Share

Bab 1

Pagi di hari itu cukup cerah dengan dihiasi gerombolan awan yang silih berganti saling mengejar. Di sebuah kantor polisi, seorang pemuda berdiri dengan mata memandang langit juga bangunan di hadapannya. Seragam PDU (Pakaian Dinas Upacara) yang dikenakan dengan balok berhias satu segitiga abu di bahu, membuat ia begitu bangga dengan senyum yang tak kunjung surut.

"Pagi yang indah untuk memulai hari." gumam pemuda tersebut.

Bangunan yang tampak sudah tua tak membuatnya sepi akan aktivitas. Banyak orang di sana dengan urusan beragam. Semakin pemuda itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, semakin banyak dia melihat hal baru. Ada kumpulan anak remaja yang tengah ditanyai dengan wajah yang babak belur. Ada seorang wanita yang menangis sambil menggumamkan tasnya yang hilang, ada pula pria dengan wajah sangar yang tengah digelandang. Terlalu fokus mengamati situasi sekitar membuat pemuda itu tak menyadari jika ada sosok lain di belakangnya.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Astaga...." pemuda itu terkesiap sesaat, namun tak untuk waktu yang lama dia sudah bisa mengembalikan pengendalian dirinya. Di sana matanya mendapati seorang polisi dengan perut tambun yang membuat seragamnya mengembang juga kepala plontos.

"Ahhh, itu. Saya polisi baru yang ditugaskan di sini."

"Oh pantes, saya gak pernah lihat kamu di sini." gumam sang polisi dengan satu tangan mengusap dagunya yang sedikit berbulu. “Kalau begitu kamu ikut saya, kita laporan dulu ke komandan."

Pemuda yang mendapat perintah hanya mengangguk patuh dan mengikuti. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di sebuah ruangan yang bisa ditebak sebagai ruang komandan. Polisi senior yang memimpin jalan terlebih dulu mengetuk pintu hingga terdengar seruan dari dalam yang memerintahkan masuk.

Hal pertama yang terbesit dalam pikirannya mengenai sosok komandan mereka ialah rambut putih, tubuh yang lebih tambun dari polisi sebelumnya, juga kumis yang tebal tentunya. Secara, pangkatnya saja komandan, maka bisa dipastikan sosoknya melebih apapun itu dari anggota polisi yang menjadi bawahannya. Namun semua bayangan itu pupus begitu saja saat melihat kenyataan yang ada. Jauh berbeda dengan apa yang dibayangkannya. Tak ada perut buncit, tak ada kumis lele, juga tak ada rambut putih.

"Permisi, Ndan" sapa sang polisi yang mengantar. "Saya mengantar polisi baru melapor." lanjutnya

"Oke, kamu boleh duduk." Katanya mempersilahkan lalu menoleh "dan Fajar, tunggu di sini!"

Pria paruh baya yang bisa ditaksir sudah berkepala empat dan tengah duduk di belakang meja itu jauh dari tanda-tanda bapak-bapak berumur pada umumnya. Tubuhnya tegap dan masih terjaga, wajahnya bersih tanpa bulu, juga rambutnya hitam legam tanpa uban. Namun satu yang membuatnya percaya jika sosok itu adalah sang komandan yang sudah mencicipi asam garam kehidupan ialah kerutan di wajahnya. Ahhh, sebaik apa pun menutupi usia, kerutan memang tak bisa membohongi. Sebaik apapun ingin menjadi muda, tetap saja sudah tua. Pftt....

"Lihat apa kamu?" tanya pria paruh baya di balik meja itu dengan sorot tajam.

Tertangkap basah saat sedang melakukan scanning pada calon atasan jelas bukan hal bagus. Rasa cemas seketika menerjang saat ditanyai dengan suara berat dan berwibawa tersebut. Seolah tak sabar menunggu jawaban, sang komandan tak membiarkan dengan kembali bertanya lebih spesifik.

"Ada yang salah dengan penampilan saya?"

"Nggak ada. Anda kelihatan segar dan muda." Jawabnya dengan senyum pasta gigi andalan. Beruntung dia pandai bersilat lidah. Ia yakin manusia mana pun saat dipuji akan penampilan yang tergolong menarik akan merasa tersanjung. Bukan apa-apa, itu semua pengalaman yang mengajarkan.

"Gak usah basa-basi. Kalau mau menyindir saya tua, bilang saja."

