Share

Bad Luck

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 10:05:52

Sarah terpaksa menunggui ayahnya di luar rumah dua lantai di kawasan permukiman yang masih terbilang sepi itu. Was-was, dia melemparkan pandangan ke sekitar. Sejak tadi, tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan utama perumahan ini. Sarah benar-benar merasa sendiri saat itu.

Hingga ekor matanya menangkap sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di hadapannya. Sekilas, Sarah melihat sebuah pergerakan seseorang atau sesuatu di dalam mobil itu. Namun, dia tak dapat memastikan bahwa yang dia lihat adalah benar adanya.

Di tengah kegamangannya itu, terdengar ketukan kencang di kaca jendela mobilnya. Sarah terkejut sampai berjingkat. Dia mengelus dada, menetralkan debar jantungnya yang bergemuruh tatkala menyadari bahwa ayahnya lah yang telah mengetuk jendela di sampingnya itu.

"Buka pintunya, Sarah," pinta Abizar.

Dengan segera, Sarah membuka pintu mobil dan membiarkan ayahnya duduk di samping kursi kemudi. "Sudah selesai, Pa?" tanyanya.

"Sudah, kita pulang," jawab Abizar singkat. Setelahnya, Sarah langsung menyalakan mesin mobil, kembali menuju rumah mereka. Sepanjang perjalanan, Abizar hanya terdiam, seakan ada banyak beban yang menggelayut di pikirannya. Bahkan hingga malam tiba, Abizar masih juga tak banyak bicara, tak seperti biasanya, sampai pria paruh baya itu hendak masuk ke kamarnya.

"Papa sudah mau tidur? Tumben? Papa belum makan malam," ujar Sarah dengan raut keheranan. Pasalnya, sang ayah selalu tidur larut malam, sementara saat ini masih menunjukkan pukul delapan.

"Iya, papa lelah. Kamu juga istirahat ya, Sarah. Selamat malam," ucap Abizar seraya menutup pintu.

Sarah hanya tertegun di depan kamar sang ayah. Perasaannya mendadak resah, membayangkan jika ayahnya akan berbuat nekad lagi.

Tanpa Sarah ketahui, Abizar sedang bersiap-siap. Dia memakai T-shirt dan jaket kulit hitam serta sepatu yang juga berwarna senada. Dia menunggu sampai jam menunjukkan pukul dua belas malam.

Mengendap-endap, Abizar keluar dari kamarnya di lantai dua melalui jendela yang berhadapan langsung dengan pohon besar yang tumbuh di halaman rumahnya. Lincah, Abizar melompat ke dahan, lalu merambat turun. Di bawah sana, di luar pagar rumah, sebuah mobil jeep sudah siap menunggunya. Seorang pria yang tak lain adalah Fahmi, turun dari dalam kendaraan dan melompati pagar dengan begitu mudahnya, lalu berjalan ke bawah pohon. Abizar kemudian melompat tepat di hadapan Fahmi. Untuk pria seumuran Abizar, pria itu termasuk lincah dan bertenaga.

"Sst," Abizar menempelkan telunjuknya di depan bibir ketika tanpa sengaja Fahmi menginjak dahan patah.

"Ayo," ajak Fahmi sambil menarik lengan Abizar terburu-buru. "Theodore Bresslin sudah berangkat ke Bali sore tadi. Rumah Baskoro kosong, hanya beberapa penjaga saja yang siaga di sana," bisiknya begitu lirih.

"Apa posisi saya tetap seperti yang dijelaskan sore tadi?" tanya Abizar.

"Iya! Tidak berubah. Bapak yang memegang posisi paling penting pada misi kali ini. Jadi, tolong waspadalah," tegas Fahmi seraya memasuki mobil, diikuti oleh Abizar yang kemudian duduk di sampingnya.

Jeep itupun melaju perlahan meninggalkan kompleks perumahan Abizar, lalu bergerak kencang saat tiba di jalan raya utama. Tak kurang dari setengah jam, mereka tiba di kediaman mendiang Baskoro.

