Sarah terpaksa menunggui ayahnya di luar rumah dua lantai di kawasan permukiman yang masih terbilang sepi itu. Was-was, dia melemparkan pandangan ke sekitar. Sejak tadi, tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan utama perumahan ini. Sarah benar-benar merasa sendiri saat itu.
Hingga ekor matanya menangkap sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di hadapannya. Sekilas, Sarah melihat sebuah pergerakan seseorang atau sesuatu di dalam mobil itu. Namun, dia tak dapat memastikan bahwa yang dia lihat adalah benar adanya.
Di tengah kegamangannya itu, terdengar ketukan kencang di kaca jendela mobilnya. Sarah terkejut sampai berjingkat. Dia mengelus dada, menetralkan debar jantungnya yang bergemuruh tatkala menyadari bahwa ayahnya lah yang telah mengetuk jendela di sampingnya itu.
"Buka pintunya, Sarah," pinta Abizar.
Dengan segera, Sarah membuka pintu mobil dan membiarkan ayahnya duduk di samping kursi kemudi. "Sudah selesai, Pa?" tanyanya.
"Sudah, kita pulang," jawab Abizar singkat. Setelahnya, Sarah langsung menyalakan mesin mobil, kembali menuju rumah mereka. Sepanjang perjalanan, Abizar hanya terdiam, seakan ada banyak beban yang menggelayut di pikirannya. Bahkan hingga malam tiba, Abizar masih juga tak banyak bicara, tak seperti biasanya, sampai pria paruh baya itu hendak masuk ke kamarnya.
"Papa sudah mau tidur? Tumben? Papa belum makan malam," ujar Sarah dengan raut keheranan. Pasalnya, sang ayah selalu tidur larut malam, sementara saat ini masih menunjukkan pukul delapan.
"Iya, papa lelah. Kamu juga istirahat ya, Sarah. Selamat malam," ucap Abizar seraya menutup pintu.
Sarah hanya tertegun di depan kamar sang ayah. Perasaannya mendadak resah, membayangkan jika ayahnya akan berbuat nekad lagi.
Tanpa Sarah ketahui, Abizar sedang bersiap-siap. Dia memakai T-shirt dan jaket kulit hitam serta sepatu yang juga berwarna senada. Dia menunggu sampai jam menunjukkan pukul dua belas malam.
Mengendap-endap, Abizar keluar dari kamarnya di lantai dua melalui jendela yang berhadapan langsung dengan pohon besar yang tumbuh di halaman rumahnya. Lincah, Abizar melompat ke dahan, lalu merambat turun. Di bawah sana, di luar pagar rumah, sebuah mobil jeep sudah siap menunggunya. Seorang pria yang tak lain adalah Fahmi, turun dari dalam kendaraan dan melompati pagar dengan begitu mudahnya, lalu berjalan ke bawah pohon. Abizar kemudian melompat tepat di hadapan Fahmi. Untuk pria seumuran Abizar, pria itu termasuk lincah dan bertenaga.
"Sst," Abizar menempelkan telunjuknya di depan bibir ketika tanpa sengaja Fahmi menginjak dahan patah.
"Ayo," ajak Fahmi sambil menarik lengan Abizar terburu-buru. "Theodore Bresslin sudah berangkat ke Bali sore tadi. Rumah Baskoro kosong, hanya beberapa penjaga saja yang siaga di sana," bisiknya begitu lirih.
"Apa posisi saya tetap seperti yang dijelaskan sore tadi?" tanya Abizar.
"Iya! Tidak berubah. Bapak yang memegang posisi paling penting pada misi kali ini. Jadi, tolong waspadalah," tegas Fahmi seraya memasuki mobil, diikuti oleh Abizar yang kemudian duduk di sampingnya.
Jeep itupun melaju perlahan meninggalkan kompleks perumahan Abizar, lalu bergerak kencang saat tiba di jalan raya utama. Tak kurang dari setengah jam, mereka tiba di kediaman mendiang Baskoro.
Ada tujuh orang di dalam kendaraan itu dan hanya Fahmi yang Abizar kenal. Keenam orang lainnya memasang tampang tak bersahabat dan terlihat garang. Sesungguhnya Abizar merasa sangat tidak nyaman, namun karena keadaanlah yang membuatnya terpaksa turut serta dalam tindakan tak terpuji ini.
"Sudah siap?" seorang pria yang duduk di belakang pemudi, memberi aba-aba.
"Siap!" sahut semua orang secara serempak, kecuali Abizar yang tetap menutup mulutnya.
