Renata berjalan cepat menuju kamarnya. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dulu ia mengira hal indah akan terjadi jika ia dapat mengenal seniornya itu. Ternyata semua salah besar, melihat sikapnya tadi saja membuatnya begitu kesal. Rasanya ia menyesali karena selama ini telah mengagumi orang yang salah.
"Yang benar saja, kenapa aku sebodoh ini..." rutuknya kesal.
Flashback
Seorang pria terlihat berjalan cepat lalu berdiri tepat di hadapan Renata. Renata begitu terkejut hingga seketika menghentikan langkahnya. Matanya membulat sempurna saat melihat ke arah pria tersebut.
"Apa kau mau jadi kekasihku?" tanya pria itu tanpa basa - basi.
Renata mematung sesaat setelah mendengar ucapan pria itu. Ia kebingungan dengan situasi saat ini. Ia termenung sambil bertanya pada dirinya sendiri. Bagaimana caranya pria yang tidak mengenalnya atau bahkan mungkin tidak mengetahui namanya ini tiba-tiba memintanya untuk menjadi kekasihnya.
"Apakah ini nyata?" gumamnya dalam hati.
Renata kembali menatap pria tersebut. Apakah pria berhati es ini menyadari perasaannya. Karena memang sudah sejak lama Renata mengagumi seniornya ini. Tapi seingatnya ia tidak pernah memperlihatkan perasaannya. Bahkan ini untuk pertama kalinya mereka berbicara.
"Kau menyukaiku?" tanya pria itu membuat pipi Renata merona.
"I- Itu.. " seketika Renata jadi gugup. Ia seakan tidak bisa berkata-kata.
"Mimpi indah macam apa ini, Ya Tuhan tolong jangan bangunkan aku?"
"Sepertinya tidak. Ya sudahlah." ucapnya tiba-tiba nembuat Renata menatap kaget. Ia terlihat membalikan badannya dan hendak melangkah pergi.
"Nata, hal bodoh apa yang kau lakukan. Cepat jawaban YA sebelum ia benar-benar pergi." rutuknya pada dirinya sendiri.
"Tunggu senior," panggil Renata cepat membuat pria itu berhenti dan menoleh padanya." .. aku menyukaimu." jawaban pelan Renata membuat pria itu berjalan kembali menghampirinya. "Ya, aku menyukaimu, senior." Renata kembali mempertegas ucapannya. Pria itu terlihat tersenyum miring.
"Jadi kau mau menjadi kekasihku?" tanyanya membuat Renata mengangguk pelan dan tersenyum tersipu. "..walaupun hanya satu hari saja?" lanjutnya datar. Seketika senyuman di wajah Renata hilang.
"Hah.."
“Aku hanya ingin kau menjadi kekasih sehariku, kalau tidak berpura-puralah berpacaran denganku. Bagaimana?” Jelasnya.
Renata serasa mendapat tamparan keras mendengar ucapan pria tersebut.
"Apa maksudnya ini. Apa dia ingin mempermainkanku." gumam Renata seketika menatap sinis padanya.
Pria itu masih terdiam menunggu jawaban dari Renata namun tak lama ponselnya pun berdering. Ia melirik sesaat pada Renata.
"Baiklah. Besok jam 9, aku akan menjemputmu di sini!" ucapnya tegas dan tergesa-gesa, lalu ia terlihat sibuk dengan ponselnya sambil berlalu pergi.
Renata terlihat masih terkejut dengan situasi yang ada hingga ia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap pria itu yang mulai berjalan menjauh. Sesaat ia memalingkan wajahnya lalu membuang nafas kasar.
"HEI.." Teriaknya kencang membuat orang di sekitar menatap ke arahnya. "Apa-apaan ini. Apa maksudnya tadi, kekasih sehari? Apa dia ingin mempermainkanku. Hah, Reynand Andrean! KAMU PIKIR SIAPA DIRIMU!" Renata kembali berteriak dengan kesalnya tapi sayangnya orang yang ia maksud sudah menghilang pergi.
Flashback off.
.
“Dulu aku kira sikap dinginnya itu membuatnya terlihat keren. Tapi sekarang aku tahu, dia itu sangat MENYEBAL.KA...N!" ucapnya kesal sambil melempar tasnya ke atas kasur.
