Share

5. Debaran Berbeda

“Aku merindukan sentuhanmu, Can.”

Oksigen di dalam mobil menjadi terkuras hitungan detik. Ia begitu sulit menelan saliva saat suara di seberang sana berucap rindu, begitupula suara yang terkesan manis di dengar Can.

Ia membetulkan letak AirPods, meskipun tidak ada yang salah.

Can berusaha untuk fokus mengemudikan mobil. Ia dalam perjalanan pulang dari rumah orangtuanya sendirian dan ikut makan malam di sana.

“Sayang? Kau baik-baik saja di sana? Atau aku menganggumu? Aku bisa menutup panggilan—“

“—tidak.”

“Hanya saja aku belum terbiasa mendengarkan kalimat mesramu.”

Can mengakui dengan sangat polos.

Bahkan, ia bisa merasakan kedua pipi bersih tanpa bulu halus di sekitar rahang, terasa memanas. Pria itu salah tingkah dan semakin merasa kalah saat tawa di seberang sana mengusik dirinya.

“Emine. Aku tidak ingin berada di posisi seperti ini. Bagaimanapun aku adalah atasanmu yang harus kau hormati.”

Can mengeluarkan statusnya di perusahaan yang juga menjadi tempat Emine mencari pekerjaan sebagai salah satu penunjang hidupnya. Kemudian, sepersekian detik suara di seberang sana hanya berganti dengan kekehan kecil dan permintaan maaf Emine begitu lembut.

“Apa kau tidak membutuhkanku malam ini, Can? Ranjangku terasa dingin dan kamarku sangat sepi.”

Can mengembuskan napas berat.

Pikirannya sudah tersugesti begitu cepat. Ia sedang berusaha menenangkan diri sendiri, memilih untuk menjawab tidak, secara tegas. “Besok pagi kita ada rapat. Apa kau lupa?”

Nada sedih dan kesal itu sedikit membuat kedua sudut bibir Can berkedut. “Aku harus menutup panggilan telepon ini. Kau mengingatkanku dengan pekerjaan yang sudah tadi pagi kau titipkan padaku. Aku harus segera menyelesaikannya,” keluh Emine.

Kening Can mengernyit, melirik sekilas arloji coklat. “Kau baru ingin mengerjakan sekarang?”

“Tidak. Aku sudah cukup jauh menyelesaikannya. Apa yang kuucapkan tadi hanya sekadar candaan dan mungkin ... kesedihanku tidak bisa membawamu ke mari.”

“Berhentilah berpikir mesum, Emine,” tegas Can.

Perempuan di seberang sana tergelak.

“Besok, aku ingin sekali membawakan sarapan untukmu jika diperbolehkan.”

“Bawa saja.”

“Aku boleh membawanya?!”

Can tersenyum tipis dan mengangguk. “Bawa saja, aku akan memakannya.”

“Sungguh, aku sangat menyukai pria yang bisa menghargai usahaku. Termasuk saat usahaku membawanya ke atas ranjang berhasil. Jadi, aku tau sebatas mana sikap nakalku.”

Pria itu menggeleng samar mendengar ucapan Emine tersebut.

“Oh, iya. Tiga hari lagi jadwalmu untuk berada di Istanbul. Apa mulai besok harus kupesan tiket pesawatnya?”

“Ya. Pesankan tiga tiket dengan asisten pribadiku,” jelas Can dan membuat perempuan di seberang sana menyanggupi.

Can membiarkan Emine berhenti memberikan atensi dan memperpanjang obrolan. Sepertinya perempuan itu tengah bingung mencari bahan pembicaraan. “Sekarang kau tengah berada di jalan untuk pulang. Lebih baik kita akhiri saja telepon ini,” ungkap Emine tampak salah tingkah.

Senyum kecil Can terulas di paras tampannya.

“Aku atau dirimu yang mematikan telepon ini?”

Can mempertahankan senyum kecilnya, mendengar pertanyaan santai Emine. “Kau saja.”

“Manis sekali!”

Embusan napas pelan terdengar di telinga Can. “Can ... istirahatlah setelah ini. Kurasa pekerjaanmu sudah usai dari tadi siang. Aku yakin, kau bukan pria yang ingin mengulur waktu mengerjakan sesuatu.”

“Semoga besok harimu menyenangkan dan kau selalu mendapatkan kebahagiaan yang hatimu inginkan.”

Panggilan telepon diputuskan Emine.

Can spontan tertegun.

Pedal rem ia injak dengan mengambil posisi parkir secara mendadak di pinggir trotoar. Jantungnya berdebar bersama desiran dalam tubuh yang hadir mendengar ucapan Emine. Ia tidak tahu maksud dari ucapan tersebut terlalu sederhana, tapi mampu membuat fungsi tubuh Can enggan terkesan biasa.

“Mulai detik ini kau yang lebih dominan, Ayse.”

Emine—Ayse—adalah dua nama berbeda untuk satu orang yang dimaksud. Perempuan itu mendongak, melihat kedua temannya berdiri di sisi sofa Emine.

Perempuan itu mendengarkan percakapan ia bersama Can pada dua teman baiknya; Susan dan Fuat. Dua teman yang membantu Emine melakukan semua ini mulai dari titik terendahnya hingga berani untuk mengambil tindakan.

“Kalian sangat mengenalku lebih dari dua tahun ini. Di saat Can tidak mengingatku sedikitpun, aku harus menjadi dirinya, terlihat lebih peka dan mendekat. Sedangkan dia? Masih begitu asing menerimaku, jika bukan aku yang memulai semuanya.”

Emine kembali pada sorot seorang Ayse. Ia kembali pada identitas sebenarnya, menampilkan sorot sendu dan terkesan nanar memandang lurus. Kedua jemari tangannya tertaut di atas pangkuan, meremat dan menahan gejolak rasa pedih.

Can tidak mengingat Ayse.

Lantas, tidak akan mengubah segalanya jika dirinya dikenal sebagai Emine. Ia hanya perlu menciptakan banyak momen bersama Can, menggali kembali perasaan pria itu untuknya.

“Aku menginginkan dia selalu menyimpan perasaan yang sama. Bukan terkesan menjadi asing dan mengaburkan perasaannya untukku,” lirih Emine tertunduk.

Satu bulir air mata turun dengan kedua bahu bergetar.

Perempuan berambut pirang tersebut mengambil duduk di samping Emine, merangkul bahu rapuh itu. “Ayse ... bersabarlah. Tuan Sener memang melupakan siapa dirimu, tapi dia akan tetap tau dan merasakan kesan saat bersamamu. Kami berdua percaya akan hal itu.”

“Kau hanya harus berusaha untuk menciptakan momen lebih banyak bersamanya,” tambah Susan ketika sorot mata mereka bertemu.

Susan tidak pernah menduga kisah cinta Emine akan jauh lebih buruk dibandingkan saat perempuan itu harus tumbuh tanpa orangtua. Pernah mencecap kehidupan pilu di panti asuhan, lalu mencoba menata hidup dan semua tidak selaras.

Bahkan, Susan mendapati teman yang seprofesi dulunya di restoran bintang lima tersebut, harus merasakan luka di tubuh dan trauma akan kelicikan seseorang.

“Ayse, kau tidak boleh menyerah. Kita sedang memulai semuanya,” timpal Fuat, mantan pegawai kasir di restoran.

Pria itu berjongkok di depan Emine, menatap lurus dengan sugesti yang diharapkannya bisa membuat Emine sadar akan kesempatan besar ini. “Tuan Sener berhasil mendengar permintaanmu. Dia juga tidak menolak saat kalian tidur untuk kali kedua, kan? Itu permulaan yang sangat bagus.”

“Jika kau masih percaya Tuan Sener adalah orang yang sama. Momen yang kalian butuhkan bukan sekadar kehangatan di atas ranjang. Tapi kau bisa memulai semuanya dengan perhatian manis. Lakukan saja seperti seorang Ayse, bukan Emine.”

“Emine yang dilihat pria itu adalah untuk kali pertama kedatanganmu saja. Selebihnya, ciptakan kesan di matanya dan buatlah dia mengingat kenangan kalian, Ayse,” jelas Fuat.

Pria itu meraih kedua tangan Emine di atas pangkuan.

Ia mengenggam erat, lalu meraih satu tangan Susan untuk tertumpu di sana. Senyum dua teman baik Emine menenangkannya. Ketiganya berpelukan untuk saling menyemangati. “Emine yang ditatapnya telah redup.”

“Kau harus lebih banyak memperlihatkan seorang Ayse, perempuan yang kali pertama membuat pria itu menatapmu dengan sorot berbeda,” timpal Susan.

“Dan mampu membuatnya kembali jatuh cinta padamu,” tekan Fuat, menatap tegas Emine.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status