Satu-satunya pria dalam ruangan itu menatap entitas di hadapannya.
Gadis di hadapannya duduk di atas kasur membelakangi pria itu. Rambut hitam legamnya terlihat sedikit kusut dengan poni yang menutupi dahi dan separuh wajahnya dibiarkan panjang tak beraturan. Ia bertubuh kurus, dua kali lipat lebih kurus dari yang terakhir kali pria itu lihat.
Pria itu merasakan tubuhnya menegang saat memandang sosok yang terlihat rapuh di depannya. Butuh waktu selama selama sekian detik baginya sebelum berdehem untuk menemukan suaranya yang terkubur di dasar sana. Gadis itu pasti tahu kalau ada seseorang yang memasuki kamarnya. Baiklah, ini saatnya.
“Hi, Eleanore.”
Gadis itu terlihat tenang. Akankah ia mengenali suara pria itu? Akankah ia menyadarinya? Apa yang harus pria itu lakukan jika ia menyadari siapa yang telah datang? Berbagai pikiran berkecamuk di benak Si Pria.
Pria itu melirik sebuah kursi kayu di dekatnya.
“Boleh aku duduk di sini?”
Akhirnya gadis itu menolehkan kepala ke arahnya. Jantung pria itu terasa jatuh di dasar samudera saat menatapnya. Benar dugaan Si Pria, gadis itu memang Eleanore. Ele yang ia kenal dulu. Gadis cantik yang sangat ia kenal dulu.
Sejujurnya, wajah Ele cukup banyak berbeda. Bahkan sepasang pipi chubby yang menggemaskan itu sudah lenyap. Wajahnya jauh lebih tirus, kantung matanya sangat terlihat jelas, dan matanya...
Sinar yang menghiasi mata indahnya telah sirna. Gadis itu memang memang memandang si pria, layaknya orang yang normal, namun binar itu tak ada. Ia memandangnya dengan tatapan kosong.
Pria yang tengah dilanda shock itu tak bisa lagi melihat mata berbinar yang semula sangat indah. Semuanya telah hilang. Yang ada kini hanya lah pandangan kosong dari gadis berwajah pucat ini.
Sang Pria menggosokkan telapak tangan di celana jins yang ia pakai. Rasa gugup kembali melandanya seketika. Apa yang pertama kali harus ia ucapkan?
“Kau Van?”
Itu dia. Benar itu suaranya. Suara Ele terdengar tenang saat menyebutkan namanya. Sebuah nama panggilan yang tak pernah diketahui olehnya. Nama yang masih ia rahasiakan sampai detik ini.
“Ya,” jawab Si Pria. “Err.. aku mulai bekerja disini hari ini. Aku akan mengurus segala kebutuhanmu.” Dengan tergagap-gagap ia mengucapkannya.
Ele menggerakkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis. Ia meraba-raba sudut ranjangnya. Si Pria yang bernama Van mengikuti pandangannya dan melihat bahwa Ele sedang mencoba meraih sebuah tongkat yang tergantung di sudut tempat tidurnya. Van tanpa ragu langsung berdiri hendak membantunya namun Ele seketika itu juga menepis uluran tangan itu.
“Biar aku bantu.” Van mencoba meraih lagi tangannya namun Ele menepis lagi tangan itu dengan agak kasar. Ele berjalan dengan mantap menuju ke pintu kamarnya.
Benar apa yang Ghani katakan padanya. Tentang hal itu. Tentang Eleanore. Tentang keadaannya saat ini.
Bahwa ia buta.
Van terkesima melihatnya berjalan. Langkah Ele begitu mantap dan tanpa keraguan. Ele mengetukkan tongkatnya ke lantai secara zig zag. Hati Van tiba-tiba saja terasa begitu sakit ketika melihatnya berjalan dengan tongkat seperti itu. Mata Van bahkan terasa sangat panas ketika mendengar Ele berdehem keras.
“Keluar,” ucap Ele dengan santai. Seperti ia sudah sering kali melakukannya. “Aku bisa mengurus semua kebutuhanku. Aku tidak butuh bantuanmu.” Ele memegang gagang pintu kamarnya.
Van memutuskan untuk memberikan waktu untuk menerimanya sebagai perawatnya. Hatinya masih terasa berat saat berjalan keluar dari kamarnya. Van menggeleng kuat. Bukan, hal itu tidak terlalu penting. Ada satu pertanyaan krusial yang harus ia cari jawabannya. Pertanyaan penting yang harus ia pecahkan adalah…
Apa yang sudah ia lakukan pada gadis itu?