Bruuugh
"A-aww..."
Renata berhenti teriak saat mendengar suara mengaduh di balik selimut. Perlahan ia mendekati kasur. "Arnand." Panggilnya saat melihat kepala seorang pria menyembul di balik selimut.
"Kenapa berisik sekali sih, teriakanmu itu mengganggu tidurku!" ucapnya kesal sambil menendang tas Renata hingga buku-buku di dalamnya jatuh berserakan.
"Hei-hei.. Arnand, apa yang kau lakukan? Lihat bukuku jadi berantakan!" protes Renata sambil memunguti bukunya dan kembali menyimpannya ke dalam tasnya.
"Kau ini hanya peduli bukumu, kau tidak tahu betapa sakitnya buku itu saat jatuh di atas tubuhku tadi." keluh Arnand bangkit lalu terduduk sambil menatap kesal pada Renata. Renata hanya tersenyum datar sambil melirik buku-buku yang cukup tebal ini.
"Maaf. Tapi apa yang kau lakukan, kau tidak kuliah lagi?" tanya Renata sambil menyimpan tasnya di atas nakas.
"Ya cuma hari ini saja?" jawabnya santai lalu kembali membaringkan tubuhnya.
"Bagaimana dengan kemarin?"
"Baru 2 hari."
"Kemudian lusa, sabtu dan senin lalu?" ucap Renata detail sambil membuka jaketnya.
"Hei Nata kenapa kau cerewet sekali seperti ibuku sih. Kalau begini bagaimana aku bisa tidur?" ucap Arnand kesal sambil menatap Renata yang seketika mematung di tempatnya.
Renata terdiam sejenak. " Arnand, kau seharusnya bersyukur masih mempunyai seorang ibu. Ia sangat menyayangimu dan peduli padamu. Kau tidak usah bersusah payah bekerja untuk bisa berkuliah dan bertahan hidup. Kau hanya perlu menjadi anak baik saja?" jelas Renata pelan diakhiri dengan senyuman lirih.
Arnand terdiam sesaat, ia menyadari ucapannya menyinggung Renata.
"Ya, i-ya besok aku akan kuliah. Tapi sekarang biarkan aku tidur! " ucapnya lalu kembali membaringkan tubuh dan menyelimutinya.
Renata tidak menjawab apa-apa. Arnand pun sedikit mengintip dan melihat Renata yang tengah berjalan memasuki kamar mandi.
Tak berapa lama Renata sudah kembali dan telah berganti pakaian dengan seragam kerjanya. Ia menghampiri Arnand dan menepuk pelan pundaknya.
"Aku pergi sekarang, kalau kau pulang rapikan kembali tempat tidurku." Ucapnya sambil meraih tas dan jaketnya.
"Hm.." Arnand hanya berdehem."Nanti jangan suruh aku untuk menjemputmu?" sambungnya masih dalam keadaan terbaring.
"Ya baiklah. Jangan jemput aku tapi sebaiknya kamu pulanglah dan temui ibumu?" ucap Renata sambil berjalan menuju pintu keluar.
"Hm.."
"Dah, aku pergi." pamit Renata menutup pintu rumahnya.
.
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Sudah hampir setengah jam Renata berteduh di halte bus. Ia menadahkan tangannya sambil menatap langit. Sepertinya tak ada tanda- tanda hujan akan mereda. Renata melirik jam di tangannya, sudah mau pukul 3 sore. Kalau seperti ini terus mungkin ia akan terlambat masuk kerja.
Renata pun menaikan hoodie jaketnya untuk menutupi kepalanya. Ia memasukan tas kedalam jaketnya. Ia mendekapnya lalu dengan sedikit nekad ia pun berlari menerjang derasnya air hujan.
10 menit kemudian Renata pun sampai dan bergegas masuk ke dalam tempat kerjanya. Ia bergegas berjalan menuju seorang pria yang sedari tadi memperhatikan kedatangannya.
"Maaf Mr. Liem saya terlambat, saya terjebak hujan." ucap Renata mencoba menjelaskan.
"Ya saya tahu, kamu terlihat basah kuyup." jawabnya singkat sambil menatap Renata."kau tahu payung?"