Orang-orang itu memakai topeng, lalu bergegas turun dari kendaraan yang diparkir agak jauh dari rumah Baskoro. Hanya Abizar yang tak memakai penutup kepala apapun. Mereka kemudian bergerak menyebar ke bagian belakang dan samping kiri kanan rumah berlantai dua itu. Sedangkan Abizar berjalan pelan menuju gerbang depan. Dia menghampiri salah seorang penjaga yang berjaga di sisi gerbang.
"Permisi, selamat malam," gemetar nada suara Abizar menyapa penjaga tersebut.
"Siapa? Mau apa malam-malam?" sahut penjaga itu ketus.
"Maaf, saya tersesat. Saya ingin menanyakan alamat. Sebentar, saya ambilkan kertasnya," tangan Abizar merogoh saku bagian dalam jaket kulitnya. Akan tetapi, bukan kertas yang ia ambil, melainkan sebuah alat kejut listrik yang sudah siap menyala.
Secepat kilat, Abizar menjulurkan tangannya, melewati jeruji gerbang dan menempelkan alat kejut listrik itu ke dada si penjaga. Dalam hitungan detik, penjaga itu tersengat dan kejang, lalu jatuh tak sadarkan diri.
Melihat musuhnya sudah tak berdaya, Abizar meraih tangan pria yang terkapar itu dan menarik ibu jarinya. Dia mempergunakan ibu jari penjaga itu untuk membuka gerbang yang dikunci dengan alat khusus. Alat itu dapat terbuka hanya oleh sidik jari yang sesuai.
Abizar menempelkan sidik jari pria itu pada alat tersebut. Setelah terdengar bunyi berdenging, alat itupun terbuka. Dengan leluasa, ia mendorong gerbangnya hingga sedikit terbuka, lalu melintasi halaman depan, hingga tiba di pintu masuknya.
Abizar diam-diam teringat pada penjelasan yang dia dapat sore tadi bahwa alat gembok khusus yang baru saja ia buka itu juga berfungsi sebagai saklar untuk menyalakan dan mematikan arus listrik bertegangan tinggi yang mengalir ke seluruh penjuru pagar.
Melihat Abizar berhasil menjalankan misinya, rekan-rekan yang lain bersiap melompati pagar dari masing-masing sisi. Mereka memasuki rumah tanpa hambatan berarti.
Tak berapa lama, mereka semua berkumpul di ruang tamu. "Mahkotanya ada di ruangan bawah tanah," bisik Fahmi. Semuanya mengangguk, kemudian mulai meraba-raba permukaan lantai. Satu orang berhasil menemukan bulatan dari besi. Dia mencoba menariknya dan berhasil membuka pintu kecil di lantai yang menuju ruangan di bawahnya.
"Cepat!" Fahmi memberi aba-aba pada rekannya untuk turun ke ruangan bawah tanah. Tanpa menimbulkan suara, semua orang melompat ke dalam ruangan itu, kecuali Abizar. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam pertemuan sebelumnya, bahwa Abizar bertugas untuk menjaga sekitarnya.
Menit berlalu, Abizar masih siaga di dekat jalan masuk ruangan bawah tanah, sampai terdengar bunyi alarm yang memekakkan telinga. Sesuai yang diperintahkan, Abizar segera mengganjal semua pintu. Sementara, Fahmi dan semua rekannya menghambur dan memilih melompat ke luar jendela yang terhubung langsung dengan halaman samping.
Seharusnya Abizar ikut melompat, namun dia lebih sibuk menahan pintu yang mulai didobrak oleh beberapa orang. Apa daya, kekuatannya yang mulai rapuh di usia senja, tak sebanding dengan kekuatan beberapa orang yang kini berhasil merangsek masuk.
"Pencuri!" teriak salah satu dari orang-orang yang berseragam satpam itu.
"Cepat hubungi Pak Theo!" seru seorang lainnya.
Akan tetapi, Abizar tak ingin menyerah begitu saja. Dia berusaha untuk melompat ke luar, sama seperti yang dilakukan oleh rekan-rekannya tadi. Sayang, usahanya terhenti ketika seseorang memukul belakang kepalanya, hingga Abizar terjatuh dan tak sadarkan diri.