Kilas Balik Sebulan yang Lalu
“Tora Van Beurden! Aku tak menyangka kau akan kembali lagi ke sini.”
Ghani menepuk pundak sahabatnya pelan sebelum melemparkan eye smile. Tora Van Beurden, Si Sahabat, bertanya-tanya dalam hati, kenapa di antara banyaknya teman yang ia miliki di sini selalu saja Ghani menjadi orang pertama yang ia tuju? Dasar bantet. Sialnya Si Bantet itu adalah sahabat karibnya. Dari zaman ia masih mengenakan popok dan berkeliaran dengan ingus yang menempel di sudut mulut, Ghani sudah menjadi teman baiknya. Itu lah dia Si-Bantet-Nan-Loyal-Ghani.
“Aku sendiri juga tak menyangka ada di sini.” Tora menyesap wine di gelasnya. Hingar bingar musik di sekelilingnya sedikit memutar ingatan di kepala. Tempat ini bagaikan telapak tangannya sendiri. Ia telah mengenal setiap sudutnya dengan baik. Bahkan setiap bartender yang menyajikan minuman di sekitarnya juga ia kenal semua.
Akan tetapi, sekarang bar ini telah banyak berubah, mulai dari penataan tempat, hiasan, cat tembok, bahkan sajian minumannya sudah banyak yang berbeda. Kursi yang biasa ia duduki di ujung ruangan telah menghilang tergantikan oleh sofa lebar bernuansa gold. Sayang sekali, padahal ia suka aromanya. Mengingatkannya akan kebiasaan buruknya di kala Sekolah Menengah Atas.
Di masa lalu, ia, Ghani, dan kawan-kawannya sering sekali mengunjungi bar ini. Bar ini menjadi pilihan favorit untuk menghabiskan waktu sembari mengisap nikotin, minum, dan melakukan berbagai hal illegal lainnya. Pergaulannya di masa lampau memang melewati batas normal, tapi hal itu lah yang menjadikan masa mudanya begitu berkesan.
Ngomong-ngomong sekolah menengah, sebuah nama terlintas di benak Tora seketika.
“Kau tahu bagaimana kabar gadis itu?”
Ghani langsung menyemburkan tequila yang tengah ia minum persis di depan sahabatnya. Pemuda itu terbatuk-batuk sambil memukuli dadanya yang seketika menjadi panas bak terbakar api. Satu pertanyaan dari Tora sukses membuatnya terkejut.
Di sisi lain, Tora mengumpat kuat. Sial betul kemejanya sedikit basah terkena cipratan minumannya itu. “Sialan, kau! Kenapa nyembur seperti itu?” Tora menepuk-nepuk kemeja hitam kesayangannya ini. Akan ia pastikan Si Bantet itu untuk mencucinya dengan bersih sepulang dari sini.
Ghani terbatuk-batuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan yang membuatnya luar biasa kaget.
“Aku lupa memberitahumu sesuatu.” Ghani meletakkan gelasnya yang telah kosong. “Kau benar-benar akan tercengang mendengarnya, Bro.”
Sosok yang dipanggil Bro itu meminta Mino a.k.a bartender yang sudah sangat ia kenal untuk mengisikan lagi minuman di gelas kosongnya. “Tercengang bagaimana? Dia sudah menikah?”
Ghani memukul kepala sahabatnya dengan cukup keras. “Bukan, Bodoh! Dengarkan aku dulu.” Air muka Ghani berubah. Wajahnya menjadi serius dengan kedua matanya menyipit. Itu adalah pertanda jika ia akan berbicara serius. Pria itu memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada Ghani.
“Eleanore buta.”
Si Pria terkesiap. Ghani mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
Ghani memang tipikal orang yang suka bercanda. setidaknya 9 dari 10 perkataannya biasanya berisi bualan semata. Tora paham betul sifat sahabatnya yang satu itu, namun untuk pertama kalinya semenjak mereka bertemu kembali, raut wajah Ghani tidak tenang. Ia terlihat gelisah saat menatap mata Tora.
“Apa maksudmu Eleanore buta?” tanya Tora.
Ghani berkacak pinggang dan memandangnya dengan sedikit marah. “Buta, Sob. Buta! Dia tidak bisa melihat lagi!”
Tora bersiap untuk meminta penjelasan lebih lanjut lagi dari Ghani sebelum perkataan selanjutnya sukses membuat jantungnya jatuh di dasar sana.
“Dan itu semua karenamu.”
Kilas Balik Selesai
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang