Share

Bab 2

Malam itu gelap, semua orang tahu itu. Hanya orang bodoh yang menganggap malam menjadi saat yang terang. Namun di sebuah kantor polisi masih tampak terang dengan bantuan lampu LED-nya. Di sana juga masih tampak cukup ramai dengan banyak orang yang berlalu lalang tengah bertugas. Namun ada satu ruangan di dalam bangunan itu yang tampak gelap gulita tak tersentuh cahaya. Entah sang pemilik memang memegang teguh prinsip jika malam memang harus gelap dan tak seharusnya terang atau ada faktor lain yang membuat ruangan itu gelap. Terlepas dari gelapnya ruangan, seseorang dalamnya nampak tak terganggu dengan diam bersemayam dalam kegelapan. Mungkin jika dalam serial horor, ruangan itu akan diberi label dilarang masuk, warning! Atau bahkan mungkin berbahaya.

Kesunyian yang biasanya berdampingan dengan kegelapan harus terganggu saat seorang pria yang datang dengan napas tersenggal mengetuk pintu tersebut secara brutal. Ketukan demi ketukan kian tergesa seiring dengan tak kunjung adanya sahutan dari dalam ruangan.

"Pakkkkk........?"

Hingga diketukan ke sekian pintu yang semula tertutup perlahan terbuka menampakkan seorang pria dengan wajah kusutnya. Mata yang sayup juga mulut menguap semakin menguatkan asumsi bila alasan di balik ruangan itu gelap bukan karena sang pemilik yang memegang teguh prinsip kegelapan malam, melainkan karena sang pemilik tertidur dan lupa menyalakan lampu ruangan.

"Kenapa?"

"Kita dapat laporan, Pak. Warga di sekitar jalan Markonah mengeluh karena ada aksi balap liar yang tengah berlangsung." Sandy, orang yang menjadi tersangka sebagai si pengetuk pintu menjelaskan informasi dengan lancar.

"Terus?"

"Kita harus bertindak, Pak."

"Kenapa kamu kasih tahu saya, kamu tahu saya kepala unit satresnarkoba. Harusnya laporan itu sampai ke anak sabhara, mereka yang biasa mengurus pelayanan masyarakat."

Sementara Jhonny yang memberikan ceramahnya panjang lebar, di tempatnya Sandy kian gelisah karena tak diberi waktu untuk menjelaskan. Pemuda itu menggertakkan gigi mencoba untuk bersabar menunggu penjelasan sang senior yang tentu sudah diketahui.

"Saya tahu. Tapi AIPTU Rahmat yang biasa memimpin tim Sabhara sedang izin tugas sedari siang. Lagi pula ada kemungkinan akan ada transaksi di sana, Pak."

Sejujurnya Jhonny merasa sedikit jengkel saat sesi meditasinya -yang terlewat kontrol hingga tertidur- harus diganggu. Mencoba berpikir positif di awal bila mungkin saja memang ada sesuatu yang darurat dari ketukan yang sudah tak memedulikan adab dan tata rama, nyatanya apa yang dipikirkan salah besar setelah mendengar penjelasan dari si tersangka pengetukkan yang tak lain ialah Sandy, Jhonny benar-benar dibuat kesal setengah mati.

"Masih ada AIPTU Dimas sama anak-anak Idik satu, kenapa infonya gak sampai ke dia?"

"Aiptu Dimas sama timnya lagi dalam misi pengintaian."

"Masih ada Aziz, Sandy." Jhonny ingin memulai sesi siraman rohani pada anak buahnya satu itu. Namun api kobaran kekesalan itu menguap saat Sandy tampak makin resah dan serius dengan wajahnya, membuat Jhonny mau tak mau berasumsi.

"Jangan bilang...." tebak sang Kanit saat pemuda di depannya hanya diam saja. Jhonny ingin mendengar jawaban penyangkalan dari apa yang dipikirkan jika Aziz sama seperti dua orang sebelumnya yang tak bisa memimpin tim. Hanya saja melihat Sandy yang mengangguk dramatis dengan wajah seriusnya sudah cukup untuk polisi itu mengerti bahwa diamnya Sandy merupakan pembenaran tersirat atas apa yang sebelumnya cuma prasangka semata. Tanpa sadar sang AIPTU harus menghela napas lelah mendengar kabar yang akan menyeret namanya pada suatu pekerjaan tersebut.

