Share

4. Menyembunyikan Kebohongan

Minggu siang ini Can memutuskan kembali ke ruang kerja di sisi kamar. Pria itu meraih MacBook di atas sofa kamar, lalu meraih ponsel di atas meja yang sejak tadi ia abaikan.

Can hanya berniat sekilas melirik layar ponsel. Harus terpaku saat ada nomor asing tertera di sana dan terlihat ada foto yang dikirim.

Segera jemari ramping itu membuka isi pesan dan tertegun, merasakan gejolak hasrat tubuhnya terbakar melihat dua pose Emine.

Perempuan yang memperlihatkan senyum nakal. Tidak segan menaikkan arah kamera, mengambil senyuman nakal dengan satu tangan secara asal menahan selimut agar tidak turun.

Sepertinya pose itu diambil Emine saat Can membersihkan tubuh dan bergegas ingin pulang. Tentu sebelum hasratnya tidak bisa tertahankan untuk mencecap perempuan yang ia ambil keperawanannya.

Tubuh Can berdesir.

Napasnya berembus tidak beraturan dan pikirannya kembali pada malam panas mereka. Can terbuai dan ada satu titik di mana ia cukup kaget juga senang menjadi pria pertama untuk Emine.

Senyum samar terlihat di paras tampan Can yang sedikit memerah.

Namun, bunyi klakson mobil yang menandakan Akira dan Reyhan kembali dari pusat perbelanjaan. Membuat Can langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana pendek, lalu keluar kamar dengan MacBook yang akan ia bawa.

Can tidak jadi berada di ruang kerja dan memutuskan untuk berada di area gazebo dekat kolam renang.

Pria itu turun dari sisi lain, tidak ingin bertemu Akira di pintu utama.

“Di mana suamiku, Bibi?”

Akira membiarkan putranya di bawa pelayan untuk mengganti pakaian, sekaligus akan menyiapkan makan siang mereka.

Nyonya Erdem mendekati Keponakannya dan berucap, “Setelah kau pergi, Can belum terlihat keluar kamar. Mungkin dia terlalu lelah dan memilih tidur sementara waktu.”

Sorot manik coklat itu tampak kesal. “Aku tidak menyukai sikap Can yang seperti ini. Seharusnya kami menikmati akhir pekan bersama, bukan hanya berdua bersama Reyhan sekalipun hanya pergi ke pusat perbelanjaan sebentar,” jelas perempuan itu melirik lelah Nyonya Erdem.

Wanita yang sudah memasuki usia lima puluh tahun itu mengedik santai. “Pesanku, jangan membuat Can kembali pada sifat awalnya, meskipun dia tidak mengingat runut nyaris sepanjang hidupnya,” tekan wanita itu berbisik, membuat Akira tertegun.

Ia gelagapan saat diingatkan kembali akan fakta tersembunyi tersebut.

Perempuan itu takut kehilangan Can, pria yang sudah memikat hatinya sejak awal.

Akira mengangguk takut.

Keduanya berhenti berbicara saat seorang pelayan muda datang dari arah taman sedikit tergesa. “Kau ingin membuatkan minuman?” tanya Akira mengernyit.

“Iya, Nyonya.”

“Tuan memintaku menyiapkan makanan dan minuman untuknya di gazebo,” jelas perempuan itu berlalu, membuat Akira dan Nyonya Erdem saling bersitatap.

“Temui suamimu di sana, Akira,” bisik wanita berambut sebahu tersebut dengan tatapan tegasnya.

“Baik, Bibi,” balas Akira, berlalu meninggalkan Nyonya Erdem.

Akira melihat pria tampan yang menyorotnya teduh selama dua tahun ini, sedang duduk di gazebo dengan pilar kokoh di sisi masing-masing. Udara siang hari cukup memainkan sedikit helaian rambut Can dengan angin yang tidak terlalu kencang.

Senyum Akira tertarik sempurna.

Ia mendekati suaminya, lalu mengambil duduk di samping dengan pelukan dan kecupan di bibir kemerahan itu.

“Tidak biasanya kau bekerja di sini, Sayang,” cetus Akira, bergelayut manja di leher Can.

Tatapan mesra perempuan itu berikan pada suaminya.

Fokus Can terbagi dengan sikap Akira.