Hening terasa. Mata Abizar terpejam, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara detik jarum jam dinding yang entah berada di sebelah mana. Berat rasanya dia membuka kelopak mata. Deru napasnya terdengar cepat dan terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bagaikan ditikam ribuan belati. Parahnya lagi, tubuhnya seolah terikat, tak mampu dia gerakkan. Tiba-tiba kepalanya terasa basah. Seseorang sepertinya dengan sengaja menyiramkan air kepadanya. Air itu bahkan memasuki hidung, membuat Abizar makin kesusahan bernapas. Abizar terbatuk pelan, makin lama makin kencang sampai-sampai dadanya sesak."Bangun, Bodoh!" seru seseorang. Abizar yakin, seruan itu diperuntukkan baginya. Susah payah dia berusaha membuka mata. Pandangan yang awalnya mengabur, perlahan mulai terang dan jelas. Seorang pria asing berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang nan mengerikan. Rambut gondrongnya menutupi sebagian wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Iris mata coklat teran
Sarah terbangun ketika alarm digitalnya berbunyi nyaring. Sambil memicingkan mata, dia mengulurkan tangan dan memencet tombol di bagian atas alarm. Sekilas dia melihat jam menunjukkan pukul lima pagi. Sebenarnya Sarah masih merasa lelah dan mengantuk, tapi dia tetap memaksakan bangun. Semenjak ibunya meninggal, dialah yang bertugas untuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk sang ayah. Apalagi Abizar terbiasa bangun pagi-pagi sekali.Sarah menguap dan meregangkan tubuh di tepi tempat tidur sebelum beranjak keluar kamar dan menuju dapur. Dilihatnya kamar sang ayah masih tertutup rapat. Diapun melanjutkan aktivitasnya menyeduh kopi serta membuat sarapan sederhana. Sampai satu jam kemudian, hidangan untuk dirinya dan papanya sudah tertata rapi di meja makan. Begitu pula secangkir kopi panas dan teh.Sarahpun berlalu ke kamar Abizar. Pria paruh baya itu tak terlihat hendak keluar. Sesuatu yang tak biasa, mengingat sang ayah tak pernah bangun siang. Setitik rasa khawatir kembali muncul di d
"Bisa saya jelaskan sambil jalan?" Andaru mengarahkan Sarah menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi pagar."Sa-saya membawa kendaraan sendiri!" tolak Sarah."Tidak apa-apa. Anda tinggalkan kendaraannya di sini. Nanti saya antar kembali kemari," bujuk Andaru.Setelah berpikir agak lama, akhirnya Sarah menyetujui ajakan pria yang masih asing baginya itu. Dia mengikuti langkah Andaru dan memasuki mobil yang posisinya tepat di depan mobilnya. Sarah duduk di samping kursi kemudi.Setelah menyalakan mesin dan menjalankan kendaraannya, Andaru memulai penuturannya, "Ayah anda tertangkap telah memasuki rumah mendiang Pak Baskoro tanpa ijin. Pak Abizar bahkan telah melukai salah seorang penjaga."Bagaikan tersambar petir, Sarah melotot dengan raut yang sarat akan emosi. "Ayah saya tidak mungkin berbuat seperti itu!" tegasnya."Sayangnya, memang iya. Meskipun mereka berhasil merusak beberapa kamera CCTV, tapi sudah banyak saksi mata yang memergoki ayah anda masuk ke ruang tengah," sangg
"Menurut saya, itu bukan keputusan yang bijak," ucap Andaru hati-hati. "Secara hukum, pak Abizar berada pada posisi yang lemah. Dia menerobos masuk ke dalam properti pribadi seseorang tanpa izin. Bahkan pak Abizar juga sempat menyakiti salah seorang satpam rumah dengan menggunakan alat kejut listrik," sambungnya."Astaga," Sarah cukup terkejut mendengar penuturan Andaru. Sama sekali dirinya tak menyangka jika sang ayah sanggup berbuat nekat. Matanya berkaca-kaca menatap wajah tampan di depannya. "Kalaupun papa bersalah setidaknya jangan taruh dia di tempat seperti ini. Kesehatannya sudah menurun, apalagi usianya sudah tidak muda lagi," pinta gadis itu."Sudah saya sarankan, sebelumnya. Nona bisa meminta bantuan pengacara. Saya bisa membantu mencarikan pembela. Namun, syaratnya, anda harus diam dan menunggu," ujar Andaru."Menunggu, diam dan tidak melakukan apa-apa?" Sarah tak terima dengan saran yang diajukan oleh Andaru. "Sebagai seorang anak aku tidak mungkin membiarkan ayahku tersi