"Astaga, dia masih ikut kencan buta. Lagi?" Jhonny dengan segala rasa tidak percayanya, menekankan kata lagi.

"Begitulah."

"Kalau begitu telepon."

"Nggak bisa."

Mendengar penolakan dari Sandy atas perintahnya membuat sang kepala tim mengerutkan kening heran. Namun belum sempat memprotes, Sandy sudah terlebih dulu buka suara menjelaskan alasan dari penolakan perintah sebelumnya.

"Saya gak bisa ganggu orang yang sedang mencari kebahagiaannya."

"Gimana?"

"Anda tahu kan Pak Aziz itu single..."

"Bahkan sepolres juga tahu kalau dia jomblo garis keras. Jadi sebaiknya kamu cepat telepon dia karena kencan butanya kali ini juga akan berakhir sama."

"Justru karena itu, saya gak akan biarkan Anda mengganggunya, Pak."

"Saya nggak berkewajiban memimpin inspeksi ini, Sandy. Sebaiknya kamu cepat telepon dia!"

"Pak Aziz sedang berjuang mencari pendamping hidup, sedangkan di sini ada Anda yang hanya tertidur di ruangan."

Jhonny tak bisa untuk mengatupkan mulutnya saat Sandy menyerangnya telak. Sejak kapan pula Sandy yang mana salah satu anggota timnya lebih membela Aziz dan menentang keputusannya di mana di sini dia berstatus sebagai pimpinan pemuda itu. Sadar tak bisa memberi penyangkalan, Jhonny hanya bisa menarik napas pasrah dengan sebelah langan menyugar surainya ke belakang.

Seperti apa yang dijelaskan Sandy, sebagai anggota Polri ia memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengamankan dan menertibkan. Meski seharusnya ini menjadi tanggung jawab anak Sabhara yang dipimpin AIPTU Rahmat, namun apa boleh buat. Bahkan dua orang selain Pak Rahmat yang bisa dipercaya memimpin tim pun kini tak ada di tempat. Jhonny yang menjadi satu satunya orang yang tersisa mau tak mau harus turun tangan memimpin tim Sabhara dalam oprasi kali ini.

"Kasih tahu anak Sabhara kita segera berangkat."

"Mereka siap di posisi"

Saat itu pria yang menduduki posisi sebagai kepala tim tersebut rasanya ingin gila. Jika saja dia tidak tertidur dan langsung pulang, maka mungkin saja dia akan terlepas dari tanggung jawab dan drama ini. Posisinya memang sebagai pemimpin, tapi entah kenapa di sini Jhonny yang serasa dipimpin oleh anggotanya timnya, Sandy. Sandy benar-benar bertindak cepat seolah tak ingin membiarkannya untuk kembali masuk sekedar memejamkan mata yang masih terasa berat.

"Mereka sudah di parkiran." lanjut pemuda itu menambahkan.

Dengan suara berwibawa juga intonasi yang tinggi, Jhonny memaksakan semangat yang dibuat-buat agar pemuda di depannya puas telah berhasil menyeretnya keluar.

"Okey let's go. Tio, Ajun, Fajar kalian juga ikut. Inspeksi di TKP berjaga-jaga kalau ada transaksi."

Seperti yang dikatakan, tim Sabhara yang terdiri dari sekitar belasan orang sudah siap berkumpul di posisi saat sang AIPTU tiba di sana.

"Di sini saya akan menggantikan AIPTU Rahmat untuk memimpin tim Sabhara. Saya tidak akan bertele-tele. Saya juga yakin kalian sudah tahu situasi apa yang akan kita hadapi. Jadi saya minta jangan biarkan para pelaku lolos." Jhonny mengakhiri pidato singkatnya dengan mengedarkan mata pada para anak Sabhara yang mengangguk patuh menanggapi perintahnya.

"Saya minta empat orang memakai motor, menyamar menjadi warga sipil dan melaporkan situasu. Sisanya kita bagi jadi tiga. TKP yang kita datangi punya jalan alternatif yang akan memudahkan para pelaku lolos. Masing-masing dari tim yang akan dibagi akan berjaga dan mengepung rute pelarian. Kalian paham?"

"Siap, paham." Jawab mereka serentak.

Beberapa mobil juga motor dinas digunakan dan mulai meninggalkan kantor polisi satu persatu. Di salah satu mobil, Jhonny tengah mencoba kembali memejamkan mata yang masih cukup berat akibat tidurnya yang terganggu. Sementara Sandy yang duduk di sebelah sang kepala tim dan bertugas mengemudi sesekali menoleh ke samping, tepat pada posisi Jhonny yang tengah mencari posisi ternyaman.

"Jangan buka suara. Jangan ganggu saya sampai di TKP." peringat pria itu saat sadar jika Sandy akan mengusiknya.

"Kita lagi tugas, Pak."

"Kamu gak dengar apa yang saya bilang?" terdengar helaan napas berat setelahnya. "Seharusnya saya sadar, dari pertemuan pertama kamu tipe orang yang menyebalkan. Seharusnya saya biarkan komandan depak kamu waktu itu"

"Itu masa lalu, Pak. Maaf kalau saya terkesan membuat jengkel. Tapi ini demi kebaikan."

"Terserah kamu lah."

"Anda tahu, saya dengar teman kencan butanya Pak Aziz kali ini model." Sandy kembali buka suara setelah beberapa menit berisi keheningan.

"Serius, San? Wah gila. Menang banyak dia." Fajar yang duduk di kursi belakang langsung menanggapi.

"Menurut Anda gimana?" tanya Sandy pada sang kepala tim dengan lebih dulu menoleh sesaat untuk kembali fokus pada jalanan. Nasib menjadi junior, harus rela menjadi sopir di antara anggota tim yang lain.

"Saya nggak tertarik buat berkomentar. Lagi pula siapa juga cewek yang tahan sama cowok yang gugupan kayak dia." Jhonny dengan segala ke tidak acuhannya. Pria itu memilih mengabaikan dengan mencoba memejamkan mata mencari posisi terbaik dengan kepala bersandar pada punggung kursi mobil yang sudah diatur kemiringannya.

"Pak Aziz memang orang yang gampang gugup kalau berinteraksi sama wanita. Tapi setidaknya dia mau melakukan usaha dan nggak mudah menyerah."

Kali ini Jhonny benar-benar mengabaikan juniornya karena malas memberi tanggapan akan kegigihan seorang Aziz atau ia lebih menyukai menyebut itu 'kebodohan' seorang Aziz. Bagaimana tidak, Aziz, polisi satu itu sudah berkali-kali menjalani kencan buta dengan kondisinya yang mudah gugup saat berdekatan dengan lawan jenis. Satu polres tahu jika pria itu tak pernah memiliki kekasih, dan satu polres juga tahu setiap blind date yang dijalani pasti berakhir sama dengan tak pernah ada kelanjutan dari setiap pasangan yang didekati.

Seperti apa yang dipercayai dari kejadian-kejadian yang sudah lalu, pasti kencan buta Aziz kali ini akan berakhir sama. Tak akan ada wanita yang tahan dengan sikap pria itu, terkecuali jika Aziz memberikan cek bernilai milyaran dengan tujuan agar wanita itu menjadi pasangannya. Kata kasarnya, tak ada wanita tulus yang bisa menerima kekurangan dari pasangannya jika tanpa uang. Tapi bodohnya, Aziz masih saja bertahan dengan melakukan usaha yang sia-sia, atau versi Sandy menyebutnya sebuah kegigihan.

"Ahhh, saya dengar Anda juga melajang tanpa pernah punya pasangan seperti halnya Pak Aziz." Sandy dengan segala ocehannya. "Mas Fajar, emang bener?” lanjut pemuda itu mempertanyakan kebenaran pada anggota polisi senior yang duduk di kursi belakang.

"Setahu gue sih gitu. Kita nggak pernah lihat AIPTU Jhonny deket sama cewek. Bener gak, Jun?" tanya Fajar meminta pembenaran pada Ajun yang duduk di sebelahnya.

