Share

7. Merasa Cemburu

Rapat internal siang ini telah usai.

Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut.

“Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.”

Can tersenyum kecil.

Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda.

“Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.”

“Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.”

Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu segera sehat dan berkumpul dengan aktifitas biasanya.

“Amin ... semoga Allah selalu memberikan kesehatan untuk beliau,” sahut lelaki tersebut menengadahkan kedua telapak tangan.

“Tuan Sener, pukul dua siang Anda ada rapat di perusahaan Tuan Hakan.”

Can dan lelaki berstatus GM tersebut menoleh. Pria itu mengangguk pelan, lalu menjabat tangan lelaki di hadapannya dan berpamitan.

Emine mengikuti langkah Can, berada di sisi pria tinggi itu. “Pesankan aku makan siang saja. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku sambil menunggu jadwal selanjutnya.”

“Baik, Tuan,” balas Emine mengenggam erat berkas Can dan satu lagi memegang MacBook pria itu.

Suara ponsel milik Can membuat Emine melirik. Ia melihat Can merogoh satu celana sambil terus berjalan dan nama Akira terlihat sekilas di mata Emine.

Di saat Can menoleh ke samping, Emine berpura-pura tidak melihat. Ia tahu, pria itu memastikan apa Emine melihat atau tidak penelepon tersebut.

Ia mendengkus kesal, merasa Akira berlebihan mengusik jadwal bekerja Can. “Kau duluan saja Emine. Aku ingin ke area rooftop.”

Heels itu berhenti mengetuk di lantai di mana beberapa divisi terbagi. Ia melihat punggung Can semakin menjauh sambil menerima telepon Akira.

“Kenapa dia masih tidak ingin terbuka denganku?”

Emine merasa perih dalam hatinya ketika Can masih saja berjarak padanya.

Dada perempuan itu terasa sesak. Tapi ia melihat jika masih berada di area banyak pasang mata melihat. Ia tidak ingin ada satu orang atau lebih yang memandang ia penuh tanya karena memerhatikan atasan di perusahaan keluarga Sener.

Ia berlawanan arah, memasuki lift dan menuju meja kerja.

Sedangkan Can menyugar kasar rambutnya ketika Akira tidak bisa menerima penolakan Can. “Akira, kita tidak mungkin berlibur tanpa anak kita. Apa yang kau pikirkan sampai membiarkan anak kita tinggal di rumah tanpa salah satu di antara kita?”

Perempuan itu terus mengerengek ingin menikmati layaknya bulan madu. Entah kenapa Akira mencetuskan keinginannya secara mendadak dan tidak diduga Can.

“Reyhan belum memasuki masa liburan sekolahnya, Can. Lagipula, ada Bibi dan Pamanku yang akan menjaganya. Dia juga cucu mereka, kan?”

Can mengembuskan napas lelah.

“Kemarin adalah masalah untuk hubungan kita. Kau tidak pernah seperti itu, Can. Tapi aku berpikir lebih jauh, mungkin kau terlalu sibuk dan begitupula aku sampai kita seharusnya menyisihkan waktu untuk berdua.”

“Kau dan aku akan menghabiskan saat masa kita berdua menjadi sepasang kekasih.”

Can bisa membayangkan ada senyum terulas di bibir ranum Akira. Namun, ia tidak menginginkan Reyhan tanpa pengawasan salah satu dari mereka. Akira terlalu memaksakan diri dan Can tidak menyukai hal tersebut. “Jangan bersikap egois, Akira.”

“Bahkan, permasalahan kemarin tidak membuatku mendiamimu, bukan? Aku sudah menganggap hal itu adalah kesalahan kita berdua.”

“Jangan membuatku semakin terpantik dengan hal baru yang kau hadirkan.”

Hening.

Can mengeluarkan kalimat itu bukan tanpa alasan. Akira sangat sering memaksa Can, mengikuti permintaan perempuan itu. Bahkan, Akira sangat jarang mendengarkan penolakan berdasar yang kerap Can ajukan.

Hati perempuan itu terlalu mudah sensitif dan air mata adalah bagian terakhir yang disesalkan Can. “Akira ... apa terlalu sulit menunggu akhir tahun?”

Ia merendahkan suara agar Akira memahami permintaan Can. “Kau tidak boleh egois. Baik sebelum kita menikah, Reyhan memang belum ada. Sekarang, apa pun kebahagiaan yang kita ciptakan harus tetap bersama Reyhan.”

“Tapi, Can ... kau harus bisa menger—“

“—setelah makan siang aku akan menghadiri rapat di luar perusahaan. Lebih baik kita akhiri percakapan ini,” sahut pria itu cepat, lalu mematikan sambungan.

Can membuang napas kasar.

Ia menyandarkan tubuh di sofa panjang area ujung rooftop. Semakin hari ia sadar mengenai sifat Akira. Namun, ia juga berpikir bagaimana bisa jatuh cinta pada perempuan bernama Akira Muammer di masa lalu?

Can memijat pelipisnya.

Kepala pria itu sangat sakit jika harus mengingat apa yang dirasakannya di masa lalu. Berpikir keras akan membuatnya sakit dan itu juga merugikan Can. Ia tidak bisa menggali lebih dalam apa yang sudah ia habiskan bersama Akira. Waktu dan tentu perasaan tersebut tidak bisa ia ingat dan rasakan.

Can terdiam sesaat sambil melirik arloji.

Sebaiknya ia makan siang di luar ditemani Emine, lalu pergi ke perusahaan rekan kerjanya. Ia membutuhkan waktu untuk mengalihkan pikiran mengenai permintaan Akira.

Karena akan ada campur tangan dari pihak lain.

Ia sudah mengetahui ke mana Akira akan mengeluh, meminta bantuan agar permintaan perempuan itu terealisasi.

“Kenapa tidak diangkat?”

Kening Can mengernyit, melihat layar ponselnya tidak mendapati Emine mengangkat panggilan. Kali kedua ia mencoba dan mendapati hanya operator yang menjawab.

Ia berdecak kesal, lalu berjalan ke luar dan mendapati Bahar—pegawai divisi keuangan—cukup dekat dengan Emine, berpapasan dengan Can. “Selamat siang Tuan Sener.”

“Selamat siang,” balas Can.

“Apa kau melihat Emine?”

Bahar mengerjap. Ia kaget diberikan pertanyaan tersebut, tapi segera mengangguk dan menjawab dengan jelas. “Aku melihatnya turun ke area lobi, Tuan.”

“Jika tidak salah, dia mengatakan ditunggu temannya di area parkiran mobil.”

Teman? Siapa teman Emine tersebut?

“Baiklah. Terimakasih kau sudah membantuku.”

Bahar mengangguk dan termenung melihat kepergian Can, mengikuti apa yang tadi dijawabnya.

Can melangkah lebar, membawa kaki panjangnya untuk ke area lobi dan mencari keberadaan Emine. Beberapa pegawai yang melihat kehadirannya menyapa dan pria itu hanya membalas lewat anggukan pelan.

Perlahan, langkah Can semakin menipis melihat Emine dari kejauhan berdiri di sisi mobil bersama seorang pria.

Ia mengernyit, melihat punggung Emine dari belakang dan melihat gerakan tangan perempuan itu cukup serius.

Namun, beberapa detik ia menatap lekat keduanya.

Manik coklat pria itu terpaku dengan tubuh yang menegang.

Pria di seberang sana meraih wajah Emine, mencium perempuan itu di parkiran mobil.

Tiba-tiba, dada Can terasa perih dan sesak dalam waktu bersamaan.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status