“Akira sayang ... Bibi merasa jika kau sudah lama tidak pulang ke rumahmu, Nak.”
Akira terkekeh kecil, membiarkan paras cantiknya terangkum dalam kedua telapak tangan Nyonya Erdem. Ia merasakan kehangatan saat bibir wanita itu menempel di keningnya. Penuh kasih sayang.
“Ayo, masuklah, Nak.”
Can mengulum senyum dan mengikuti keduanya masuk ke dalam rumah Akira. Rumah dari mendiang Keluarga Muammer, orangtua Akira yang dijaga—dirawat—oleh Paman dan Bibi Akira.
Nyonya Erdem adalah Adik dari mendiang Tuan Muammer. Wanita itu pun tidak dikaruniai seorang anak, bahkan diusianya yang akan mendekati usia lima puluh tahun. Jadi, sebagai gantinya, wanita itu merawat sepenuh hatinya pada Akira Muammer.
“Jadi, kalian akan berpindah ke mari sementara waktu?” tanyanya melihat tas jinjing yang dibawa Can, diletakkannya di atas sofa.
“Tidak, Bibi,” sahut Akira menoleh pada wanita yang m
Ayse membeliak dengan napas tercekat, mendapati Can sudah duduk di sofa dengan pandangan lurus ke arah teve menyala. Pria itu menoleh datar, tidak seperti biasanya dan membuat Ayse merasakan dadanya bergemuruh cepat.“Dari mana saja?” tanyanya beranjak berdiri.“Nyaris sepuluh kali aku meneleponmu dan tidak ada satupun balasan yang kuterima. Ini hari libur, bukan?”Ayse mengangguk ragu, lalu berjalan mendekati Can setelah menutup pintu. “Can ... Aku baru pulang dari minimarket,” lirihnya dengan takut menunjukkan kantung berisi belanjaan.Sebelah alis pria itu terangkat. “Ponselmu akan mengusik aktifitasmu jika kau memang menghidupkannya, Ayse.”Ayse tertegun. “Aku ... Mematikan suara ponsel dan sengaja melakukannya.”Can sedikit kaget, tapi ia berusaha mengendalikannya. “Ada apa? Apa hubungan ini membuatmu lelah, Ayse?”Perempuan itu tersinggung dan menatap tajam Ca
“Kenapa akhir-akhir ini Can suka sekali untuk membawa baju ganti?” gumam Akira mengulum senyum.Ia mendengkus pelan melihat helaian dari lengan panjang kemeja itu keluar dari keranjang berisi pakaian kotor.Setelah sampai di rumah, Can segera masuk ke kamar dan mendapati Akira tengah melakukan telepon bersama temannya. Ia hanya memberikan senyuman manis sebagai kode dan langsung menuju kamar mandi setelah menaruh asal pakaian kotornya.Perempuan itu terdiam saat tidak jadi memasukkan utuh pakaian tersebut. Ia melihat bekas tepung terigu bersarang di bagian dada dan sedikit area lengan bawah, tepat di pergelangan tangan kemeja marun Can.Ia berdiri, mencoba merapikan dan menelisik jika kemeja itu memang kotor. “Apa yang dilakukan Can?”Tatapannya beralih ke arah pintu kamar mandi yang belum menampilkan Can.Dadanya bergemuruh kuat, merasakan sesuatu yang aneh karena memang sejak bebe
The Gritti Palace.Manik coklat Akira berbinar, melihat keindahan kanal di Venice dan bangunan megah, menakjubkan lainnya. Ia berdiri di arah balkon dari ruang tengah. Perasaannya menghangat sekaligus berlibur untuk menyenangkan hatinya.“Bagaimana view dari sini?” Can berdiri di samping Akira, ikut mendapati pemandangan dari Kanal Besar.Akira menoleh, menyunggingkan senyum manisnya dan mengangguk semangat. “Ini sangat indah sejak awal kedatangan kita, Can. Para staf yang menyambut, lalu interior yang begitu menakjubkan. Penginapan mewah dan berkelas ini sangat membuatku puas.”Can terkekeh pelan. “Kita baru sampai di sini dan kau sudah merasa puas di saat kita belum menjelajah secara keseluruhan?”Perempuan dewasa itu bersemu. “Setidaknya, aku selalu percaya apa yang kau pilihkan akan tetap membuatku merasa bahagia.”Can menerima dekapan Akira. Ia mencium puncak kepala perempuan i
Seharusnya di saat Can menaiki Gondola, ia bisa merasakan atmosfer yang sangat menyejukkan hatinya. Menyusuri kanal-kanal di bagian kota dari Venice, lalu melewati Grand Canal juga Rialto Bridge dengan perahu air berkapasitas maksimal enam orang. Ia memilih menuruti Akira untuk hanya mereka berdua saja yang memesan.Perempuan itu mengatakan ingin menyusuri kanal tanpa ada orang lain yang ikut bersama mereka.Can mengembuskan napas panjang.Ayse dari batas pinggiran kanal melihat dirinya dan Akira yang menaiki perahu. Can tahu, jika Ayse akan memilih kembali ke unitnya yang sebenarnya berada di lantai sama seperti Can. Perempuan itu hanya mengambil unit yang berada paling ujung. Cukup jauh dari unit yang ditempati Can.Seandainya perempuan yang berada di sampingnya adalah Ayse, ia akan jauh lebih bahagia.“Can! Foto kita yang aku upload di sosial media cukup banyak mendapatkan respons publik!” seruny