Pemuda yang sedari tadi lebih banyak diam itu hanya mengangguk kaku. Konsentrasinya terpusat pada rasa mual yang datang karena tak terbiasa dengan wangi melati pada pengharum mobil. Kontan saja pemuda itu membuka isi plastik persediaan dan memuntahkan isi lambungnya.

"Lo masih aja muntah dalem mobil" cibir Fajar tak habis pikir dengan menjaga jarak dan hidung yang sengaja dijepit dengan jari. Polisi tambun satu itu mau tak mau harus membantu dengan mengurut tengkuk sang rekan jika tak ingin adegan menjijikkan itu berlangsung lebih lama.

"Keluarin semuanya, Jun."

Selesai dengan muntahnya. Polisi berpangkat Briptu itu langsung bersandar lemas dengan kepala menengadah ke atas.

"Sialan.... Siapa yang ganti pengharumnya sama wangi melati?" teriak Ajun tak terima. "Ini pasti ulah si Tio. Sialan." umpatnya tak terima, naasnya Ajun harus kembali menunduk dengan kantong plastik yang susah sedia terbuka untuk kembali memuntahkan isi lambungnya.

Melupakan sejenak kegaduhan di kursi belakang, Jhonny yang masih menjalankan aksi abai mendadak merasa terusik. Terlebih situasi dan kondisi dalam mobil yang di tempati sudah tak kondusif. Entah itu suara muntahan dari Ajun, atau Fajar yang mengomel akan kebiasaan rekannya yang sukses membuat selera tidur seorang Jhonny terganggu. Bahkan sang Kanit harus sibuk menutup hidungnya menghindari bau semerbak dari muntahan seorang Ajun. Namun dari sekian banyak gangguan, satu hal yang paling mengusik polisi berpangkat AIPTU itu yaitu mengenai pertanyaan dari anggotanya, dan Jhonny tahu mereka masih mengharapkan sebuah jawaban sekalipun tanpa ada tuntutan.

"Pak, Anda nggak tertarik mempunyai pendamping?" sela Sandy di antara kehebohan.

"Saya gak tertarik buat punya sebuah hubungan. Lagi pula saat ini saya sudah cukup bahagia."

"Begitu kah? Anda yakin gak tertarik, atau sebenarnya....." beberapa detik berlalu untuk pemuda itu menggantung kalimatnya karena ragu untuk menyampaikan maksud yang ingin diutarakan.

"Lo ngomong aja bertele-tele." keluh Fajar pada Sandy lalu matanya berpindah pada sang kepala tim. "Maksud yang mau dibilang Sandy. Anda, gay?" Fajar dengan rasa tidak sabarnya bertanya frontal.

Sontak Ajun yang semula sudah lemas kembali merasa mual mendengar kalimat rekannya.

"A-APA? Omong kosong macam apa itu. Kalian fitnah saya gay?" Jhonny yang mendengar hal tersebut tak bisa untuk tak terperanjat.

"Saya gak habis pikir. Entah bagaimana pikiran kalian, yang jelas itu salah. Dan kenapa pula kalian harus sibuk urusi masalah asmara saya?" sangkal Jhon tak terima.

"Rumor yang bilang begitu, Pak." Sandy menambahkan dengan masih sibuk pada kemudi. Jujur saja, Fajar yang dengan gamblang mengutarakan maksudnya yang ingin berkonfrontasi tentang orientasi seksual sang kepala tim mereka cukup membuat Sandy merasa waswas. Bukan apa-apa, Sandy sadar jika dia masih punya salah pada pimpinan timnya itu.

"Jadi selama ini kalian anggap saya gay?" Sang Kanit menggelengkan kepala dengan raut horor membayangkan jika selama ini anggota tim yang ia percayai melihat dirinya sebagai penyuka sesama jenis. Membayangkannya saja sudah merinding.

"Asal kalian tahu, saya gak tertarik untuk punya relationship sama wanita bukan berarti saya doyan lontong. Saya ini cowok tulen, masih normal, dan berhenti mengoceh soal itu lagi. Case closed." putus Jhon mengakhiri percakapan.