Ada tujuh orang di dalam kendaraan itu dan hanya Fahmi yang Abizar kenal. Keenam orang lainnya memasang tampang tak bersahabat dan terlihat garang. Sesungguhnya Abizar merasa sangat tidak nyaman, namun karena keadaanlah yang membuatnya terpaksa turut serta dalam tindakan tak terpuji ini.

"Sudah siap?" seorang pria yang duduk di belakang pemudi, memberi aba-aba.

"Siap!" sahut semua orang secara serempak, kecuali Abizar yang tetap menutup mulutnya.

Orang-orang itu memakai topeng, lalu bergegas turun dari kendaraan yang diparkir agak jauh dari rumah Baskoro. Hanya Abizar yang tak memakai penutup kepala apapun. Mereka kemudian bergerak menyebar ke bagian belakang dan samping kiri kanan rumah berlantai dua itu. Sedangkan Abizar berjalan pelan menuju gerbang depan. Dia menghampiri salah seorang penjaga yang berjaga di sisi gerbang.

"Permisi, selamat malam," gemetar nada suara Abizar menyapa penjaga tersebut.

"Siapa? Mau apa malam-malam?" sahut penjaga itu ketus.

"Maaf, saya tersesat. Saya ingin menanyakan alamat. Sebentar, saya ambilkan kertasnya," tangan Abizar merogoh saku bagian dalam jaket kulitnya. Akan tetapi, bukan kertas yang ia ambil, melainkan sebuah alat kejut listrik yang sudah siap menyala.

Secepat kilat, Abizar menjulurkan tangannya, melewati jeruji gerbang dan menempelkan alat kejut listrik itu ke dada si penjaga. Dalam hitungan detik, penjaga itu tersengat dan kejang, lalu jatuh tak sadarkan diri.

Melihat musuhnya sudah tak berdaya, Abizar meraih tangan pria yang terkapar itu dan menarik ibu jarinya. Dia mempergunakan ibu jari penjaga itu untuk membuka gerbang yang dikunci dengan alat khusus. Alat itu dapat terbuka hanya oleh sidik jari yang sesuai.

Abizar menempelkan sidik jari pria itu pada alat tersebut. Setelah terdengar bunyi berdenging, alat itupun terbuka. Dengan leluasa, ia mendorong gerbangnya hingga sedikit terbuka, lalu melintasi halaman depan, hingga tiba di pintu masuknya.

Abizar diam-diam teringat pada penjelasan yang dia dapat sore tadi bahwa alat gembok khusus yang baru saja ia buka itu juga berfungsi sebagai saklar untuk menyalakan dan mematikan arus listrik bertegangan tinggi yang mengalir ke seluruh penjuru pagar.

Melihat Abizar berhasil menjalankan misinya, rekan-rekan yang lain bersiap melompati pagar dari masing-masing sisi. Mereka memasuki rumah tanpa hambatan berarti.

Tak berapa lama, mereka semua berkumpul di ruang tamu. "Mahkotanya ada di ruangan bawah tanah," bisik Fahmi. Semuanya mengangguk, kemudian mulai meraba-raba permukaan lantai. Satu orang berhasil menemukan bulatan dari besi. Dia mencoba menariknya dan berhasil membuka pintu kecil di lantai yang menuju ruangan di bawahnya.

"Cepat!" Fahmi memberi aba-aba pada rekannya untuk turun ke ruangan bawah tanah. Tanpa menimbulkan suara, semua orang melompat ke dalam ruangan itu, kecuali Abizar. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam pertemuan sebelumnya, bahwa Abizar bertugas untuk menjaga sekitarnya.

Menit berlalu, Abizar masih siaga di dekat jalan masuk ruangan bawah tanah, sampai terdengar bunyi alarm yang memekakkan telinga. Sesuai yang diperintahkan, Abizar segera mengganjal semua pintu. Sementara, Fahmi dan semua rekannya menghambur dan memilih melompat ke luar jendela yang terhubung langsung dengan halaman samping.