"Ya maafkan saya Mr. lain kali saya akan bawa."
"Ya sudah, cepat ke ruang ganti dan mulai bekerja." tanggapnya dengan nada tegas.
"Ya terima kasih Mr.Liem." ucap Renata kemudian segera berlari kecil menuju ruang ganti.
Ia membuka lokernya untuk mencari baju ganti karena seingatnya ia menyimpan seragam kerja lainnya di sini. "Ini dia.." ucapnya lalu bergegas mengganti pakaiannya.
"Kau lihat dia terlambat dan tidak dapat omelan apapun dari Mr. Liem?" Renata berhenti mengancingkan kemejanya saat mendengar ada orang yang tengah berbincang di luar kamar ganti.
"Ya, rasanya aku makin muak melihat kelakuannya. Bisa-bisanya dia bersikap seenaknya seperti itu." Timpa satunya lagi.
Renata kembali mengancingkan kemejanya hingga selesai. Ia sudah tahu siapa orang tengah berbincang itu. Dan ia sangat tahu orang yang tengah mereka perbincangkan itu adalah dirinya.
"Dia itu hanya pegawai part time, tapi mengapa harus mendapat perlakuan special.”
"Renata mana?" Kedua orang yang tengah berbincang tersebut terperanjat kaget dan seketika terdiam dengan ekpresi wajah panik.
"Ah- Renata, sepertinya tidak ada di sini. Kami-"
"Ya Mr.Liem ada apa?" potong Renata cepat seketika muncul lalu ia pun berjalan mendekati pintu keluar. Benar dugaannya, orang yang tengah membicarakannya tadi adalah Mina dan Hani seorang kasir dan karyawan di tempatnya bekerja.
"Sudah waktunya over shift?"
"Baik Mr." Renata pun segera bergegas keluar. Saat melewat jelas ia melihat wajah kaget dari Mina dan Hani.
"Bagaimana ini, kau lihat Renata ada di sana. Dia pasti mendengar percakapan kita?" ucap Mina khawatir.
"Heh, baguslah! Biar dia bisa menyadari sikapnya yang menyebalkan itu." jawab Hani dengan nada kesal lalu pergi meninggalkan Mina.
.
"Terima kasih." ucapku sambil memberikan struk dan uang kembalian pada seorang pelanggan. Pelanggan itu hanya menggangguk dan tersenyum lalu berlalu sesudah mengambilnya.
Aku memperhatikan suasana café malam ini yang cukup ramai. Sesaat aku teringat ucapan Hani dan Mina di ruang ganti tadi sore. Aku sungguh tidak mengerti mengapa mereka tidak menyukaiku bahkan sejak awal kita bertemu. Padahal seingatku aku tidak pernah mengganggu atau mengusik mereka.
"Heh Renata, antarkan ini ke meja 5?" ucap Hani memerintah.
"Hah.. apa?" Aku menoleh cepat masih terkejut karena ucapannya tadi membuyarkan lamunanku.
Hani menyodorkan senampan makanan padaku dan aku masih menatap tidak mengerti. "Kau tuli, cepet antarkan ini!" Bentaknya kesal.
“Tapi di meja kasir hanya ada aku?”
“Belum ada pelanggan yang datang lagi, apa susahnya kau membantu?” ucapnya dengan ketusnya. Aku pun segera menghampiri, meraih nampan di tangannya lalu segera mengantakan pesanan tersebut.
"Silahkan." ucapku sambil menata pesanan di atas salah satu meja pelanggan.
"Terima kasih."
"Ya selamat menikmati." tanggapku ramah lalu hendak bergegas menuju meja kasir. Namun baru saja aku membalikan badan. Aku sudah terkejut karena melihat Mr. Liem berada di meja kasir dan tengah menatap ke arahku. Aku menyerngit cemas dan dengan cepat berjalan kembali.
"Maafkan saya Mr." ucapku pelan. Ia hanya menatap datar. Tiba-tiba saja hani kembali muncul dan merebut nampan kosong di tanganku.
