Share

8. Jatuh Cinta

Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat.

Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat.

“Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat.

Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.”

Emine terkejut.

Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya, aku adalah mantan kekasihmu yang ingin kembali.”

“Apa pun itu, katakan. Jika perlu, aku adalah mantan terindahmu.”

“A-apa?” Ia tercekat.

Manik keduanya bersitatap. Ia menatap lekat perempuan yang sudah seperti saudarinya dengan sorot serius. Perempuan yang lima sentimeter lebih pendek darinya masih sulit mencerna kalimat Fuat. “Bukankah cinta pertamamu sangat mudah cemburu, Ayse? Lakukan. Perlihatkan lebih cepat bagian menarik ini. Dia akan salah paham dan rencanamu untuk membuatnya memberikan atensi penuh akan terwujud.”

Good luck!

Manik hazel itu kembali membeliak bersama kecupan singkat Fuat di kening Emine.

Pria itu berlalu, meninggalkan Emine dengan perasaan tidak keruan.

Bukan tentang perasaan cinta, melainkan saat di sekitar area parkir mobil yang sepi. Justru ada suara langkah sepatu yang kian mendekat. Napas Emine tercekat dan degup jantungnya begitu kuat terasa.

Ia menyeka kening yang basah karena peluh keringat, gugup sekaligus takut untuk berbalik.

“Dia kekasihmu?”

Tubuh Emine menegang.

Benar!

Fuat membuat adegan mereka terkesan lain di mata Can. Bahkan, ia berdiri tegang melihat Can menatap tajam Emine dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Jadi, semua ucapanmu hanya kebohongan belaka, Emine?”

Napas Can memburu, tapi ia tengah menenangkan diri. Sekalipun beberapa kali rahangnya begitu mengetat melihat bibir pria asing itu bersarang sejenak di kening Emine.

“Ada yang salah dari sikapnya?”

Can terpaku, sedikit membeliak mendapati pertanyaan balik Emine.

Tubuh kaku tadi berubah rileks. Bahkan, ia memperlihatkan senyum kecil yang terkesan meremehkan. “Lebih tepatnya, dia adalah mantan kekasihku.”

“Dia datang untuk terus memintaku kembali. Setidaknya, dia adalah pria pertama yang membuatku jatuh cinta. Karena dengan putusnya hubungan kami berdua, bukan berarti aku bisa melupakan dia seutuhnya.”

Can mendengkus pelan. Ia merasa tidak menyangka dengan balasan Emine. “Maksudmu, sudah diputuskan tapi masih berharap bisa kembali dengannya?”

“Kenapa? Memangnya tidak boleh?”

Sentilan kecil itu terasa di hati Can.

Emine mengedik santai. “Aku belum bisa melupakan dia secara sempurna. Wajar saja jika ucapanku masih bimbang menjawab pertanyaanmu.”

Perempuan itu melirik jam tangannya. “Can, sepertinya aku melewatkan pesananmu!” Emine menatap tajam jarum jam yang tertunjuk.

Ia lupa dan membuat perempuan itu panik.

Salahkan kekesalannya pada Fuat dan gerakan tidak terduga pria itu. Bahkan, ia harus bersandiwara dengan mendadak tanpa persiapan.

“Kau juga akan menghadiri rapat tidak sampai dua jam lagi,” tambah Emine dan bergegas melewati Can, berniat kembali ke meja kerjanya.

Namun, Emine meringis saat cekalan tangannya begitu kuat digenggam Can. Ia membeliak, terseok ketika Can menariknya menuju mobil Can yang terparkir lebih dekat dengan lobi. “Can?! Kita ingin ke mana?!”

“Masuk,” titah Can membuka pintu mobil untuk Emine.

Perempuan itu tertegun melihat sorot dingin Can.

Ia segera masuk dengan perasaan takut, khawatir dan mengembalikan ingatan Emine tentang beberapa menit lalu. Apa ia sangat keterlaluan dalam berbicara?

Jemari kedua tangan Emine tertaut di atas pangkuan. Gemuruh dalam dadanya terasa kuat saat tidak ada percakapan yang ia ataupun Can lontarkan. Suasana hening semakin membuat Emine gelisah.

“Ho-tel?”

Emine menoleh cepat ke arah Can. “Can? Kenapa kau membawaku ke mari?”

“Tidak sampai dua jam lagi kita akan menghadiri rapat.”

Kedua tangan Can mengenggam erat stir mobil. Ia menulikan indera pendengaran, memilih segera memarkirkan rapi SUV lain yang kerap ia minta parkir di parkiran dekat lobi, jika tidak di antar sopir.

“Can?”

Emine merasa tenggorokannya tercekat. Pria itu tidak menjawab pertanyaan ataupun panggilannya. Can memilih keluar, lalu membuka pintu mobil untuk Emine. “Ikut denganku.”