"Sekarang?" ulang Sarah yang juga tak percaya. Dia menoleh pada sang ayah yang juga keheranan."Bagaimana? Saya tidak punya banyak waktu," tawar Andaru tak sabar.Sarah mengangguk ragu. Dia tak punya pilihan lain selain mengiyakan. Akhirnya, setelah berpamitan pada Abizar, Sarah mengikuti langkah cepat Andaru menuju area parkir. Pria tampan itu mengemudikan kendaraannya entah kemana. Sedikit was-was, Sarah bertanya padanya, "Kita mau kemana? Terus mobil saya bagaimana?""Gampang. Aku akan menyuruh anak buahku memarkirkan mobil kamu ke dalam garasi pak Baskoro," jawab Andaru tenang. Tak ada lagi gaya bahasa formal dari pria itu. Sejak mendapat telepon dari bosnya, raut Andaru berubah tegang."Lalu, kuncinya?" Sarah menyodorkan kunci mobil, lalu mempermainkannya dengan telunjuk."Tanpa kuncipun sebenarnya mobil tetap bisa menyala," jawab Andaru datar."Maksudnya? Kalian menyabotase mobilku, begitu?" Sarah menautkan alisnya sebagai tanda tak setuju.Andaru melirik sekilas, kemudian terse
Sarah mengikuti langkah Andaru memasuki teras villa kemudian melintasi ruang tamu dan berjalan lurus ke bagian belakang villa. Sementara Theodore telah berjalan memasuki villanya lebih dulu dan menghilang entah kemana. Andaru membawa Sarah ke sebuah bangku taman yang terletak tepat di samping pintu masuk menuju halaman belakang. Suasana terasa begitu sepi untuk villa sebesar ini, membuat Sarah cukup merinding. "Kenapa tidak ada orang di sini?" tanya Sarah setengah berbisik."Kamu pikir saya dan bos saya bukan orang?" jawab Andaru dengan nada kesal. "Dengar, ya! Nanti kalau Tuan Bresslin bicara tentang apapun, tolong jangan dibantah! Kamu cukup mengangguk dan mengiyakan!" titahnya."Saya di sini ingin bernegosiasi. Kalau tidak boleh membantah, percuma dong, saya ke sini," sanggah Sarah.Andaru mengusap wajahnya kasar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nona Sarah, saya mengajak anda kemari, itu dengan usaha saya. Itu artinya, saya sudah bekerja keras hingga a
Sarah mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebisa mungkin dia tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, bongkahan emosi yang mengendap di dadanya, jauh lebih besar dari yang dapat dia tahan. "Ternyata, selain angkuh, anda juga tidak waras!" caci Sarah.Merah padam muka Theo mendengar hal itu. Seumur hidup, hanya ada dua perempuan yang tak bisa tunduk di hadapannya, yaitu Aruni dan gadis cantik beriris mata gelap di depannya ini. "Katakan sekali lagi?" geram Theo."Saya menolak! Anda tidak waras!" sentak Sarah dengan wajah menengadah, seakan menantang Theo."Hmm, baiklah! Kau sudah menentukan jalanmu! Mulai detik ini, jangan lagi memikirkan tentang ayahmu, karena dia akan membusuk di penjara!" ancam Theo.Gemetar seluruh tubuh Sarah mendengar hal itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki, harus kehilangan kebebasannya dengan cara yang teramat mengenaskan. Gadis itu kembali berniat membuka mulutnya, tapi Theo lebih dulu bersuara."Andaru!" teriak
Sarah harus menarik napas panjang-panjang dan membuangnya perlahan demi menetralkan perasaan dan pikiran rumit yang berkecamuk. "Haruskah saya memohon pada pelapor juga?" tanyanya lesu."Jelas! Apalagi kasus ayah anda ini termasuk pencurian besar. Barang yang hendak dicuri adalah benda antik bernilai seni tinggi. Harganya bisa mencapai puluhan milyar," terang polisi tersebut.Sarah setengah mendongak, lalu memijit dahinya. "Kalau pihak pelapor tidak memberi ijin, bagaimana?""Dengan terpaksa, ayah anda tidak bisa keluar dari sel ini sampai berkas-berkasnya dipindahkan ke kejaksaan. Kecuali anda memiliki pengacara yang bisa bernegosiasi. Apakah anda sudah memiliki pengacara?" polisi itu balik bertanya.Sarah menggeleng pelan. Mungkin sekarang waktunya dia kembali meminta tolong pada Andaru. Beruntung saat di pesawat, dia sempat meminta nomor telepon pria tampan itu.Butuh beberapa menit lamanya sampai Andaru menerima panggilan. Sarah memaklumi hal itu karena dia menghubungi pada waktu