Minggu siang ini Can memutuskan kembali ke ruang kerja di sisi kamar. Pria itu meraih MacBook di atas sofa kamar, lalu meraih ponsel di atas meja yang sejak tadi ia abaikan.
Can hanya berniat sekilas melirik layar ponsel. Harus terpaku saat ada nomor asing tertera di sana dan terlihat ada foto yang dikirim.
Segera jemari ramping itu membuka isi pesan dan tertegun, merasakan gejolak hasrat tubuhnya terbakar melihat dua pose Emine.
Perempuan yang memperlihatkan senyum nakal. Tidak segan menaikkan arah kamera, mengambil senyuman nakal dengan satu tangan secara asal menahan selimut agar tidak turun.
Sepertinya pose itu diambil Emine saat Can membersihkan tubuh dan bergegas ingin pulang. Tentu sebelum hasratnya tidak bisa tertahankan untuk mencecap perempuan yang ia ambil keperawanannya.
Tubuh Can berdesir.
Napasnya berembus tidak beraturan dan pikirannya kembali pada malam panas mereka. Can terbuai dan ada satu titik di mana ia cukup kaget juga senang menjadi pria pertama untuk Emine.
Senyum samar terlihat di paras tampan Can yang sedikit memerah.
Namun, bunyi klakson mobil yang menandakan Akira dan Reyhan kembali dari pusat perbelanjaan. Membuat Can langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana pendek, lalu keluar kamar dengan MacBook yang akan ia bawa.
Can tidak jadi berada di ruang kerja dan memutuskan untuk berada di area gazebo dekat kolam renang.
Pria itu turun dari sisi lain, tidak ingin bertemu Akira di pintu utama.
“Di mana suamiku, Bibi?”
Akira membiarkan putranya di bawa pelayan untuk mengganti pakaian, sekaligus akan menyiapkan makan siang mereka.
Nyonya Erdem mendekati Keponakannya dan berucap, “Setelah kau pergi, Can belum terlihat keluar kamar. Mungkin dia terlalu lelah dan memilih tidur sementara waktu.”
Sorot manik coklat itu tampak kesal. “Aku tidak menyukai sikap Can yang seperti ini. Seharusnya kami menikmati akhir pekan bersama, bukan hanya berdua bersama Reyhan sekalipun hanya pergi ke pusat perbelanjaan sebentar,” jelas perempuan itu melirik lelah Nyonya Erdem.
Wanita yang sudah memasuki usia lima puluh tahun itu mengedik santai. “Pesanku, jangan membuat Can kembali pada sifat awalnya, meskipun dia tidak mengingat runut nyaris sepanjang hidupnya,” tekan wanita itu berbisik, membuat Akira tertegun.
Ia gelagapan saat diingatkan kembali akan fakta tersembunyi tersebut.
Perempuan itu takut kehilangan Can, pria yang sudah memikat hatinya sejak awal.
Akira mengangguk takut.
Keduanya berhenti berbicara saat seorang pelayan muda datang dari arah taman sedikit tergesa. “Kau ingin membuatkan minuman?” tanya Akira mengernyit.
“Iya, Nyonya.”
“Tuan memintaku menyiapkan makanan dan minuman untuknya di gazebo,” jelas perempuan itu berlalu, membuat Akira dan Nyonya Erdem saling bersitatap.
“Temui suamimu di sana, Akira,” bisik wanita berambut sebahu tersebut dengan tatapan tegasnya.
“Baik, Bibi,” balas Akira, berlalu meninggalkan Nyonya Erdem.
Akira melihat pria tampan yang menyorotnya teduh selama dua tahun ini, sedang duduk di gazebo dengan pilar kokoh di sisi masing-masing. Udara siang hari cukup memainkan sedikit helaian rambut Can dengan angin yang tidak terlalu kencang.
Senyum Akira tertarik sempurna.
Ia mendekati suaminya, lalu mengambil duduk di samping dengan pelukan dan kecupan di bibir kemerahan itu.
“Tidak biasanya kau bekerja di sini, Sayang,” cetus Akira, bergelayut manja di leher Can.
Tatapan mesra perempuan itu berikan pada suaminya.
Fokus Can terbagi dengan sikap Akira.
Ia berusaha menurunkan kedua lengan Akira, tapi ditahan perempuan itu dan membuatnya memberikan atensi penuh pada istrinya. “Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku, Akira,” tegas Can.
“Bukankah kau terlalu berlebihan semalam? Jadi, aku memutuskan ingin menyelesaikan semuanya tepat waktu, selain jika ada urusan mendadak yang harus membuat tubuhku lelah. Setidaknya aku kembali pulang ke rumah dan bisa segera tidur pulas.”
“Can? Kau marah padaku?”
“Menurutmu? Apa aku harus tenang saat kau memperlihatkan kesedihan berlebih pada Bibimu, Akira?”
“Dia sudah terlalu jauh ikut urusan rumah tangga kita. Selama ini aku memilih mengalah dan menghargainya sebagai wali asuhmu. Di saat aku mengajakmu pindah ke rumah yang baru, kau tidak ingin mengikuti permintaanku.”
Tubuh Akira membeku.
Kali pertama setelah dua tahun ia bisa menikmati kehangatan dan juga suara tenang Can. Ucapan dan sorot mata itu mengingatkan Akira pada masa pahit yang ia alami.
Berada pada satu sisi dan kehampaan.