Seharusnya Abizar ikut melompat, namun dia lebih sibuk menahan pintu yang mulai didobrak oleh beberapa orang. Apa daya, kekuatannya yang mulai rapuh di usia senja, tak sebanding dengan kekuatan beberapa orang yang kini berhasil merangsek masuk.

"Pencuri!" teriak salah satu dari orang-orang yang berseragam satpam itu.

"Cepat hubungi Pak Theo!" seru seorang lainnya.

Akan tetapi, Abizar tak ingin menyerah begitu saja. Dia berusaha untuk melompat ke luar, sama seperti yang dilakukan oleh rekan-rekannya tadi. Sayang, usahanya terhenti ketika seseorang memukul belakang kepalanya, hingga Abizar terjatuh dan tak sadarkan diri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Beauty And The Boss   Together Forever

    Asisten kepercayaan Theo itu menatap sang majikan dan Sarah secara bergantian. "Kalian ... akan menikah?" tanya Andaru."Kurasa tak pantas untuk menjawab pertanyaanmu di tengah keadaan berduka seperti saat ini, Andaru," sahut Theo mengingatkan."Oh, maafkan saya. Saya hanya ...." Andaru tak melanjutkan kata-katanya, lalu memandang Sarah dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, saya permisi," ucap Andaru beberapa saat kemudian. "Saya harus mengurus pemakaman seperti yang diinginkan oleh Tuan Bresslin."Andaru mengangguk hormat pada Charlotte dan Austin, sebelum membalikkan badan meninggalkan ruang perawatan Sarah. Sesaat setelah menutup pintunya, Andaru menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan."Mas Andaru, terima kasih sudah memberikan saya tumpangan sementara sebelum pulang ke Indonesia," ucap Pradnya yang tiba-tiba sudah berdiri di luar kamar perawatan Sarah.Andaru sedikit terkejut. Dia mengusap-usap dadanya, kemudian tersenyum ramah pada Pradnya. "Tidak masalah, jangan ter

  • Beauty And The Boss   The New Chapter

    Sarah kini sudah berpakaian yang pantas. Charlotte meminjamkan dress cantik bermotif bunga untuk gadis cantik yang baru saja mengikrarkan hubungannya dengan Theo itu. Sambil menggenggam kertas kecil bertuliskan nomor ruangan, Sarah berlari-lari kecil melintasi koridor rumah sakit.Akan tetapi, sesampainya di kamar yang sesuai dengan catatannya, Sarah tak menemukan siapapun di sana. Ruang perawatan itu kosong. "Sebenarnya mereka berniat untuk merawatku di situ, tapi aku menolak. Aku merasa baik-baik saja," tiba-tiba terdengar sebuah suara yang teramat Sarah kenal dari arah belakang. Sarah langsung menoleh dan berbalik. "Theo! Syukurlah kau baik-baik saja!" ujarnya seraya menghambur ke pelukan Theo yang hangat."Maafkan aku karena telah memberimu catatan yang salah." Kata-kata Theo membuat Sarah mengernyit, lalu mengurai pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sarah ragu."Aku menyuruhmu ke rumah sakit, bukan untuk mendatangi ruangan ini," jawab Theo dengan sorot mata yang tak dapat diartik

  • Beauty And The Boss   Manusia Bebas

    "Saya tadi diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah saat anak buah Ammar menyeret mas Andaru dan bapak," tutur Pradnya. "Saat itulah saya mendengar bahwa mereka akan mengeksekusi anda semua tepat tengah hari nanti.""Kenapa harus menunggu sampai tengah hari?" celetuk Andaru. "Untuk memastikan bahwa Ammar sudah menerima mahkotanya lebih dulu," jelas Theo."Jadi, anda berniat untuk menjebak Ammar dengan mahkota itu?" Andaru terbelalak tak percaya. "Apakah pihak berwajib sudah merespons?" "Aku yakin mereka akan segera menanggapi laporan Cedric, mengingat kedekatanku dulu dengan Pak Walikota," gumam Theo."Nanti saja bicaranya, Tuan-tuan. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka datang," sela Pradnya. Theo dan Andaru saling pandang, lalu mengangguk. "Ayo!"Mereka bertiga bergegas keluar dari ruangan sempit yang mirip sel tersebut. Theo memimpin di depan, dibantu oleh Pradnya yang bertugas sebagai penunjuk arah. "Belok kanan, Sir," ujar Pradnya lirih.Theo terus melangkah waspa

