Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
Tora dengan tegas mengatakan jika ia akan pergi.
Bahu Ele terasa lunglai saat mendengar penolakan Tora yang terdengar tanpa ragu itu. Namun ia buru-burumenggeleng cepat. Ia tak ingin usahanya berakhir sia-sia.
“Sebentar saja, Tor. Sebentar saja, please. Ikut lah denganku ke rumah sakit. Ibuku benar-benar ingin bertemu denganmu,” pintanya memelas.
Tora baru saja akan menjawab permintaan Ele sebelum kemunculan mendadak papa, mama, Farel, dan Rianti di ambang pintu menghentikan laju bibirnya yang telah terbuka setengah. Mereka sudah membawakan koper Tora dan koper mereka masing-masing. Keempatnya menatap bingung pada sosok kacau dengan rambut berantakan di hadapan anak bungsunya itu.
“Siapa dia Tor?”
“Mama kira Irene yang datang.”
“Ele?” panggil Farel hati-hati.
Ele mengabaikan fakta bahwa lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Tora itu mengenalin
“Tora…” Sosok yang dipanggil dengan suara ragu-ragu itu menoleh. Ia memandang sahabatnya, Ghani, yang berdiri dengan kikuk di sebelahnya. Tinggi mereka yang berbeda jauh membuat keduanya terlihat begitu jomplang. Tora Van Beurden terlihat tinggi menjulang dengan postur tegap. Tubuh gagahnya membuat ia terlihat mengintimidasi kawan karibnya. Terlebih dengan blazer hitam yang membalut kaus putih beserta celana bahan linen yang ia kenakan membuat penampilannya dua kali lipat lebih mempesona dari pada Ghani. Sementara itu, Ghani yang mengenakan jaket bomber dan celana jins cenderung terlihat cukup mini jika disandingkan dengan sahabatnya. “Aku tidak yakin ini ide yang baik. Masih ada waktu buatku kabur sebelum Ele mendengar suaraku.” Van tertawa pelan. “Ayo lah, Bro. Kau bilang merasa bersalah? Katanya ingin minta maaf dengan Ele karena dulu sempat memojokannya? Sekarang saatnya. Kau mungkin belum perlu mengucap maaf langsung, tapi bersikap baik padanya sudah lum
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu“Tidak.”Seorang wanita berkata dengan tegas sambil menandatangani surat dari pihak rumah sakit. Ia menyerahkan surat itu dan menatap tubuh berlumuran darah yang tengah berada dalam ruang operasi. Wanita itu menatap cemas di balik kaca.“Saya hanya kebetulan ada di tempat kejadian. Karena rumah saya dekat, saya langsung ambil mobil dan membawanya ke rumah sakit. Saya tidak mengenal korban, Sus.”Setelah suster itu menerima surat yang telah ditandatangani oleh Si Wanita, suster itu segera beranjak menuju ke bagian administrasi. Sementara itu, Si Wanita yang terlihat luar biasa bingung kembali menekan nomor yang sedari tadi sulit ia hubungi. Baru lah ketika pada panggilan keempat, panggilan itu diangkat oleh sosok yang sedari tadi ia cari-cari.“Sayang, kau sudah tiba di bandara?”Si Pria di seberang sana menjawabnya dengan suara ter
Mampu kah Ele melanjutkan jawabannya yang menggantung?Jawabannya adalah mampu. Ele terpaksa melanjutkan jawaban singkatnya karena Van mendesak Ele. Van memintanya untuk lebih kooperatif dalam komunikasi yang coba ia jalin. Kendati butuh waktu yang sedikit lebih lama, Ele akhirnya berani menjelaskan lebih lanjut maksud ‘tidak’ yang tadi ia katakan pada Van.“Tidak. Sebenarnya aku hanya kaget. Sudah lama sekali aku tak pernah sedekat ini dengan siapa pun. Menyadari kalau kau tidur bersamaku semalam ... membuatku terkejut,” terang Ele dengan suara lirih.“Kau tahu kalau aku tidak bermaksud macam-macam denganmu, ‘kan? Aku menghargaimu, Ele. Aku bersumpah tak akan berbuat yang tidak-tidak tapi memang semalam kau tidak melepaskanku sama sekali. Aku—”“I know,” sahut Ele masih dengan suara pelan. Tangannya yang tak digenggam Van ia kepalkan dengan cukup erat. Ia lalu menjelaskan penuturannya. “Se
Ada kalanya Ele benci setengah mati pada hidupnya.Sejak netranya tak bisa melihat, ia selalu meminta pada Tuhan untuk mengakhiri nyawanya saja. Ia merasa sendirian di dunia ini. Kendati orang tuanya masih ada, hidup Ele tetap terasa sepi tanpa warna. Sejak ibu dan kakaknya pergi, Ele menghabiskan bertahun-tahunnya dalam kesendirian yang menyiksa. Ia belajar mengeraskan hati dan percaya bahwa dunia sangat kejam padanya. Padahal ia telah berteriak kencang meminta pertolongan namun tak ada seorang pun yang mau mengulurkan tangannya.Ia belajar bahwa sudah sepantasnya menjaga hatinya tetap tertutup rapat adalah kunci ketenangan batin. Ia bisa bertahan hingga sekarang karena kerasnya hati yang ia ciptakan. Ia terbiasa membenci manusia tanpa melihat kebaikan-kebaikan yang orang lain coba berikan padanya. Terkadang kebencian itu malah membuatnya tampak seperti sosok antagonis dalam ceritanya sendiri.Percaya pada orang lain adalah petaka. Ia telah membuktikannya di ma
Setelah satu sesi pengakuan perasaan secara mendalam di ruang baca, Van kemudian mengajak Ele untuk keluar dari sana. Ia mengatakan pada gadis itu bahwa hari ini ia punya rencana untuk bersenang-senang. Ia mengajak rekannya juga Yuna yang beberapa hari ini absen dari rumah. Pada awalnya Ele sedikit ragu-ragu saat tahu jika teman perawatnya itu akan datang. Ia tidak terbiasa dengan kehadiran orang asing di dekatnya. Akan tetapi, Van berkali-kali meyakinkan jika temannya itu adalah sosok yang pandai berbaur dan menyenangkan. Mungkin saja Ele bisa terhibur olehnya. Saat Ele dan Van berdiri di puncak tangga, suara bel terdengar tidak berapa lama. Salah satu asisten rumah tangga Ele bergegas menuju pintu dan membukakan pintu. Dua orang yang telah janjian dengan Van masuk dengan membawa dua kotak pizza dan dua botol soda. Yuna langsung bersorak riang memanggil nama Ele yang disambut dengan senyum simpul dari sosok yang dipanggilnya. “Kiano!” teriak Van di sebelah E
Kilas Balik Satu Minggu yang LaluDini hari, pukul dua belas lebih tiga puluh menit, Van masih berkutik dengan laptopnya tanpa jeda.Eleanore sudah tertidur sejak tiga jam yang lalu. Ia memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau gadis itu benar-benar terlelap dengan keadaan yang nyaman dan hangat. Setelah membaca buku selama enam puluh menit dan minum obat, Ele tertidur begitu saja tanpa kesulitan. Sejujurnya, obat yang diresepkan dokter lah yang membuat Ele mudah mengantuk. Jika tanpa obat tersebut mungkin Ele masih segar bahkan setelah melebihi waktu dini hari.Karena hal tersebut, Van dapat merasa lega sementara. Setidaknya dengan Ele tidur lebih awal membuat dirinya bisa menyelesaikan pekerjaannya. Ia juga mampu melakukan ‘PR’nya yang lain yang dengan hati-hati ia lakukan. Seperti halnya saat ini dimana ia tengah menghubungi sekretaris pribadinya untuk meminta tolong di luar pekerjaan.&ldqu
Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan
Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu