Renata berjalan cepat menuju kamarnya. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Dulu ia mengira hal indah akan terjadi jika ia dapat mengenal seniornya itu. Ternyata semua salah besar, melihat sikapnya tadi saja membuatnya begitu kesal. Rasanya ia menyesali karena selama ini telah mengagumi orang yang salah.
"Yang benar saja, kenapa aku sebodoh ini..." rutuknya kesal.
Flashback
Seorang pria terlihat berjalan cepat lalu berdiri tepat di hadapan renata. Renata begitu terkejut hingga menghentikan langkahnya. Matanya membulat sempurna saat melihat pria tersebut.
"Kau mau jadi kekasihku?" Ucap pria itu tanpa basa - basi.
Renata hanya bisa mematung mendengar ucapan pria di hadapannya ini. Ia kebingungan dengan situasinya saat ini. Ia terdiam sambil menatapnya. Bagaimana caranya pria yang tidak mengenalnya atau bahkan mungkin tidak mengetahui namanya saja, tiba-tiba memintanya untuk menjadi kekasihnya.
"Apakah ini nyata?" Gumamnya dalam hati.
Renata menatapnya lagi seakan tidak percaya. Dalam hati ia kembali bertanya. Bagaimana bisa pria berhati es ini dapat menyadari perasaannya. Memang sudah sejak lama ia diam-diam mengagumi seniornya ini. Tapi seingatnya ia tidak pernah memperlihatkan perasaannya. Bahkan ini untuk pertama kalinya mereka berbicara.
"Kau menyukaiku?" pipi Renata merona mendengar pertanyaan pria itu.
"I- Itu.. " seketika Renata jadi gugup. Ia seakan tidak bisa berkata-kata.
"Mimpi indah macam apa ini, Ya Tuhan tolong jangan bangunkan aku?"
"Sepertinya kau tidak menyukaiku, ya sudahlah." Ucapnya tiba-tiba nembuat renata menatap kaget. Ia terlihat membalikan badannya dan hendak melangkah pergi.
"Nata, hal bodoh apa yang kau lakukan. Cepat jawaban YA sebelum ia benar-benar pergi." Rutuknya pada dirinya sendiri.
"Tunggu senior." panggil Renata cepat membuat pria itu berhenti dan menoleh padanya."Aku.. menyukaimu." jawaban pelan Renata membuat pria itu kembali menghampirinya.
"Aku menyukaimu, senior." Renata kembali mempertegas ucapannya. Pria itu terlihat tersenyum.
"Jadi kau mau menjadi kekasihku?" Renata mengangguk pelan dan tersenyum tersipu.
"Walaupun hanya satu hari?" Lanjutnya datar.
"Hah.." Seketika senyuman di wajah Renata hilang. Renata serasa mendapat tamparan keras mendengar ucapan pria tersebut.
"Hah.. apa maksudnya ini. Apa dia ingin mempermainkanku." gumam Renata sambil menatap sinis padanya.
Pria itu masih terdiam menunggu jawaban dari Renata hingga tak lama ponselnya pun berdering. Ia meliriknya sesaat.
"Baiklah. Besok jam 9, aku akan menjemputmu di sini!" Ucapnya tegas dan tergesa-gesa. Lalu ia terlihat sibuk dengan ponselnya sambil berlalu pergi.
Renata masih terkejut dengan situasi yang ada hingga ia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap pria itu yang mulai berjalan menjauh. Sesaat ia memalingkan wajahnya lalu membuang nafas kasar.
"HEI.." Teriaknya kencang membuat orang di sekitar menatap ke arahnya. "Apa-apaan ini. Apa maksudnya tadi, kekasih sehari? Apa dia ingin mempermainkanku. Hah, Reynand andrean! KAMU PIKIR SIAPA DIRIMU?" Renata kembali berteriak kesal tapi sayang orang yang dimaksud sudah menghilang pergi.
Flashback off.
.
"Dulu aku kira sikap dinginnya itu membuatnya terlihat keren. Tapi sekarang aku tahu, dia itu sangat MENYEBAL.KA...N !" Ucapnya kesal sambil melempar tasnya ke atas kasur.
Bruuugh
"A-aww..." Renata berhenti teriak saat mendengar suara mengaduh di balik selimut.
"Arnand." panggil Renata saat melihat kepala pria itu menyembul di balik selimut.
"Kenapa berisik sekali, teriakanmu mengganggu tidurku!" Ucapnya sambil menendang tas renata hingga buku di dalamnya berjatuhan.
"Hei-hei.. arnan, apa yang kau lakukan. Lihat bukuku jadi berantakan?" protes Renata sambil memunguti bukunya.
"Kau hanya peduli bukumu, kau tidak tahu betapa sakitnya buku itu saat jatuh di tubuhku tadi." ucap Arnand bangkit dan terduduk menatap kesal pada renata. Renata tersenyum melirik buku-buku yang cukup tebal ini.
"He..he.. maaf. Tapi apa yang kau lakukan, kau tidak kuliah lagi?" tanya Renata sambil menyimpan tasnya di atas nakas.
"Iya cuma hari ini saja?" Jawabnya santai lalu kembali membaringkan tubuhnya.
"Bagaimana dengan kemarin?"
"Iya dua hari."
"kemudian lusa, sabtu dan senin lalu?" ucap Renata detail sambil membuka jaketnya.
"Nata kenapa kau cerewet sekali seperti ibuku. Kalau begini bagaimana aku bisa tidur?" ucap Arnand kesal sambil menatap Renata yang mematung di tempatnya.
"Kau seharusnya bersyukur masih mempunyai seorang ibu. Ia sangat menyayangimu dan peduli padamu. Kau tidak usah bersusah payah bekerja untuk bisa berkuliah dan bertahan hidup. Kau hanya perlu menjadi anak baik saja arnand?" jelas Renata pelan diakhiri dengan senyuman lirih.
Arnand terdiam sesaat, ia menyadari ucapannya menyinggung Renata.
"Ya, iya besok aku akan kuliah. Tapi sekarang biarkan aku tidur! " Ucapnya lalu kembali membaringkan tubuhnya. Ia sedikit mengintip dan ternyata Renata berjalan memasuki kamar mandi.
Tak berapa lama Renata sudah kembali dan telah berganti pakaian dengan seragam kerjanya. Ia menghampiri Arnand dan menepuk pelan pundaknya.
"Aku pergi sekarang, kalau kau pulang rapikan kembali tempat tidurku."
"Hm.."
Renata meraih tas dan jaketnya lalu beranjak pergi.
"Nanti jangan suruh aku untuk menjemputmu?" sambung Arnand masih dalam keadaan terbaring.
"Ya baiklah. Jangan jemput aku tapi sebaiknya kamu pulanglah dan temui ibumu?"
"Hmm.."
"Dah, aku pergi."
.
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Sudah hampir setengah jam Renata berteduh di halte bus. Ia menadahkan tangannya sambil menatap langit. Sepertinya hujan tak akan kunjung reda. Ia melirik jam tangannya.
"Sudah hampir jam 3, aku pasti terlambat!" Ucapnya cemas."Sepertinya aku bisa berlari." Ucapnya lagi lalu menutupi kepalanya dengan hoodie jaketnya dan mulai berlari.
Tak berapa lama Renata terlihat berjalan cepat memasuki sebuah cafe. Ia mendekati seorang pria yang sedari tadi memperhatikan kedatangannya.
"Maaf Mr. Liem saya terlambat, saya terjebak hujan.."
"Ya saya tahu, kamu terlihat basah kuyup." Jawabnya sedikit kesal sambil menatap Renata.
"Kau tahu payung?"
"Ya maafkan saya Mr. lain kali saya akan bawa." ucap Renata menyesal.
"Ya sudah, cepat ke ruang ganti dan mulai bekerja." Tanggapnya dengan nada tegas.
"Ya terima kasih Mr.Liem."
Renata segera berlari kecil menuju ruang ganti. Ia membuka lokernya. Seingatnya ia menyimpan seragam kerja lainnya di sini.
"Ini dia.." Ucapnya lalu bergegas mengganti pakaiannya.
"Kau lihat dia terlambat dan tidak dapat omelan apapun dari Mr. Liem?" Renata berhenti mengancingkan kemejanya saat mendengar ada orang yang tengah berbincang.
"Ya.. rasanya aku makin muak melihat kelakuannya. Bisa-bisanya dia bersikap seenaknya seperti itu." Timpa satunya.
Renata kembali mengancingkan kemejanya. Ia sudah tahu siapa orang tengah berbincang itu. Dan ia sangat tahu orang yang tengah mereka perbincangkan itu adalah dirinya.
"Dia hanya pekerja part time, tapi mengapa dia harus mendapat perlakuan spesial!"
"Nata mana?" Kedua orang yang tengah berbincang tersebut terlihat kaget dengan kehadiran Mr. Liem di sana.
"Ah- renata, sepertinya tidak ada di sini. kami..?"
"Ya Mr.Liem ada apa?" potong Renata cepat, ia pun muncul dan berjalan mendekati pintu keluar. Benar dugaannya, orang yang tengah membicarakannya adalah Mina dan Yolanda salah seorang kasir dan karyawan di tempatnya bekerja.
"Sudah waktunya over shift?"
"Baik Mr." Renata pun segera bergegas keluar. Saat melewat jelas ia melihat wajah kaget dari Mina dan Yolanda.
"Bagaimana ini, kamu lihat nata ada di sana. Dia pasti mendengar percakapan kita?" ucap Mina khawatir.
"Heh, baguslah! Biar dia bisa menyadari sikapnya yang menyebalkan itu." jawab Yolanda kesal lalu pergi meninggalkan Mina.
.
"Terima kasih." Ucapku sambil memberikan struck dan kembalian pada seorang pelanggan. Pelanggan itu hanya menggangguk dan tersenyum lalu berlalu sesudah mengambil kembaliannya.
Malam ini cafe terlihat begitu ramai. Seseaat aku teringat ucapan Yolanda dan Mina di ruang ganti tadi sore. Aku tidak mengerti mengapa mereka tidak menyukaiku. Aku bahkan tidak pernah mengganggu atau mengusik mereka.
"Heh renata, antarkan ini ke meja 5?"
"Hah.." Aku menoleh cepat, teriakannya tadi benar-benar membuyarkan lamunanku.
Yolanda menyodorkan senampan makanan padaku dan aku masih menatap tidak mengerti.
"Kau tuli, cepet antarkan ini!" Bentaknya kesal. Aku segera menghampiri, meraih nampan di tangannya lalu segera mengantakan pesanan tersebut.
"Silahkan." Ucapku sambil menata pesanan di atas meja.
"Terima kasih."
"Ya selamat menikmati." Jawabku ramah lalu membalikan tubuhku.
Aku terkejut melihat Mr. Liem berada di meja kasir dan tengah menatap ke arahku. Aku menyerngit cemas dan dengan cepat berjalan kembali menuju meja kasir.
"Maafkan saya Mr." Ucapku pelan. Ia hanya menatap datar. Tiba-tiba saja Yolanda muncul dan merebut nampan di tanganku.
"Nata, kenapa kau memaksa untuk membantuku. Kau lihat meja kasirmu jadi kosong!" Ucapnya seakan mengingatkanku.
Aku benar-benar terkejut mendengar ucapannya, ternyata ia selicik itu. Yolanda tersenyum singkat lalu berlalu menuju dapur. Mr. Liem terlihat terdiam kesal menatapku.
"Nata ingat ucapan saya seramai apapun cafe jangan pernah biarkan meja kasir kosong, kamu mengerti!" Tegurnya keras.
"Ya Mr. maafkan saya." Jawabku tertunduk menyadari kesalahanku.
"Ya sudah. Kembali bekerja." Aku hanya bisa memanggut patuh.
Tak terasa jam kerja Renata telah usai. Tepat pukul 10.00 malam para karyawan cafe terlihat berhamburan keluar. Beberapa di antaranya terlihat langsung pulang dengan kendaraannya ataupun karena sudah di jemput.
Sementara itu Renata terlihat berjalan pelan menyusuri trotoar. Ia hanya melihat beberapa taksi yang berlalu lalang. Ia tidak mungkin pulang dengan salah satu taksi tersebut karena ia tahu biaya cukup mahal mungkin yang harus di bayarnya. Ia lebih memilih berjalan menuju halte bus.
"Seharusnya masih ada bus terakhir." Gumamnya sambil terus berjalan. Dan tiba-tiba saja sebuah motor sport terlihat berhenti di sampingnya.