  • Beauty And The Boss   Eksekusi

    "Andaru? Kau sudah datang?' Theo memicingkan mata seraya berusaha untuk bangkit. "Yes, Sir. Orang-orang Ammar mencegat kami di bandara, sama seperti yang telah anda rencanakan sebelumnya," jawab Andaru sambil membantu Theo untuk duduk. "Apa mereka sudah bergerak ke kandangku?" tanya Theo lagi. "Berdasarkan pengamatan Cedric, mereka sudah mendapatkan mahkotanya, Tuan," jelas Andaru. "Apakah yang kalian maksud itu adalah mahkota yang hendak dicuri oleh gerombolan Fahmi dulu?" sela seseorang yang tak lain adalah Abizar. "Oh, Abizar. Um, maksudku ... Pak Abizar. Apa kabarmu?" sapa theo dengan bahasa tubuh yang terlihat canggung. "Beginilah, Pak," sahut Abizar sembari tersenyum getir. "Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan putri saya," lanjutnya. Theo tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Putrimu aman bersama kedua orang tuaku," ujarnya pelan. "Benarkah? Oh, syukurlah," Abizar mengembuskan napas lega. "Lalu ... bagaimana setelah ini, Pak?" tanya Andaru. "Kau tenang saja," Theo

  • Beauty And The Boss   The Exchange

    Ammar tertawa nyaring hingga suaranya menggema ke setiap sudut ruangan. "Sarah Delila bukan barang dagangan. Dia tidak dijual. Kami hanya menjual keperawanannya saja, tapi tidak dengan tubuhnya," tolak Ammar. "Oh, jadi Sarah Delila hanyalah properti?" Theo memicingkan mata seraya menatap tajam ke arah pria berambut hitam dan lurus itu. "Benar sekali. Sarah Delila adalah properti kami. Seumur hidupnya, gadis itu adalah milik organisasi kami," tegas Ammar. "Bagaimana jika kutukar dengan mahkota Blood Diamond?" Theo mengangkat satu alisnya. Senyum menyeringai terukir di wajah tampan itu. Ammar terkesiap untuk sesaat. Tampaknya dia berpikir keras untuk menjawab tawaran Theo. "Aku sudah menyuruh anak buahmu untuk menggeledah kediaman Baskoro dan villamu yang berada di Bali. Mahkota itu tak ada di sana," ujarnya. "Tentu saja tak ada di sana. Aku tak pernah membawa mahkota itu ke Indonesia," Theo tertawa mengejek. "Ta-tapi, anak buahku sudah menyelidiki bahwa mahkota itu selalu kau bawa

  • Beauty And The Boss   Membeli Cinta

    Theo mengendarai motor dalam kecepatan tinggi dan tiba di tempat yang dituju sepuluh menit kemudian. Dia memarkirkan motornya secara asal di depan sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai di sisi lain kota London. Theo seolah tak takut jika seseorang membawa motornya pergi.Tak ingin membuang waktu, Theo menendang pintu masuk gedung kosong itu sekuat tenaga, hingga terlepas dari engselnya. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling aula yang tampak tak terawat itu. Theo lalu mendekat ke arah lift yang akan membawanya ke bawah tanah. Dia berniat masuk ke sana ketika menyadari bahwa lift itu telah rusak. "Apa-apaan ini?" geramnya tak percaya.Tangan kekar Theo menggebrak pintu lift sekencang mungkin, lalu berbalik mengitari ruangan luas tersebut untuk mencari jalan turun lain. Namun sepertinya, lift tersebut hanyalah satu-satunya cara menuju markas rahasia Ammar. Theo memutar otak, lalu menghubungi anak buahnya. "Aku kesulitan memasuki markas Ammar, Cedric. Apakah kau tidak mempunyai infor

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status