"Renata, kenapa kau memaksa untuk membantuku. Kau lihat meja kasirmu jadi kosong!" ucapnya sambil tersenyum mencibirku lalu berlalu pergi. Aku benar-benar terkejut mendengar ucapannya dan apa-apaan sikapnya barusan. Ternyata ia selicik itu.
"Renata?” Panggilan Mr. Liem membuatku berpaling menghadapnya. “Saya ingatkan sekali lagi seramai apapun cafe jangan pernah biarkan meja kasir kosong, kamu mengerti!" tegurnya keras.
"Baik Mr. maafkan saya." jawabku tertunduk menyadari kesalahanku.
"Ya sudah, kembali bekerja." ucapnya lagi dan aku hanya bisa memanggut patuh.
.
Tak terasa jam kerja Renata pun usai. Tepat pukul 9.30 malam para karyawan cafe terlihat berhamburan keluar. Beberapa di antaranya terlihat langsung pulang dengan kendaraannya ataupun karena sudah di jemput.
Sementara itu Renata terlihat berjalan pelan menyusuri trotoar. Ia hanya melihat beberapa taksi yang berlalu lalang. Ia tidak mungkin pulang dengan salah satu taksi tersebut karena ia tahu biaya cukup mahal mungkin yang harus di bayarnya. Ia lebih memilih berjalan menuju halte bus.
"Seharusnya masih ada bus terakhir." gumamnya sambil mempercepat langkahnya. Dan tiba-tiba saja sebuah motor sport hitam terlihat berhenti di sampingnya.
"Renata, bagaimana kalo aku mengantarmu?" ucap pria tersebut. Renata menoleh kaget, ternyata itu Gio salah satu rekan kerjanya. Ia terlihat ragu lalu melirik jam di tangannya.
"Tidak usah Gio, aku masih bisa naik bus terakhir. Terima kasih." Jawab Renata tersenyum dan kembali berjalan.
"Butuh tumpangan!"
"Tidak, aku bilang- ARNAND!" Renata menoleh dan terperanjat kaget. Ia mengira Gio yang mengejarnya namun ternyata itu Arnand, seketika ia pun tersenyum.
"Ya ini aku, tidak usah berteriak seperti itu?"
"Maaf." ucap Renata menutup mulutnya sesaat.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Renata polos dan tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
"Ah.. jadi kamu tidak mau aku disini, baiklah?" jawab Arnand tersinggung lalu mulai menjalankan motornya sengaja melewati Renata.
"HEI ARNAND TUNGGU!" teriakan Renata berhasil membuat Arnand berhenti dan menoleh. Renata mendelik kesal lalu berjalan cepat mendekatinya.
"Kenapa kau ingin meninggalkanku?" gerutu Renata kesal.
"Kau yang mengusirku?" tanggap Arnand polos.
"Kapan?"
"Tadi pertanyaanmu, sedang apa kamu di sini?" ucap Arnand mengulangi pertanyaan Renata dengan nada mengejek. Dan setelah itu tas selempang Renata mendarat di kepala Arnand membuatnya mengaduh kesakitan.
Brugh. Brugh
"Aw- kenapa kamu memukulku?" protes Arnand mengaduh kesakitan.
"Karena kau bodoh." jawab Renata santai lalu terduduk di bangku belakang motor Arnand.
"Berhenti mengataiku seperti itu!" gerutu Arnand kesal sambil memberikan sebuah helm untuk Renata pakai. "sebenarnya apa yang kamu simpan di tasmu itu?"
"Kenapa?" Renata balik bertanya sambil melirik isi tasnya.
"Saat kamu memukulku tadi rasanya seperti tertimpa sebongkah batu!" keluh Arnand sambil mengelus-elus helmnya.
"Ini hanya sebuah buku." Renata pun mengeluar buku yang tebal tersebut dan memukulkannya lagi ke helm Arnand sambil tersenyum jahil.
"Nata berhenti, itu sakit?" jerit Arnand kesal sambil menoleh kesal ke arah Renata.
"Benarkah?" tanya Renata lalu kembali menyimpan bukunya.
"Ish.. dasar kau ini!" keluh Arnand lalu mulai menjalankan sepeda motornya.
"Kau sudah menemui ibumu?"
"APA?" teriak Arnand tidak mendengar pertanyaan Renata dengan jelas.
"Ish.. APA KAMU SUDAH MENEMUI IBUMU?" teriak Renata tepat di samping telinga Arnand.
"Kenapa harus berteriak, aku tidak tuli?" ucap Arnand kesal.
"Oh, aku kira selain bodoh kamu juga tuli. he..he.." tanggap Renata sengaja mengejek.
"Kau terus saja mengejekku. Kau pikir aku ini apa hah?" ucap Arnand yang sepertinya benar-benar kesal. Renata yang menyadari hal itu pun berusaha membujuknya.
"Kau itu sahabat terbaikku Arnand!" jawab Renata manja sambil melingkarkan tangannya di perut Arnand. Namun dengan cepat Arnand menepisnya.
"Singkirkan tanganmu, itu menggelikan!"
"Kau benar-benar marah, maafkan aku Arnand!" ucap Renata pelan dan berpura-pura menyesal. Arnand terlihat tersenyum singkat melirik wajah Renata melalui spion motornya.
"Ya sudah jangan ulangi lagi!"
"Ya."
.
Arnand adalah sahabat yang berharga untuk Renata. Mereka sudah saling mengenal semenjak kecil. Walaupun banyak sekali perbedaan di antara mereka, namun hal itu tidak mengurangi ikatan persahabatan mereka. Bagi Renata, Arnand bukan hanya sekedar sahabat. Arnand selalu ada untuknya dan bisa menjadi sosok-sosok yang tiada di hidupnya.
Hidup Renata mungkin kurang beruntung. Ia lahir dan tumbuh di keluarga yang sederhana dan hanya di besarkan oleh seorang ibu karena ayahnya telah meninggal saat ia kecil. Namun 3 tahun yang lalu atau tepatnya saat ia berumur 17 tahun ibunya menjadi korban tabrak lari dan meninggalkannya untuk selamanya.
Semenjak itu Renata menjalani hidup sebatang kara. Ia menempati rumah kecil peninggalan orangtuanya. Ia memiliki keluarga jauh namun mereka tidak pernah memperdulikannya. Itu karena pernikahan orangtua Renata yang menimbulkan konflik di antara dua belah pihak. Ibu Renata berasal dari kalangan berada berbeda dengan ayahnya. Keluarga besar mereka tidak merestui karena menganggap berbeda kasta.
Sementara itu Arnand berasal dari keluarga berada. Ibunya dan ibu Renata bisa dibilang cukup dekat karena mereka berteman sejak SMA. Karena hal itulah keluarga Arnand selalu memperlakuan Renata dengan baik. Bahkan mereka pernah meminta Renata untuk pindah dan tinggal saja bersama mereka. Renata menghargai ketulusan mereka namun ia merasa tidak bisa meninggalkan rumah mungil keluarganya itu. Terlalu banyak kenangan di sana terlebih lagi Renata ingin belajar hidup mandiri
"Sudah sampai." ucap Arnand dan dengan cepat Renata pun turun. Ia membuka helm lalu menyodorkannya pada Arnand.
"Terima kasih untuk tumpangannya."
"Hanya terima kasih?" jawab Arnand sambil menyimpan helm tersebut.
"Ya, lalu kamu mau apa?" tanya Renata bingung.
"Hm..traktir aku makan di restoran mewah." jawab Arnand semangat.
Brughh
Untuk kesekian kalinya Renata memukul Arnand dengan tasnya.
"Aduhh.." Arnand terlihat kesakitan sambil mengelus-ngelus kepalanya.
"Hei kau tahu, itu namanya perampokan. Kau ingin memerasku?" protes Renata kaget.
"Ah- anggap saja itu hadiah ulang tahun untukku." jawab Arnand tidak mau kalah.
"Yang benar saja?" delik Renata kesal.
"Sudah.. pokoknya besok malam aku tunggu di restoran favoriteku jam 7. Bye." jelas Arnand lalu meninggalkan Renata.
"HEI ARNAN KAU SUDAH GILA!" teriak Renata makin kesal. Tapi Arnand tidak mendengarnya karena sudah melaju pergi.
.
Keesokan harinya.
Sebuah mobil terlihat terparkir di samping gerbang kampus. Di sana terlihat seorang pria yang tengah termenung di depan kemudinya.