Tak lama suara riuh keramaian mulai terdengar mengalihkan pembicaraan empat orang dalam mobil itu.

"Kita sampai. Syukurlah Anda nggak tidur lagi." papar Sandy dengan senyum yang terkesan menjengkelkan.

"Siapa yang mengoceh sepanjang perjalanan dan buat saya enggak bisa tidur?"

"Berarti saya berhasil mengulur waktu."

Kali ini Jhonny tak menanggapi dengan memilih mempersiapkan diri. Di ambilnya HT yang tepat tersampir di pinggang lalu mulai berbicara pada seluruh anggota tim yang terhubung lewat benda tersebut.

"Tim Sabhara, seperti rencana awal. Tangkap semua tersangka juga oknum-oknum penyelenggara balapan liar ini. Mengerti?"

"Siap, pak." terdengar jawaban serempak dari tiap anggota melalui alat komunikasi tersebut.

Jhonny memilih kembali duduk dengan menyandarkan punggungnya sejenak pada kursi. Polisi itu membuka jendela samping dan mulai menghirup udara malam, juga berupaya untuk menghilangkan bau muntahan Ajun dalam mobil.

"Langitnya gelap, sepertinya akan hujan." gumamnya sendiri dengan mata sejenak fokus memandang langit.

"Kalian, periksa tiap tersangka yang sekiranya mencurigakan sebagai pengedar dan pemakai. Lakukan tes urine di kantor nanti dan laporkan hasilnya."

"Siap." jawab ketiganya serempak.

Suara sirene mobil polisi yang mulai dinyalakan membuat semua orang yang ada di sana panik. Masing-masing berlari, memikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri sendiri. Bagai semut yang sedang berkumpul lalu di tiup angin. Mereka berhamburan tak tentu arah. Semua personil yang ada turun dari tiap kendaraan mulai menangkap pelaku-pelaku balap liar. Sama halnya dengan Jhonny yang juga turun dari mobil beserta tiga anggotanya, minus satu yang masih menyesuaikan diri setelah mengalami mabuk darat.

Kericuhan yang ada di depan mata membuat sang kepala tim memilih diam sejenak di tempat dengan mata mengedar. Fajar yang hanya mengenakan kaos hitam berlapis rompi anti peluru sudah bergerak dengan Sandy yang juga mengikuti. Sementara di posisi belakang, Ajun masih kesusahan mengatur mual dengan bersandar pada badan mobil yang membuat Jhonny hanya bisa menggeleng kasihan.

Sang Kanit tak lantas ikut menyergap. Polisi berpangkat AIPTU itu masih diam di tempatnya. Di saat situasi yang ricuh seperti sekarang, kejelian sangat diperlukan. Hingga matanya menangkap pria dengan wajah bercodet hendak melarikan diri. Hal itu membuatnya yakin jika sosok tersebut merupakan salah satu orang yang ikut andil dalam terselenggaranya balapan ini.

"Berhenti!" teriaknya mencegah si pria kabur.

Pria yang berpenampilan selayaknya preman itu diam dan berhasil diamankan meski harus diselingi aksi perlawanan saat Jhonny hendak memborgol. Tepat di saat yang sama, sambil memelintir tangan si pria di belakang punggung. Tak sengaja matanya menangkap sosok lain yang hendak pergi, sosok yang terkesan mencurigakan dengan penampilannya yang serba tertutup mengenakan jubah. Berbeda dengan yang lain, sosok itu tak berlari, dia hanya berjalan meski dengan langkah tergesa.

"Diem lo." bentak Jhonny saat masih mendapati aksi berontak dari si pria. "Ajun, kamu hendel orang ini." titahnya lalu pergi mengejar seorang lain yang juga berupaya kabur.

Rasa curiganya semakin kuat saat sosok tersebut terus berjalan meski sudah diperingati untuk berhenti. Dan entah di seruannya yang ke berapa untuk menyuruh sosok itu untuk berhenti. Bukannya mendengarkan, sosok berjubah hitam itu mulai berlari masih tak mengacuhkan peringatannya. Melihat itu instingnya sebagai seorang polisi kian kuat meyakini jika targetnya merupakan seorang yang memang pantas untuk ditangkap. Tak ingin tertinggal jauh, Jhonny juga mulai mengambil langkah besar dan cepat untuk mengejar target di depannya.