Ia berusaha menurunkan kedua lengan Akira, tapi ditahan perempuan itu dan membuatnya memberikan atensi penuh pada istrinya. “Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku, Akira,” tegas Can.

“Bukankah kau terlalu berlebihan semalam? Jadi, aku memutuskan ingin menyelesaikan semuanya tepat waktu, selain jika ada urusan mendadak yang harus membuat tubuhku lelah. Setidaknya aku kembali pulang ke rumah dan bisa segera tidur pulas.”

“Can? Kau marah padaku?”

“Menurutmu? Apa aku harus tenang saat kau memperlihatkan kesedihan berlebih pada Bibimu, Akira?”

“Dia sudah terlalu jauh ikut urusan rumah tangga kita. Selama ini aku memilih mengalah dan menghargainya sebagai wali asuhmu. Di saat aku mengajakmu pindah ke rumah yang baru, kau tidak ingin mengikuti permintaanku.”

Tubuh Akira membeku.

Kali pertama setelah dua tahun ia bisa menikmati kehangatan dan juga suara tenang Can. Ucapan dan sorot mata itu mengingatkan Akira pada masa pahit yang ia alami.

Berada pada satu sisi dan kehampaan.

Ia tertegun, menelan saliva susah payah dengan mengerjap perlahan. “C-can,” cicit Akira, terkejut dengan perubahan sikap Can yang tidak terduga.

Can terpaku.

Ia mengerjap, menyugar pelan rambut hitamnya seraya mengetatkan rahang. Pria itu tidak sadar jika napasnya memburu, merasa ungkapan tersebut berasal dari emosi, tapi seharusnya Can bisa mengendalikan hal tersebut. “Akira ... maaf, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih,” sahut Can mendapati manik coklat Akira berkabut.

“Apa yang terjadi pada dirimu, Can?” satu bulir air mata membasahi pipi Akira.

Ia menatap manik coklat di hadapannya yang terasa asing. “Kau tidak pernah berkata seperti ini padaku.”

“Kita sudah berkomitmen sejak awal dalam pernikahan ini. Bahkan, kita sudah memiliki Reyhan. Kau ... kau sangat mencintaiku, Can. Tidak sedikitpun kau melukai perasaanku.”

“Tidak untuk hari ini,” tekannya dengan suara gemetar.

Ia menitikan kembali air mata, membuat Can diliputi rasa bersalah.

“Akira, maafkan aku.”

“Ini salahku yang terlalu berlebihan.”

Can mengalah.

Pria itu merengkuh tubuh rapuh Akira yang menangis dalam dekapannya. Akira memeluk erat Can, merasa pria itu memberikan jarak dalam hubungan mereka.

Akira tidak ingin ada jarak lagi yang akan menjadi jurang pernikahannya bersama Can. Ia sudah cukup jauh melangkah dan tidak akan mundur. “Aku dan dirimu adalah teman masa kecil, Can,” bisik Akira mengeratkan pelukan.

“Kau tidak pernah menyakiti perasaanku. Aku adalah cinta pertamamu dan di usia dewasa, kau menjadikanku sebagai tunanganmu. Hanya aku yang sedari dulu kau inginkan, bukan perempuan lain.”

Can mendekap erat tanpa menimpali.

Ia memejamkan kedua kelopak mata, mencoba merasakan apa yang diucapkan Akira. Namun, kehampaan justru semakin terasa dan membuat Can tidak bisa menerima atmosfer tersebut dalam ingatan juga hatinya.

“Aku mencintaimu, Can.”

Ungkapan itu tidak menyentuh dan menggetarkan perasaan Can.

Ia berdeham pelan, mengecup puncak kepala Akira dan mengusap rambut hitam tersebut. “Aku menyayangimu, Akira.”

“Kuharap kita dapat mengerti dan memahami posisi satu sama lain. Aku mengakui kesalahanku, tapi semoga kau juga dapat memosisikan keadaanku dengan baik.”

Akira mengangguk cepat dalam pelukan Can.

Dirinya tidak akan berulah lebih jauh dan melihat tatapan yang sama seperti dua tahun lalu. Akira akan menjadi seorang perempuan bodoh jika memantik kekesalan Can.

Pun, ia harus meminta Bibinya agar memberi batasan pada hubungan Akira bersama sang suami.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status