Ia tertegun, menelan saliva susah payah dengan mengerjap perlahan. “C-can,” cicit Akira, terkejut dengan perubahan sikap Can yang tidak terduga.
Can terpaku.
Ia mengerjap, menyugar pelan rambut hitamnya seraya mengetatkan rahang. Pria itu tidak sadar jika napasnya memburu, merasa ungkapan tersebut berasal dari emosi, tapi seharusnya Can bisa mengendalikan hal tersebut. “Akira ... maaf, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih,” sahut Can mendapati manik coklat Akira berkabut.
“Apa yang terjadi pada dirimu, Can?” satu bulir air mata membasahi pipi Akira.
Ia menatap manik coklat di hadapannya yang terasa asing. “Kau tidak pernah berkata seperti ini padaku.”
“Kita sudah berkomitmen sejak awal dalam pernikahan ini. Bahkan, kita sudah memiliki Reyhan. Kau ... kau sangat mencintaiku, Can. Tidak sedikitpun kau melukai perasaanku.”
“Tidak untuk hari ini,” tekannya dengan suara gemetar.
Ia menitikan kembali air mata, membuat Can diliputi rasa bersalah.
“Akira, maafkan aku.”
“Ini salahku yang terlalu berlebihan.”
Can mengalah.
Pria itu merengkuh tubuh rapuh Akira yang menangis dalam dekapannya. Akira memeluk erat Can, merasa pria itu memberikan jarak dalam hubungan mereka.
Akira tidak ingin ada jarak lagi yang akan menjadi jurang pernikahannya bersama Can. Ia sudah cukup jauh melangkah dan tidak akan mundur. “Aku dan dirimu adalah teman masa kecil, Can,” bisik Akira mengeratkan pelukan.
“Kau tidak pernah menyakiti perasaanku. Aku adalah cinta pertamamu dan di usia dewasa, kau menjadikanku sebagai tunanganmu. Hanya aku yang sedari dulu kau inginkan, bukan perempuan lain.”
Can mendekap erat tanpa menimpali.
Ia memejamkan kedua kelopak mata, mencoba merasakan apa yang diucapkan Akira. Namun, kehampaan justru semakin terasa dan membuat Can tidak bisa menerima atmosfer tersebut dalam ingatan juga hatinya.
“Aku mencintaimu, Can.”
Ungkapan itu tidak menyentuh dan menggetarkan perasaan Can.
Ia berdeham pelan, mengecup puncak kepala Akira dan mengusap rambut hitam tersebut. “Aku menyayangimu, Akira.”
“Kuharap kita dapat mengerti dan memahami posisi satu sama lain. Aku mengakui kesalahanku, tapi semoga kau juga dapat memosisikan keadaanku dengan baik.”
Akira mengangguk cepat dalam pelukan Can.
Dirinya tidak akan berulah lebih jauh dan melihat tatapan yang sama seperti dua tahun lalu. Akira akan menjadi seorang perempuan bodoh jika memantik kekesalan Can.
Pun, ia harus meminta Bibinya agar memberi batasan pada hubungan Akira bersama sang suami.
**
“Bisakah kau membagi nomor ponsel atau di mana unitmu berada, Nona Cantik?” Emine bersemu. Ia tidak menduga datang sebagai sekretaris Can ke pesta salah satu rekan kerja orangtua pria itu, justru membuat Emine kebingungan menanggapi banyak pria yang mendekat. Pria di hadapannya adalah orang kelima setelah susah payah Emine menyingkirkan yang lain. Karena jika ia melirik lagi ke sebelah kanan, maka tatapannya sudah dapat bertumpu dengan satu pria di meja tidak jauh. Can sedang mengobrol dengan beberapa rekan bisnis seusia, tapi sesekali melempar tatapan tajam ke arah Emine. Perempuan itu menelan saliva susah payah. “Aku akan langsung pulang bersama Tuan Sener malam ini, Tuan. Maafkan aku. Permisi.” Ia ingin menyelamatkan diri sebelum Can akan memusuhi Emine atau lebih parahnya perempuan itu diposisi Akira. Emine tidak ingin ditinggalkan Can begitu saja dengan kemarahan yang emosional. “Akhirnya,” cetus Emine mengembuskan napas lega setelah berdiri di tempat sepi. Segera ia mengh
Tidak ada yang menarik saat Emine harus bertemu Can di unit apartemen. Bahkan, setelah pria itu mengajaknya dengan penerbangan yang sama hingga berakhir di penthouse di negara yang mereka singgahi. Can lebih banyak diam tanpa berniat membuka satu percakapan pun.Emosi pria itu sedang tersulut dengan suasana hati yang benar-benar buruk, tidak pantas Emine ambil kesempatan karena hanya memperparah keadaan.Namun, perasaan mencelos menatap punggung lebar duduk di sofa, membelakangi Emine sedang menuang kesekian kali wine ke dalam gelas. Pria itu sedang stres, mengalihkan pikiran waras dengan minuman yang ia harapkan bisa meredakan pusing berdenyut, menyadari jika ia sudah mulai tidak nyaman dengan status pernikahan.“Can! Hentikan! Kau hampir menghabiskan dua botol!” sentak Emine meraih botol kedua yang sudah setengah tandas.Sosok pria di hadapannya sedikit mengerang, terus meminta botol tersebut kembali ke tangannya. Tapi Emine tidak kuat lagi dan merasa asing dengan pria yang dulu jau
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp