Bab 23Pagi itu matahari seperti enggan terbit. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka. Suasana rumah keluarga Hutomo sunyi, tapi bukan sunyi yang damai. Sunyi yang menahan napas, seperti sebelum badai datang.Hanum terbangun di kamar tamu, dengan kepala berat dan mata sembab. Di sebelahnya, Danial masih duduk di kursi, tertidur dengan kepala bersandar ke dinding. Tapi semua ketenangan semu itu sirna saat pintu kamar terbuka keras.“Keluar.”Suara Arlan. Dingin, datar, tapi matanya merah. Entah karena marah, atau tidak tidur semalaman. Atau keduanya.Danial perlahan berdiri, tubuhnya masih lelah, tapi sorot matanya siaga.“Jangan bangunkan semua orang dengan dramamu,” ujarnya datar.Arlan tertawa pendek, getir. “Drama? Kau pikir aku tak tahu apa yang terjadi semalam?”Hanum berdiri pelan. “Kami tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak kuat tidur di kamar itu.”“Bukan tempatnya yang salah, Hanum.” Arlan mendekat, menatap istrinya tajam.
Bab 22.Hari itu hujan turun Danial baru pulang dari kantor. Matanya berat, tubuhnya letih.Namun begitu membuka pintu, ia tahu ada yang salah.Tak ada sepatu Hanum di rak.Danial memanggil-manggil namanya, membuka kamar, memeriksa balkon, bahkan kamar mandi. Tidak ada jejak. Tidak ada catatan. Tidak ada pesan.Panik menyergap seperti gelombang dingin. Ia meraih ponsel, menekan nomor Hanum berkali-kali."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif..."Lutut Danial hampir lemas. Dalam kepalanya terputar kemungkinan terburuk Hanum kabur, Hanum diseret paksa, atau... kembali ke tempat yang tidak seharusnya. Tak berpikir panjang, Danial langsung menyalakan mobil dan meluncur ke satu-satunya tempat yang ia pikir Hanum bisa tuju dengan sisa akal sehatnya rumah orangtuanya.“Kamu? Tumben kamu ke sini?" Ucap ibu Hanum menatap heran karena tidak biasanya Danial bertamu, "Kamu ke sini dengan Hanum?” tanyanya cepat.Danial terdiam, pernyataan wanita paruh baya itu langsung menegaskan jika Hanum sed
Bab 21.Sementara itu, di rumah Arlan, udara pagi tidak membawa ketenangan. Viona duduk di meja makan dengan mata panda dan secangkir kopi yang sudah dingin. Arlan belum tidur semalam, mengurung diri di kamar kerja. Setelah kepergian Hanum, sesuatu di dalam dirinya tak lagi tenang.Pintu dibuka dengan kasar. Arlan keluar dengan map di tangan.“Kau ingin aku ceraikan dia? Akan kulakukan. Tapi tidak sekarang.”Viona mendongak cepat. “Apa maksudmu?!”“Dia akan kugugat. Karena menyalahgunakan harta keluarga. Karena berselingkuh. Karena menghina martabat pernikahan.”“Arlan, hentikan. Ini tidak masuk akal.”“Terserah kamu ikut atau tidak. Tapi aku akan pastikan dia tidak menang.”Viona berdiri, bergetar. “Ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal manusia. Kamu masih tega setelah semua yang kau lakukan padanya?”Arlan menatap Viona tajam, dingin. “Kalau dia bisa mencintai Danial setelah tidur dengannya hanya karena perintahku… maka aku tidak lagi merasa punya kewajiban jadi manusia baik.”
Bab 20.Malam itu hujan turun lagi, lebih deras dari sebelumnya. Danial duduk di sudut ruangan, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat. Hanum sudah tertidur di kamar, atau setidaknya berpura-pura tidur. Tapi ia tahu, perempuan itu sama gelisahnya. Ia mengingat kembali detik-detik dalam lemari itu. Bau rambut Hanum. Hangat napasnya. Sentuhan kulitnya yang lembut. Danial menyesap kopinya yang sudah dingin. Ada rasa bersalah yang menyelinap, tapi juga ada kelegaan. Akhirnya, Hanum tidak lagi dalam cengkeraman Arlan. Sementara itu, di sisi lain kota, Arlan duduk di bar hotel berbintang lima. Gelasnya sudah kosong sejak sepuluh menit lalu, tapi pikirannya terus terisi. Wajah Hanum di kepalanya, berkali-kali. Danial, seperti hantu masa lalu, kini menjadi musuh yang nyata.Ia tahu. Hanum di apartemen itu. Danial tidak pernah bisa berbohong dengan rapi. Ada getar pada mata dan nadanya yang tidak bisa ia sembunyikan. Tapi bukan itu yang membuat dada Arlan terbakar.Bukan karena Hanum
Bab 19.Hujan sudah reda ketika Hanum masuk ke apartemen Danial malam itu. Tubuhnya lelah, basah, dan pikirannya kacau. Tapi setidaknya, untuk sementara, ia merasa aman.Danial membuka pintu tanpa berkata apa-apa. Ia hanya menatap Hanum yang berdiri dengan koper kecil dan wajah sendu. Hanum mengucap terima kasih lirih. Danial mengangguk, membiarkannya masuk.Malam itu mereka tidak banyak bicara. Hanum membersihkan diri dan tidur di kamar tamu, sementara Danial duduk termenung di ruang tengah. Petir sesekali menyambar di luar, seolah menggarisbawahi kekacauan yang baru saja meledak.Pagi harinya, Hanum terbangun oleh aroma kopi dan roti panggang. Ia berjalan keluar, mendapati Danial sedang membaca koran sambil menyeruput kopi. Untuk pertama kalinya, ia melihat pria itu tak memakai masker ketegangan yang biasa dipakai di rumah Arlan.“Kamu tidur nyenyak?” tanya Danial, tanpa menoleh.“Lumayan,” jawab Hanum, duduk perlahan. “Maaf, sudah merepotkanmu.”Danial menatapnya sebentar, lalu men
Bab 18.Sudah hampir seminggu Danial tinggal di rumah itu. Ia tetap menjaga jarak dari Hanum, bersikap dingin dan profesional. Sikapnya kaku, ucapannya terbatas, berbanding terbalik dengan Viona yang seolah menjadi Nyonya di rumah itu, ia terkesan bersikap angkuh dan selalu dengan sengaja memperlihatkan kemesraanya dengan Arlan di hadapan Hanum.Hanum yang masih sering merasa pusing dan hampir jatuh saat hendak mengambil air minum. Danial, yang sedang duduk membaca di ruang tengah, segera bangkit dan menahan tubuhnya."Jangan memaksakan diri," ucap Danial datar, tapi tangannya menopang Hanum dengan mantap.Hanum terkejut. "Aku... cuma mau ambil air. Nggak apa-apa."Tanpa banyak bicara, Danial mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya. “Minum. Lalu duduk. Tekanan darahmu kayaknya turun.”Hanum menurut. Ia menatap Danial, mencoba membaca ekspresi lelaki itu, tapi Danial tetap datar, hanya matanya yang terlihat berbeda ada perhatian di sana yang terbungkus lapisan dingin.Viona mulai