"Aku sudah gila!" gumamnya untuk kesekian kalinya.
Ia teringat kejadian kemarin saat tiba-tiba menghampiri seorang gadis yang tidak dikenalnya. Dan dengan tidak tahu malunya ia malah meminta gadis tersebut untuk menjadi kekasih seharinya.
Pikirannya kacau dan tidak bisa berpikir jernih setelah ia menerima undangan pernikahan dari mantan kekasihnya itu. Sebenarnya ia enggan datang namun sahabatnya terus membujuknya. Karena sahabatnya itulah yang jadi akan menjadi suami mantanya. Sungguh kenyataan yang ironis bak adegan di sebuah drama.
Pria itu memincingkan matanya mengamati seorang gadis yang baru saja lewat di depan mobilnya. Ia pun bergegas turun dari mobilnya lalu menghadang gadis tersebut.
"Hei, kenapa kau terlambat?" tanyanya berdiri tepat di hadapan gadis itu. Gadis itu terlihat terkejut lalu menatap sinis padanya.
"Awas. Kau menghalangiku?" Kelaknya lalu menghindar meninggalkan pria tersebut. Pria itu menatap bingung lalu berjalan dan mencekal lengan gadis tersebut.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini?" tanyanya sedikit kesal.
"Aku tidak pernah memintamu melakukan itu, kau pikir aku ini siapa?"
"Kau itu kekasihku sehariku, bukahkah kemarin kau setuju?"
“Ngawur sekali bicaramu!” jawabnya mendengus kesal dan hendak pergi. Namun dengan tiba-tiba pria tersebut menahannya.
"Lepas!" ucap gadis itu segera menepis tangan pria itu saat ia ingin meraih tangannya. Namun Pria itu kembali menarik tangan dan mencekalnya dengan kuat. "Hei, apa yang kau lakukan?" tanya gadis tersebut sambil berontak dan mencoba melepaskan diri. Namun tenaganya kalah dengan pria tersebut.
"Maaf, tapi kau harus ikut denganku?" ucap pria tersebut setengah memaksa. Ia menarik gadis itu dan menggiringnya memasuki mobilnya.
"HEI.. lepaskan, ini namanya penculikan!" teriak gadis itu.
"Lepaskan.. aku bilang lepas.."
BLAM.
Pagi itu renata sengaja bangun lebih pagi dari biasanya. Ia terlihat mengambil beberapa bahan di kulkas dan mulai memasak. Sesuai janjinya ia ingin membuat sarapan untuk reynand. Selesai memasak renata pun bergegas mandi dan bersiap ke kampus. Ia memilih pergi menggunakan bus karena tahu reynand tidak bisa menjemputnya hari ini. Sesampai di kampus renata pun coba menghubungi reynand. tut..tut.. “Hallo..” “Rey kau di mana?” “Di aula, kalau kau ingin bertemu reynand ke sini saja.” Jelasnya. “Ah, baiklah kak.” Tut. Renata masih memandangi ponselnya, entah siapa tadi yang berbicara dengannya. Yang pasti ia tahu keberadaan reynand sekarang. Tanpa berlama-lama renata pun segera menuju ke aula kampus. Sesampai di sana renata melihat banyak orang yang berlalu lalang di sana. Dengan segera ia mencari keberadaan reynand. Ia berlari kecil mendekati kerumunan orang dan coba menyelinap. “Rey..” Panggilnya pelan. Reynand berbalik sedikit terkejut dengan kehadiran renata di sana namun sesa
Sepanjang perjalanan reynand tidak berkata sedik pun. Wajahnya masih saja datar bahkan berkali-kali aku terang-terangan menatapnya. Namun ia seperti sengaja menghiraukanku. “Kau marah?” Tanyaku ragu. Reynand terdiam dan tidak menjawab aku yakin dia pasti marah. Bukankah baru saja aku berjanji tidak akan pergi dengan pria lain selainnya. “aku sungguh tidak tahu kalo gio akan menjemputku.” Sambungku menjelaskan. “Sudahlah, aku sedang menyetir.” Jawabnya cepat. Tak berapa lama mobil pun berhenti tepat di depan cafe tempatku bekerja.“Aku akan menjemputmu jam 10.” Ucapnya dingin tanpa menatapku. Aku terdiam sejenak memutar otak untuk mencari cara agar reynand tidak marah padaku. Entah dari mana datangnya tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku melirik reynand sesaat. Walaupun ragu aku akan coba melakukannya. Aku membuka seltbetku dan coba mengumpulkan keberanian. Aku mendekati reynand dan menutup mataku lalu.. Cup “Maafkan aku rey..” Ucapku membuka mata setelah memberi sebuah k
Tok. Tok. Tok. “Ya sebentar !” ucap Renata saat mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia berjalan dan segera membukanya. “rey..” Ucapnya lemah sedikit kecewa berbarengan dengan senyumannya yang memudar. “Kenapa, sepertinya kau tidak suka dengan kedatanganku?” tanya Gio malah tersenyum manis pada renata. “Bukan, hanya saja..” Renata menggantung ucapannya saat merasa ponsel yang di pegangnya bergetar. Ia melihat sebuah pesan dari reynand muncul di sana. Reynand: Aku masih di rumah sakit sekarang, sepertinya tidak bisa menjemputmu. Maaf. 8.30 “Kenapa, apa terjadi sesuatu?” tanya Gio bingung melihat renata masih menatap ponselnya. “Tidak. Hm.. ada apa pagi-pagi kau ke rumahku?” “Kau lupa percakapan kita kemarin malam.” ucap Gio balik bertanya. “Apa?” tanya Renata benar-benar lupa. Gio terdiam sejenak lalu ia melirik jam dinding di belakang Renata. Ini hampir jam setengah delapan dan ia tahu Renata kuliah pagi ini. “Sudah-sudah kita bahas nanti saja, kau m
Seminggu terakhir ini aku cukup sibuk karena harus bulak-balik untuk mengurus jessi di rumah sakit dan juga mengurusi urusan di kampus yang menguras waktu dan tenagaku. Aku berencana ingin beristirahat malam ini. Aku baru saja mendudukan diri di tepi ranjang sambil mengisi batrai ponselku yang mati sejak siang tadi. Tak lama beberapa pesan berderetan muncul memenuhi layar ponselku. Aku pun mulai mengeceknya dan menyingkirkan pesan yang menurutku tidak begitu penting. Tanganku terhenti nama renata muncul dengan sebuah pesan yang membuat perasaanku tidak enak. Aku pun dengan cepat membuka dan membacanya. Renata : Rey, maaf lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Terima kasih untuk semuanya.18.12 Aku sungguh terkejut membaca pesan tersebut. Aku tahu hubunganku dengannya sedang rumit, tapi aku tidak menyangka ia bisa semudah itu ingin mengakhiri semuanya. Aku akui aku yang salah karena memiliki ego yang terlalu tinggi. Tapi itu bukan berarti aku tidak peduli dengan hubungan ini.
Renata terlihat sudah berada di café tempatnya bekerja. Ia kini terlihat tengah berada di depan meja kasir sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sejenak ia termenung dan teringat dengan sikap reynand yang membuatnya sedih. Apalagi hari ini reynand seperti sengaja tidak ingin menemuinya. “Ah..” pekiknya saat merasa nyeri di bagian ulu hatinya. Renata seharusnya tidak melewatkan jadwal makannya, ia memiliki maag akut. Dan itu bisa memicu penyakitnya kambuh. “Nata..” panggil Gio tiba-tiba muncul di depan meja kasir. “Ya.” Renata menjawab sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” Tanyanya sedikit khawatir melihat wajah renata yang sedikit pucat. “Aku.. baik, ada apa gio?” jawab Renata mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dengan tersenyum. “Hmm.. bisakah kau membantuku sebentar, Mr. Liem menyuruhmu mengecek stock sayur dan bumbu!” Jelasnya dan renata pun mengangguk. “Hani, aku harus ke gudang. tidak apakan kalau kau jaga kasir sendirian?” tanya Renata pada gadis yang tenga
Aku segera berlari keluar dari mobil saat melihat sebuah ambulance terparkir di depan rumah jessi dan juna. Di saat bersamaan aku melihat jessi di tandu untuk memasuki ambulance. “Apa yang terjadi.” Tanyaku melihat jessi yang menangis kesakitan sambil memegangi perutnya. "Sepertinya terjatuh di kamar mandi dan saat ini kondisinya sedang hamil. Jadi kami harus segera membawanya ke rumah sakit. “ Jelas salah satu paramedis. “Rey.” Panggil jessi sambil meraih tangan reynand. “Jangan takut, semua akan baik-baik saja.” ucap Reynard sambil mengelus kepala jessi menenangkan. Dan tak lama jessi pun di masukkan ke dalam ambulance. Reynand memasuki mobilnya untuk segera mengikuti jessi menuju rumah sakit. Sepanjang jalan reynand coba menghubunginya juna karena tadi tidak melihatnya di tempat kejadian. Entah sudah berapa kali namun juna tidak juga menjawab panggilannya... Reynand
Beberapa hari kemudian. Malam itu sepulang bekerja aku pun terdiam di luar café menunggu reynand menjemputku. Reynand sudah mengirimiku pesan bahwa dia akan sedikit terlambat. Aku pun terdiam sambil memperhatikan sekitar. Suasana di sini terlihat mulai sepi. Aku meraih ponselku dan membaca kembali pesan dari reynand. Ini sudah hampir 20 menit, namun reynand belum juga datang. Aku pun berpikir akan pulang sendiri saja. Aku melihat masih ada waktu untukku pulang menggunakan bus terakhir. Aku pun mulai bangkit dan melangkah menuju halte. Kemudian aku mengetik pesan untuk memberitahukannya pada reynand. Namun belum sempat aku mengirimnya, tiba-tiba seseorang muncul dan mendekatiku. “Hai kau belum pulang?” Aku menoleh kaget melihat gio di sana. Ia tersenyum dan berjalan menghampiriku. “Belum aku masih menunggu.. kekasihku.” Jawabku sedikit ragu saat menyebutkan kata terakhirku. “Hm..” Gio meli
Pagi itu. Renata terlihat berjalan santai memasuki kampusnya. Namun dari kejauhan ia melihat reynand yang tengah berjalan bersama dean temannya. Renata terlihat kaget lalu memutar arah. “Rey itu kekasihmu kan, ada apa dengannya?” tanya Dean saat melihat renata berbelok ke arah menuju perpustakaan. Reynand tidak menjawab ia hanya memperhatikannya dari jauh... “Hampir saja!” Aku menghela nafas lega sambil menarik salah satu kursi di hadapanku. Jujur aku masih malu dan belum mempunyai keberanian untuk bertemu dengannya, terlebih karena hal kemarin yang kulakukan. Karena sudah terlanjur di sini sepertinya sekalian saja aku mengerjakan tugas. Aku melirik jam di tanganku. Masih ada waktu 1 jam sebelum kuliahku di mulai. Awalnya aku ingin ke kantin untuk sarapan sambil mengerjakan tugas. Tapi karena bertemu reynand tadi sekarang aku di sini di perpustakaan. Aku mengeluarkan laptop dan meraba-
Tok. Tok. Tok Reynand menurunkan kaca mobil sesaatku mengetoknya pelan. Aku tersenyum dan berdiri tepat di samping mobilnya. "Masuk." Ucapnya datar seperti biasa. Aku pun dengan cepat memutari mobil dan masuk. “Mau ku antar ke mana? “ Tanyanya cepat. Aku menoleh rasanya sedikit aneh dia ini kekasih atau supir pribadiku. "Ke rumah saja." Jawabku pelan. Dan setelah itu dia terdiam dan terfokus menyetir. Aku sesekali melirik ke arahnya ia terlihat acuh seperti biasa membuat suasana menjadi canggung dan aku tidak menyukainya. Padahal hari ini aku tidak bekerja. Dan sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu berdua bersamanya. Aku sedikir ragu, namun aku ingin coba bertanya padanya. "Hm.. rey?" Ia melirikku singkat saatku memanggilnya. "Hari ini aku libur?" Ucapku pelan. "Ya, lalu?" Tanyanya acuh. Aku sedikit kesal mendengar tanggapannya. Rasanya akan ak