"Hai nata, bagaimana kalo aku mengantarmu?" Renata menoleh kaget melihat Gio salah satu rekan kerjanya menawari tumpangan untuk pulang. Renata terlihat ragu lalu melirik jam di tangannya.
"Tidak usah gio, aku masih bisa naik bus terakhir. Terima kasih.. " Renata tersenyum dan kembali berjalan.
"Butuh tumpangan!"
"Tidak, aku bilang- ARNAND!" Renata menoleh dan terperanjat kaget. Ia mengira Gio yang mengejarnya ternyata itu Arnand, seketika ia pun tersenyum.
"Ya ini aku, tidak usah berteriak seperti itu?"
"Maaf." ucap Renata menutup mulutnya sesaat.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Renata polos.
"Ah.. jadi kamu tidak mau aku disini, baiklah?" jawab Arnand tersinggung lalu mulai menjalankan motornya sengaja melewati Renata.
"HEI ARNAN TUNGGU.." teriakan Renata berhasil membuat Arnand berhenti dan menoleh. Renata mendelik kesal lalu berjalan cepat mendekatinya.
"Kenapa kau ingin meninggalkanku?"
"Kau yang mengusirku?"
"Kapan?"
"Tadi pertanyaanmu, sedang apa kamu di sini?" ucap Arnand mengulangi pertanyaan Renata dengan nada mengejek.
Brugh. Brugh
Renata memukul Arnand dengan tasnya membuatnya mengaduh kesakitan.
"Aw- kenapa kamu memukulku?"
"Karena kauu bodoh." jawab Renata santai lalu terduduk di bangku belakang motor Arnand.
"Berhenti mengataiku seperti itu." gerutu Arnand kesal sambil memberikan sebuah helm untuk Renata pakai."Apa yang kamu simpan di tasmu itu?"
"Kenapa?" Renata balik bertanya sambil melirik isi tasnya.
"Saat kamu memukulku tadi rasanya seperti tertimpa sebongkah batu!" protes Arnand sambil mengelus-elus helmnya.
"Hanya sebuah buku." Renata pun mengeluar buku yang tebal tersebut dan memukulkannya lagi ke helm Arnand sambil tersenyum.
"Nata berhenti, itu sakit?" jerit Arnand kesal sambil menoleh kesal ke arah Renata.
"Benarkah?" tanya Renata lalu kembali menyimpan bukunya.
"Ish.. dasar kau ini!" keluh Arnand lalu mulai menjalankan sepeda motornya.
"Kau sudah menemui ibumu?"
"APA?" teriak Arnand tidak mendengar pertanyaan Renata dengan jelas.
"Ish.. APA KAMU SUDAH MENEMUI IBUMU?" teriak Renata tepat di samping telinga Arnand.
"Kenapa harus berteriak, aku tidak tuli?"
"Oh, aku kira selain bodoh kamu juga tuli. he..he.."
"Kau terus saja mengejekku. Kau pikir aku ini apa hah?"
"Kau itu sahabat terbaikku. Arnand!" jawab Renata manja sambil melingkarkan tangannya di perut Arnand.
"Singkirkan tanganmu, itu menggelikan!" tepis Arnand ketus.
"Kau benar-benar marah, maaf!" ucap Renata bersikap manis sambil berpura-pura menyesal. Arnand tersenyum singkat melirik wajah Renata melalui spion motornya.
"Ya sudah jangan ulangi lagi!"
"Ya.Ya."
Bagi renata Arnand adalah sahabat yang berharga untuknya. Mereka sudah saling mengenal semenjak kecil. Walaupun banyak sekali perbedaan di antara mereka, namun hal itu tidak mengurangi ikatan persahabatan mereka. Bagi renata, Arnand bukan hanya sekedar sahabat. Arnand selalu ada untuknya menjadi sosok-sosok yang selalu tiada di hidupnya.
Renata mungkin kurang beruntung, ia lahir dan tumbuh di keluarga yang sederhana dan di besarkan oleh seorang ibu karena ayahnya telah meninggal saat ia kecil. Namun 3 tahun yang lalu atau tepatnya saat ia berumur 17 tahun ibunya menjadi korban tabrak lari dan meninggalkannya untuk selamanya.
Semenjak itu Renata menjalani hidup sebatang kara. Ia menempati rumah kecil peninggalan orangtuanya. Ia memiliki keluarga jauh namun mereka tidak pernah memperdulikannya. Itu karena pernikahan orangtua Renata yang menimbulkan konflik di antara dua belah pihak. Ibu renata berasal dari kalangan berada berbeda dengan ayahnya. Renata tidak pernah mengeluh dan berusaha hidup mandiri walaupun seorang diri.
Arnand berasal dari keluarga berada. Ia selalu meminta Renata untuk tinggal bersama keluarganya. Ia tidak tega melihat Renata seorang diri. Namun renata selalu menolaknya. Ia ingin hidup mandiri dan tidak ingin tergantung pada siapapun.
"Sudah sampai." Renata turun dan membuka helmnya lalu menyodorkannya pada Arnand.
"Terima kasih untuk tumpangannya."
"Hanya terima kasih?" jawab Arnand sambil menyimpan helm tersebut.
"Ya, lalu kamu mau apa?"
"Traktir aku makan di restoran mewah."
Brughh
Untuk kesekian kalinya Renata memukul Arnand dengan tasnya.
"Aduhh.."
"Hei kau tahu, itu namanya perampokan. Kau ingin memerasku?" ucap Renata kaget.
"Ah- anggap saja itu hadiah ulang tahun untukku." jawab Arnand tidak mau kalah.
"Yang benar saja?" dengus Renata kesal.
"Sudah.. Pokoknya besok malam aku tunggu di restoran favoriteku jam 7. Bye." jelas Arnand lalu meninggalkan Renata.
"HEI ARNAN KAU SUDAH GILA!" teriak Renata makin kesal. Tapi arnan tidak mendengarnya karena sudah melaju pergi.
Renata malah mendapat tatapan-tatapan aneh dari orang sekitarnya. Renata hanya bisa tersenyum dan bergegas memasuki rumahnya.
.
Keesokan harinya.
Sebuah mobil terlihat terparkir di samping gerbang kampus. Di sana terlihat seorang pria yang tengah termenung di depan kemudinya.
"Aku sudah gila!" Gumamnya untuk kesekian kalinya.
Ia teringat kejadian kemarin saat tiba-tiba menghampiri seorang gadis yang tidak dikenal dan memintanya untuk menjadi kekasih seharinya. Ia tahu ini tidak benar tapi kini ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang pasti ia hanya butuh seorang gadis untuk pergi menemuinya.
Pria itu memincingkan matanya mengamati seorang gadis yang baru saja lewat di depan mobilnya.
"Gadis itu?" Ucapnya. Lalu ia pun turun dan bergegas menghampirinya.
"Hei, kenapa kau terlambat?" Ucapnya sambil menghadang langkah gadis itu.
"Awas. Kau menghalangiku?" Kelaknya lalu menghindar meninggalkan pria tersebut. Pria itu menatap bingung lalu berjalan dan mencekal lengan gadis tersebut.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini?" Ucapnya datar dan terlihat kesal.
"Aku tidak pernah memintamu melakukan itu, kau pikir aku ini siapa?"
"Kau itu kekasihku, kekasih.sehariku?" Ucapnya sengaja menekan kalimat terakhirnya.
"Tidak, lepas!" Gadis itu segera menepis tangan pria itu saat ia ingin meraih tangannya. Namun Pria itu kembali menarik tangan dan mencekalnya dengan kuat.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Tanya gadis tersebut sambil berontak dan mencoba melepaskan diri. Namun tenaganya kalah dengan pria tersebut.
"Maaf, tapi kau harus ikut denganku?" Ucap pria tersebut setengah memaksa. Ia menarik gadis itu dan menggiringnya memasuki mobilnya.
"HEI.. lepaskan, ini namanya penculikan!" Teriak gadis itu.
"Lepaskan.. aku bilang lepas.."
BLAM.