"BERHENTI. Sialan."

Sang polisi masih tak menyerah. Namun pria itu harus mulai memelankan langkah saat melihat si target melarikan diri dengan sebuah sepeda yang diambil secara kebetulan tengah terparkir sembarangan di pinggir pohon. Bahkan kini sang pemilik sepeda yang tiba-tiba muncul dari balik pojok pohon pun ikut mengejar.

Hanya umpatan yang keluar saat dia benar-benar menyadari jika dirinya tak bisa mengejarnya dengan hanya bermodalkan dua kaki untuk berlari. Menghirup napas dalam coba dilakukan beberapa kali berharap bisa menjernihkan pikiran untuk memikirkan cara menangkap targetnya. Lima detik kemudian, Jhonny mulai kembali berlari dengan memilih rute berlawanan dengan sang pemilik sepeda untuk mengejar si tersangka.

Butuh beberapa menit hingga sosok mencurigakan itu kembali muncul dalam jangkauan radar penglihatannya. Seperti yang sudah diduga, dengan memilih rute berbeda -meski itu harus menginjaki rerumputan yang seharusnya dilarang- perhitungannya terbukti sukses memangkas jarak dan waktu dalam pengejaran. Masih berlari dengan tak disadari keberadaannya, Jhonny mulai mencoba mendekat dari arah samping menunggu momentum yang pas. Hingga saat kesempatan datang, sang polisi tak menyia-nyiakannya dengan langsung menyergap. Aksi lompat indah yang bertujuan menangkap harus berakhir dengan tubuh mendarat keras di atas rumput.

Sepeda yang digunakan pun kini sudah terkapar bersama. Rasa sakit seketika mendera lengan kanan atas sang polisi yang paling awal bersentuhan dengan tanah, membuatnya harus meringis pelan tertahan. Tak berbeda jauh, satu orang lain dengan pakaian serba hitam juga tak bisa langsung melarikan diri.

Tak ingin memberikan kesempatan, sang AIPTU dengan cepat bangkit untuk mengunci lengan sosok di depannya yang masih meringkuk. Namun gerakan polisi itu terhenti kala telinganya mendengar suara kesakitan seorang perempuan.

"Ahwwww...."

Sang AIPTU yakin jika apa yang telinganya dengar tak salah dalam mengenali suara khas perempuan dan laki-laki. Ia masih belum terserang penyakit ganteng atau orang awam lebih mengenal dengan sebutan gangguan telinga yang biasa diderita para lansia. Keyakinan itu semakin kuat saat satu tangannya yang melakukan kuncian sedikit menekan menyebabkan rintihan yang sama kembali terdengar.

Sejujurnya ada sedikit rasa waswas menghadapi kemungkinan pertama jika suara itu merupakan suara makhluk halus bernama kuntilanak. Bagaimana tidak, setelah mengedarkan mata, pemuda itu tak melihat seorang pun selain mereka di taman sepi tersebut. Kemungkinan kedua, suara itu suara orang yang di tahannya. Keduanya sama-sama terasa mustahil mengingat orang yang dikejarnya sanggup berlari dalam kejaran untuk ukuran seorang wanita. Dan jika pun itu benar penunggu di sini, maka sepertinya dia harus memilih opsi kabur. Bukan apa-apa, Jhonny sadar betul imannya tak setebal itu untuk bisa menghadapi makhluk halus.

Namun tak ada gunanya membuat prasangka. Dalam praktikum sekalipun, membuat asumsi itu boleh, tapi kenapa tidak lakukan melakukan pembuktian saat apa yang hendak diketahui tepat ada di depan mata. Dengan cepat satu tangannya menyibak tudung yang menutupi wajah itu. Dan betapa terkejutnya ia melihat wajah di balik tudung kain hitam itu.

“Awww., sakit sialan

Mulutnya mendadak kelu untuk menyebutkan sebuah kalimat. Tidak, bahkan satu kata saja sudah membuatnya terbatas.

"K-kamu, Jes-Jessica?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status