Ia merasakan tubuhnya bergetar saat tatapan dingin Can terus saja terpatri di sana.

Langkah pelan dan ragu tetap ditunggu Can. Setelahnya, perempuan itu mengikuti Can dari belakang, mengenggam erat kedua tangan yang terasa berkeringat di telapak Emine.

Di dalam lift tersebut terasa lama sekali bagi Emine. Perasaannya diliputi rasa gugup sekaligus bersalah.

Sampai langkah keduanya terhenti di depan pintu unit.

Emine mengerjap berulang kali, baru tersadar jika yang ia datangi adalah sebuah apartemen. Tempat kali pertama ia mencecap hasrat dewasa dan kepuasan serta kehangatan yang diberikan Can.

Tenggorokan perempuan itu terasa kering dengan napas tercekatnya.

Can membuka  pintu unit, masuk dan menyadari jika Emine masih berdiri mematung di sana. Perempuan dengan rambut coklat panjang berkuncir kuda itu terus termenung, membuat Can merasa tersinggung. “Kau tidak ingin berada di sini?”

“A-apa?”

“Lagipula, kenapa kau membawaku ke mari, Can?”

“Apa harus mantan kekasihmu yang mengajakmu ke tempat seperti ini, Emine?”

Bibir ranum itu sedikit terbuka.

Emine terpaku dengan pertanyaan Can.

Pria itu mengembuskan napas kasar, lalu menarik tangan Emine dan mengunci pintu tepat di keadaan sadar Emine yang terlambat.

“C-can?”

Kedua bahu Emine naik turun.

Ia mundur perlahan ketika sorot tajam dan dingin Can membuat Emine ketakutan. Sampai tidak ada lagi tempat yang bisa membuatnya melangkah mundur, kecuali pintu yang bisa ia buka jika kunci itu berada di tangannya.

Emine menelan saliva susah payah.

“Apa kau berniat mempermainkanku, Emine?”

Wajah Can mendekat, nyaris tidak sampai lima senti menatap lekat perempuan cantik berkulit putih itu.

Kedua tangan Can mengurung gerakan Emine agar tidak menjauh. Ia menyorot lekat manik yang selalu menyiratkan perubahan tanpa terduga. “Kemarin kau menyatakan rasa sukamu padaku. Bahkan, kau rela menghabiskan malam bersamaku.”

“Tapi siang ini ....”

Emine menahan napas saat hidung mancung di hadapannya bersinggungan dengan hidungnya. Napas hangat pria itu menggetarkan perasaan Emine. “Kau menyinggung perasaanku untuk pria masa lalumu.”

Emine terpaku dengan penuturan Can.

Sedangkan Can, memperlihatkan kebencian dan rsa tidak sukanya terhadap ucapan dan kebohongan Emine.

Karena sejak awal, perempuan itu tidak menyinggung pria masa lalu Emine. Termasuk bagaimana perempuan itu masih menyimpan satu nama yang belum tersingkirkan jauh dari pikiran dan hatinya. “Dan aku mulai tau, kau menjadikanku sebagai pelampiasanmu. Bukan rasa suka yang hadir dengan tulus.”

Jantung Emine berpacu cepat, melebihi dari bagaimana pikiran perempuan itu merespons, memahami ucapan Can.

Bahkan, kedua pipi perempuan itu memanas seiring kalimat yang kembali berputar di pikirannya.

“Kau ... cemburu?” kedua sudut bibir Emine berkedut.

Perasaan perempuan itu menghangat saat melihat tubuh Can kaku. Ia seolah sadar, mengerjap untuk ucapan yang ia lontarkan tersebut.

“Apa aku berhasil membuatmu cemburu dengan status pria di parkiran tadi, Can?”

Can gelagapan.

Pria itu menegakkan tubuh, membuang pandangan saat tatapan Emine menggodanya.

Emine tidak sanggup menutupi kebahagiaannya.

Fuat mengatakan yang sebenarnya. Hanya saja, Emine terlalu sulit mempercayai jika pria di hadapannya memang tidak berubah sama sekali.

“Dia mantan kekasihku. Aku memang belum bisa melupakan dia sepenuhnya. Tapi bukan berarti, aku juga menyatakan kebohongan tentang rasa sukaku padamu.”

Can tertegun saat Emine mendekat, lalu meraih kedua tangan Can untuk memeluk perempuan bertubuh semampainya. “Aku menyukaimu, Can. Itu sebabnya aku memintamu untuk menyadari keberadaanku agar aku tidak salah memilih pria lagi.”

“Karena aku merasakan debaran jauh lebih kuat dibandingkan dengan mantan kekasihku.”

“Kau ... membuatku jatuh cinta padamu hanya dalam hitungan hari,” bisik Emine dan memagut lembut bibir Can.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status