BLAM Aku rasa percuma untuk berteriak karena kini ia sudah berhasil membuatku berada di dalam mobilnya. "Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku sinis. "Pasang seat beltnya!" Ia malah menjawab pertanyaanku dengan sebuah perintah. Aku mendelik kesal melihat tampangnya yang dingin dan seakan tak bersalah. Tak lama ia terlihat menyalakan mesin mobilnya. Dan itu membuatku semakin kesal padanya. Jujur aku merasa begitu koyol karena bagaimana bisa aku mengagumi orang seperti dia. Selama ini aku salah, aku terbuai dengan indah ekspektasi tentangnya. Dan kini kenyataan membuatku tersadar dan kecewa. Tiba-tiba saja ia mendekat membuat mataku membulat sempurna karena terkejut. Wajahnya terlihat datar, ia lalu menarik kasar dan dengan cepat memasangkan selt beat untukku. Deg Aku bahkan dapat mencium bau parfumnya karena jaraknya yang cukup denganku. Klik "Kau membuat
Beberapa saat kemudian. Renata terlihat berjalan cepat memasuki sebuah cafe. Ia mengedarkan pandangannya dan menemukan arnand di sana. Ia menghampiri sebuah meja dan menarik salah satu kursi untuk ia duduki. "Kenapa tiba-tiba kau ingin makan steak di cafe mahal seperti ini?" tanya Renata tapi Arnand tidak menjawabnya, ia malah menatap bingung pada renata. Ia mengenali suara wanita ini namun tidak dengan penampilannya. "Hei, kenapa dengan tampang bodohmu itu?" bentak Renata heran. "Renata." seperkian detik Arnand pun seakan dapat mengenali dari cara bicaranya. Arnand berdiri karena begitu kaget. "Iya ini aku." ucap Renata ketus sambil melipat tangan di dada. Arnand terdiam sejenak mengamati penampilan renata yang berbeda. "Aku tahu aku cantik kalau berdandan, sudah jangan menatapku seperti itu?" ucap Renata sambil menyibakan rambutnya ke belakang. Arnand mengerutkan dahi dan tiba-tiba ia tertawa saat menatap ke bawah kaki renata.
“Nata.. ” Aku menoleh saat kudengar seseorang memanggil namaku. Aku terdiam dan menatap seorang pria yang tengah berlari menghampiriku. Ia terlihat tersenyum saat berdiri tepat di hadapanku. “Ada apa?” Tanyaku malas. “Kenapa kau ini, kenapa wajahmu murung begitu?” Jawabnya balik bertanya. “Jadi kau ke sini hanya ingin bertanya itu?” “Tentu bukan?” “Lalu..” “Traktir aku makan siang?” Ucapnya manja. “Arnand..” Aku mendelik kesal melihat sikapnya. “Ayolah nata aku belum makan dari pagi, kau ingin melihatku mati kelaparan?” Bujuknya sambil pura-pura lemas. “Kau tidak akan mati kalau hanya tidak makan sekali.” Jawabku cepat sambil berlalu meninggalkannya. . “Terima kasih, aku janji akan menggantinya saat ibuku mengembalikan kartu kreditku..” ucap Arnand senang. Matanya berbinar sambil menatap seporsi nasi goreng di hadapannya. “Ya, ya sudah cepat makan!” “Baiklah, tapi kenapa kau tidak pesan makan?” Tanyanya sambil mulai menyendokan makanan ke mulutnya. “Aku tidak lapar.” Jawa
Aku masih terdiam saat gadis itu berlari kecil keluar dari sebuah mobil dan bergegas memasuki rumahnya. Aku meraih ponselku dan menekan tombol 2 cukup lama. Tut...tut “Yah Arnand?” “Kau di mana?” “di rumah.” “Tidak jadi menginap?” “Ah itu temanku. Ia... kedatangan sodaranya, jadi aku tidak jadi menginap.” “Oh begitu.” “Hm.. memang kenapa?” “Tidak, sudah malam cepat tidur.” “Iya.." “Jangan lupa nyalakan lampu depan rumahmu.” “Ah lampu depan..” Tut. Aku menyimpan ponselku dan bergegas pergi dari sana. Aku sedikit kecewa karena Renata membohongiku seperti ini..Keesokan harinya.Renata terlihat bergegas menuju kampusnya. Di koridor tak sengaja ia melihat Reynand yang tengah berjalan dengan seorang temannya. “Hai rey..” Renata coba men