Bunyi bel menginterupsi sentuhan bibir Akira yang akan kembali melumat bibir Can. Keduanya saling berpandangan dan dalam hatinya, Can mendapatkan sedikit oksigen. Waktu yang tepat, pikirnya.“Siapa yang bertamu malam-malam?” tanya Akira, berada di atas tubuh Can, mengurung pria itu dengan memakai handuk pendek berwarna putihnya.Ia tidak mampu lagi mengendalikan hasratnya. Kedatangan mereka untuk bulan madu, bukan? Lalu, di saat ia sudah cukup menahan diri, tidak pernah disentuh lebih jauh selain malam kali pertama mereka melebur, Akira merindukan sentuhan Can.Akira ingin dimiliki kembali pria itu dan ketika Can lengah ... terbaring di atas ranjang sambil memainkan ponsel, ia langsung merangsang dengan sentuhan kecil dan bermain cukup lama di bibir tipis suaminya.Can tertawa kecil, memecahkan kebingungan Akira sekaligus detak jantung pria itu yang memburu. Akira sangat pandai mengambil kesempatan dan jika saja ia
Bisakah Akira mengumpati hari ini? Hanya tiga hari mereka menikmati bulan madu atau bisa disebut sebagai liburan. Ya. Tidak ada hubungan intim yang terjalin di antara ia bersama suaminya, tiga hari belakang.Selalu saja ada hal—urgent—yang terjadi di unit mereka atau bagaimana bagian layanan kebersihan datang. Orang yang datang berbeda. Terakhir, seorang pria yang datang dan jika dipikir, kenapa mereka datang tepat di saat Akira ingin memadu kasih bersama suaminya?“Kita harus pulang sekarang juga?” tanya perempuan itu menatap lemah Can yang sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper.Pria itu membiarkan Akira duduk di sisi ranjang dan tidak terlalu menggubris sorot lain manik coklat itu.“Salah satu staf keungangan nyaris membuat kerugian besar dan aku harus turut andil menindaklanjuti juga memperbaiki beberapa hal. Itu bukan perkara mudah,” jelasnya.“Menurutmu bulan madu kita tidak penting di band
“Aku tidak tau jika kau memutuskan untuk pulang lebih cepat.”Bahkan, Ayse pun tidak mendapatkan pemberitahuan lebih dulu mengenai keputusan Can.Ia duduk tenang di single sofa, memerhatikan Can yang berbaring di sofa panjang, meluruskan kaki dengan menumpukan lengan kirinya di atas kepala, menutup matanya di sana. Sudah dua menit berlalu, tapi pria itu seolah mengembalikan pikiran jernihnya.“Can?” panggil Ayse.“Apa aku harus menceraikan Akira?”Pertanyaan itu sukses membuat bibir Ayse terbuka. Manik hazelnya membeliak, tidak mendapati Can menurunkan lengannya supaya keduanya bisa bersitatap dan memahami respons raut muka masing-masing.Napas perempuan itu tercekat. Ia mengerjap berulang kali, meyakinkan jika ucapan Can bukanlah sebuah angin lalu. “Kau membual, Can? Ini tidak lucu sama sekali,” cetusnya dengan intonasi sedikit tinggi, tampak serius dan merasa tidak nyaman dengan p
Can menutup pintu Range Rover, lalu menatap ke arah rumah mewah Keluarga Muammer. Ada sebersit ragu untuk datang ke rumah ini, terlebih Akira sedang tidak baik.“Aku akan mencoba terlebih dulu,” putusnya segera menaiki anak tangga ke pintu utama rumah Akira.Di dalam pelayan sudah menyambut kedatangannya, membantu melepaskan mantel milik Can. Tiba-tiba, suara yang familier tertangkap oleh indera pendengarannya.“Can?!”Pria itu menoleh ke lantai atas, melihat Akira menyunggingkan senyum manis. Di belakangnya, Nyonya Erdem mengulas senyum hangat dan membiarkan Keponakannya menuruni anak tangga. Ia berusaha memperlambat langkah kakinya ketika Nyonya Erdem memperingati Akira takut terjatuh.“Can ...”Tubuhnya tidak bergerak sama sekali ketika Akira sudah mendekapnya erat. Ia diam. Membiarkan Akira menangis kecil dan berucap bergetar, “Maafkan aku yang terlalu egois, Can ...”