia tahu malam ini berbeda. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, meski hatinya seperti dihantam berkali-kali.
Danial tanpa kata langsung merebahkan diri di sisi ranjang, membelakangi Hanum. Seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya akan tidur, dan membiarkan waktu berlalu tanpa satu sentuhan pun.
Namun kali ini Hanum menarik nafas dalam, lalu memberanikan diri menyentuh lengan Danial.
"Danial," ucapnya pelan.
Danial membuka mata, tapi tak menoleh. "Kenapa?"
Hanum menelan ludah, lalu berkata lirih, "Tidurlah denganku malam ini… benar-benar tidur denganku."
Danial menoleh dengan alis terangkat. "Apa maksudmu? Kamu bercanda?"
Hanum menggeleng. Matanya mulai basah. "Aku serius."
Danial duduk perlahan, bingung. "Ada apa sebenarnya?"
Dengan suara bergetar, Hanum menjawab, "Arlan, dia memasang CCTV di kamar ini. Dia tahu. Dia tahu selama ini kita hanya pura-pura."
Wajah Danial berubah tegang. "Apa?"
Hanum mengangguk pelan. "Dia tahu semuanya. Dia tahu kita tak pernah benar-benar melakukannya. Dan sekarang, dia marah, dia hentikan lagi asuransi untuk Melati. Adikku masih di rumah sakit. Dia butuh pengobatan secepatnya."
Air mata Hanum jatuh perlahan. Ia mendekat ke arah Danial, mencoba menahan air matanya.
"Aku mohon, sentuh aku untuk kali ini."
Bab 26.Langit sore berwarna kelabu saat mobil hitam Arlan memasuki gerbang rumah sakit jiwa di pinggiran kota. Pohon-pohon tua berdiri kaku, dan bangunan bergaya kolonial itu menyimpan aura muram yang menusuk. Suasana di dalam mobil begitu sunyi, hanya deru mesin dan napas berat Danial yang mengisi ruang.“Apa kita benar-benar harus ke sini?” tanya Danial, matanya tak lepas dari kaca jendela.Arlan tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, hingga mobil berhenti dan seorang petugas rumah sakit menyambut mereka.Mereka berjalan melewati lorong panjang, dinding-dinding yang pudar dan aroma obat yang menyengat. Arlan berjalan tanpa ragu, seolah ia telah berkali-kali ke tempat itu. Danial, sebaliknya, makin pelan. Kakinya berat. Kepalanya dipenuhi kemungkinan terburuk.Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dikunci. Seorang perawat membuka pintunya.Di dalam, duduklah seorang perempuan tua, rambut kusut, tubuh kurus seperti ranting, tapi mata itu…Danial terpaku. Mata itu adala
Bab 25.Di ruang rumah sakit yang dingin, tubuh Hanum terbaring lemah dengan tatapan kosong ke langit-langit. Seolah jiwanya ikut luruh bersama kehidupan kecil yang gagal bertahan di dalam rahimnya. Arlan berdiri di samping tempat tidur, diam dan kaku, dengan tangan mengepal. Tak ada air mata. Hanya tekanan yang membuncah, tanpa arah begitu pula Danial.Orang tua Arlan masuk ke dalam ruangan. Sang ibu memeluk Hanum dengan mata berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Nak,” bisiknya lembut. “Yang penting kamu masih bisa hamil. Masih ada waktu, masih ada harapan. Tuhan tahu kapan saat yang tepat.”Hanum mencoba tersenyum, tapi rasanya wajahnya tak mampu bergerak. Ucapan itu tulus, tapi justru mebuat dadanya makin sesak. Bagaimana bisa mereka melihat keguguran ini sebagai sekadar kegagalan teknis dalam ‘proyek’ memiliki cucu?Beberapa hari berlalu. Luka di tubuh Hanum mungkin membaik, tapi hatinya tidak. Ia mengurung diri di kamar, menangis dalam diam. Setiap sudut rumah terasa seperti sangkar, dan
Bab 24.Mobil melaju menuruni jalanan perumahan elite yang sunyi, menembus kabut pagi yang mulai menipis. Di dalam kabin, Hanum duduk diam, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Danial sesekali meliriknya, tapi memilih untuk tidak berkata apa-apa dulu. Beberapa menit kemudian, saat mobil sudah cukup jauh dari rumah keluarga Hutomo, Hanum akhirnya bersuara, nyaris berbisik:"Aku tidak pernah berpikir semuanya akan menjadi serumit ini."Danial tidak menjawab langsung. Ia menepikan mobil ke sisi jalan yang sepi, mematikan mesin, dan memutar badan menghadap Hanum.“Kau ingin pergi jauh dari semua ini?”Hanum menoleh padanya, matanya berkaca-kaca. “Aku ingin... tapi aku juga takut.”“Takut apa?”“Takut mereka menyakiti orangtuaku lagi. Takut Arlan akan mempergunakan apa pun untuk membuatku kembali. Dia punya kuasa. Dia punya uang. Dia punya... segalanya untuk memaksa.”Danial menggenggam tangannya. “Tapi dia tidak punya hatimu. Itu satu hal yang tidak bisa dia kendalikan.”Hanum ter
Bab 23Pagi itu matahari seperti enggan terbit. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka. Suasana rumah keluarga Hutomo sunyi, tapi bukan sunyi yang damai. Sunyi yang menahan napas, seperti sebelum badai datang.Hanum terbangun di kamar tamu, dengan kepala berat dan mata sembab. Di sebelahnya, Danial masih duduk di kursi, tertidur dengan kepala bersandar ke dinding. Tapi semua ketenangan semu itu sirna saat pintu kamar terbuka keras.“Keluar.”Suara Arlan. Dingin, datar, tapi matanya merah. Entah karena marah, atau tidak tidur semalaman. Atau keduanya.Danial perlahan berdiri, tubuhnya masih lelah, tapi sorot matanya siaga.“Jangan bangunkan semua orang dengan dramamu,” ujarnya datar.Arlan tertawa pendek, getir. “Drama? Kau pikir aku tak tahu apa yang terjadi semalam?”Hanum berdiri pelan. “Kami tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak kuat tidur di kamar itu.”“Bukan tempatnya yang salah, Hanum.” Arlan mendekat, menatap istrinya tajam.
Bab 22.Hari itu hujan turun Danial baru pulang dari kantor. Matanya berat, tubuhnya letih.Namun begitu membuka pintu, ia tahu ada yang salah.Tak ada sepatu Hanum di rak.Danial memanggil-manggil namanya, membuka kamar, memeriksa balkon, bahkan kamar mandi. Tidak ada jejak. Tidak ada catatan. Tidak ada pesan.Panik menyergap seperti gelombang dingin. Ia meraih ponsel, menekan nomor Hanum berkali-kali."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif..."Lutut Danial hampir lemas. Dalam kepalanya terputar kemungkinan terburuk Hanum kabur, Hanum diseret paksa, atau... kembali ke tempat yang tidak seharusnya. Tak berpikir panjang, Danial langsung menyalakan mobil dan meluncur ke satu-satunya tempat yang ia pikir Hanum bisa tuju dengan sisa akal sehatnya rumah orangtuanya.“Kamu? Tumben kamu ke sini?" Ucap ibu Hanum menatap heran karena tidak biasanya Danial bertamu, "Kamu ke sini dengan Hanum?” tanyanya cepat.Danial terdiam, pernyataan wanita paruh baya itu langsung menegaskan jika Hanum sed
Bab 21.Sementara itu, di rumah Arlan, udara pagi tidak membawa ketenangan. Viona duduk di meja makan dengan mata panda dan secangkir kopi yang sudah dingin. Arlan belum tidur semalam, mengurung diri di kamar kerja. Setelah kepergian Hanum, sesuatu di dalam dirinya tak lagi tenang.Pintu dibuka dengan kasar. Arlan keluar dengan map di tangan.“Kau ingin aku ceraikan dia? Akan kulakukan. Tapi tidak sekarang.”Viona mendongak cepat. “Apa maksudmu?!”“Dia akan kugugat. Karena menyalahgunakan harta keluarga. Karena berselingkuh. Karena menghina martabat pernikahan.”“Arlan, hentikan. Ini tidak masuk akal.”“Terserah kamu ikut atau tidak. Tapi aku akan pastikan dia tidak menang.”Viona berdiri, bergetar. “Ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal manusia. Kamu masih tega setelah semua yang kau lakukan padanya?”Arlan menatap Viona tajam, dingin. “Kalau dia bisa mencintai Danial setelah tidur dengannya hanya karena perintahku… maka aku tidak lagi merasa punya kewajiban jadi manusia baik.”