Tid. did Aku menghentikan langkahku saat sebuah mobil asing berhenti tepat di sampingku. Aku menunggu sejenak sampai si pemilik mobil menurunkan kaca mobilnya. “Hai kau mau pulang, mau ku antar?” Tawarnya sambil tersenyum ramah. .. “Kau mencari reynand?” Tanyaku sambil mengaduk hot chocolate di hadapanku. Juna menggeleng dan tersenyum. “Tidak, kebetulan saja aku lewat sini.” “Oh.” Tanggapku singkat. Dan kami pun terdiam untuk beberapa saat. Juna terlihat meniup kopi panas di tangannya dan perlahan ia meminumnya. “Bagaimana hubunganmu dengan reynand, baik-baik saja kan?” Tanyanya sambil meletakan cangkirnya. Juna terlihat tersenyum ramah sambil menatapku. “Aku sangat senang saat mendengar rey tidak sendiri lagi.” Sambungnya antusias. Aku terdiam mendengarnya, sesaat aku menatapnya ragu. Sebenarnya aku tidak tega memberitahukan kebenaran yang mungkin akan mem
Sudah hampir setengah jam aku menunggunya di dalam mobilku. Namun aku lihat mereka masih saja berkumpul, entah apa yang mereka lakukan. Kalau saja hari ini aku tidak menerima telphone aneh. Mungkin aku tidak ada di sini. Pagi tadi seorang pria yang mengaku sahabatnya menelponku. Tanpa basa-basi ia memintaku menjemput renata mengantikannya. Alasannya karena dia mengira aku benar-benar kekasih renata. Entah mengapa aku tidak bisa menolaknya apalagi saat ia memintaku untuk menjaga renata. Ada keraguan saat aku ingin mengungkap kebenaran yang ada. “Aaargghh..” Aku merasa kesal dengan diriku sendiri yang seakan terjebak di situasi yang semakin rumit. Aku menyandarkan kepakaku di kemudi, namun sesaat kemudian aku mendengar suasana ramai. Terlihat beberapa orang berhamburan keluar. Akhirnya mereka pulang juga. Aku terdiam di dalam mobil mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan renata. Dan tak berapa lama ia terlihat berjalan keluar. Aku masih memperh
Tok. Tok. Tok Reynand menurunkan kaca mobil sesaatku mengetoknya pelan. Aku tersenyum dan berdiri tepat di samping mobilnya. "Masuk." Ucapnya datar seperti biasa. Aku pun dengan cepat memutari mobil dan masuk. “Mau ku antar ke mana? “ Tanyanya cepat. Aku menoleh rasanya sedikit aneh dia ini kekasih atau supir pribadiku. "Ke rumah saja." Jawabku pelan. Dan setelah itu dia terdiam dan terfokus menyetir. Aku sesekali melirik ke arahnya ia terlihat acuh seperti biasa membuat suasana menjadi canggung dan aku tidak menyukainya. Padahal hari ini aku tidak bekerja. Dan sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu berdua bersamanya. Aku sedikir ragu, namun aku ingin coba bertanya padanya. "Hm.. rey?" Ia melirikku singkat saatku memanggilnya. "Hari ini aku libur?" Ucapku pelan. "Ya, lalu?" Tanyanya acuh. Aku sedikit kesal mendengar tanggapannya. Rasanya akan ak
Pagi itu. Renata terlihat berjalan santai memasuki kampusnya. Namun dari kejauhan ia melihat reynand yang tengah berjalan bersama dean temannya. Renata terlihat kaget lalu memutar arah. “Rey itu kekasihmu kan, ada apa dengannya?” tanya Dean saat melihat renata berbelok ke arah menuju perpustakaan. Reynand tidak menjawab ia hanya memperhatikannya dari jauh... “Hampir saja!” Aku menghela nafas lega sambil menarik salah satu kursi di hadapanku. Jujur aku masih malu dan belum mempunyai keberanian untuk bertemu dengannya, terlebih karena hal kemarin yang kulakukan. Karena sudah terlanjur di sini sepertinya sekalian saja aku mengerjakan tugas. Aku melirik jam di tanganku. Masih ada waktu 1 jam sebelum kuliahku di mulai. Awalnya aku ingin ke kantin untuk sarapan sambil mengerjakan tugas. Tapi karena bertemu reynand tadi sekarang aku di sini di perpustakaan. Aku mengeluarkan laptop dan meraba-