"Asal kamu tahu saya gak suka seorang penjilat." tambah pria dengan balok berhias dua bunga bersudut lima yang tersemat di pundaknya lebih lanjut, pria yang masih setia duduk di balik meja dengan tangan terlipat di depan dada

Di tempatnya duduk pemuda itu merasa shock luar biasa. Bagaimana bisa trik yang di pelajari dari pengalaman tak berhasil pada sang atasan. Menolehkan kepala ke belakang, berusaha meminta bantuan pada polisi senior yang membawanya, pemuda itu hanya mendapat sebuah senyum yang seakan mengatakan 'yang kuat ya'. Tak sampai di situ keterkejutan melanda, kini pemuda yang awalnya menganggap harinya sempurna itu serasa ditusuk pisau tak kasat mata dua kali. Tolong katakan di mana letak kesalahannya hingga dituduh seorang penjilat. Tolong katakan di mana letak kesalahannya, apa yang dia lakukan semata-mata hanya untuk memberi first impression yang baik pada calon atasan di depannya.

"Siapa nama kamu?"

"Saya?" tanya pemuda itu memastikan.

"Ya, iya kamu, siapa lagi?"

Hancurlah sudah kesan pertama sebagai anak buah teladan yang coba dibuat. Kenapa pula otaknya mendadak tumpul saat ditanyai pertayaan mudah seperti itu.

"Nama saya Sandy Permana. Saya...."

"Cukup."

Pemuda bernama Sandy yang hendak melanjutkan kalimatnya harus mendadak menjadi batu saat suara sang komandan memerintahkan untuk berhenti. Bahkan mulutnya tak bisa untuk terkatup rapat sekedar untuk menghalau lalat masuk.

"Saya sudah baca biodata kamu sebelumnya. Sekarang kamu bisa keluar." pria di belakang meja yang sedari tadi fokus pada kertas itu kini menolehkan mata tepat ke belakang di mana Sandy duduk. "Fajar, kamu bawa dia keliling dan kenalkan sama satuan organisasi kita."

"Siap, Ndan." jawab polisi yang masih berdiri di belakang dengan sikap sigap.

Sandy anjak berdiri dengan mendorong kursi yang didudukinya ke belakang. Cukup sudah ia mempermalukan diri, sudah saatnya dia memperlihatkan sikap tegas seorang polisi di depan komandannya dan menjaga sisa kewibawaan. Pemuda itu berjalan mengikuti polisi tambun dengan balok berhias segitiga perak bersusun tiga di pundaknya. Bisa keluar dari ruangan mencekam itu dengan keadaan utuh rasanya sungguh melegakan. Akhirnya dia bisa menghirup lebih banyak udara setelah mengalami tekanan yang begitu besar.

"Lo maklumin ya, Komandan emang suka begitu.”

Sandy menoleh menaikkan kepala dan mendapati sosok yang sama tengah tersenyum dengan jenaka. Pria bertubuh tambun itu menepuk bahunya akrab yang membuat Sandy ikut tersenyum tipis.

"Emang selalu gitu ya, pak?" tanya Sandy.

"Jangan panggil pak, panggil aja mas kalo sungkan. Berasa udah bapak-bapak jadinya. Dan soal pertanyaan tadi, jawabannya nggak. Komandan itu aslinya baik, cuma kadang sangar. Tapi tenang, ada pawangnya kok. Kebetulan ada di unit satuan kita, namanya AIPTU Jhonny Jhonnsy. "

"Oh gitu ya."

Mendengar informasi yang sangat berguna itu Sandy hanya bisa mangut-mangut sendiri. Dia tak akan membiarkan informasi sepenting itu lepas. Ia akan bersumpah untuk menimba ilmu dan segala tips and trik dari orang yang dikenal sebagai pawangnya sang komandan untuk menghadapi pria paruh baya itu. Ia akan ingat nama orang itu dan mencarinya nanti.

"Oke, biar gue jelaskan dari mulai struktur organisasi di satuan resersenarkoba ini." jelasnya sambil memimpin jalan. "Jadi jabatan kasatresnarkoba, seperti yang udah lo tahu di pegang sama AKBP Wibowo S.H. yang bertanggung jawab langsung sama Kapolres dan Wakapolres. AKBP Wibowo di bantu sama Kaur Mintu* yang di pegang sama AIPTU Dwi Faiz S.E, dan jajaran stafnya."

*(kaur Mintu = kepala urusan administrasi dan ketatausahaan)

Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang bisa dipastikan sarangnya anak-anak Ur mintu seperti yang dijelaskan oleh Fajar. Di sana tampak sebagian besar dari mereka memang sibuk berjibaku dengan komputer untuk urusan administrasi dan tata usaha kepolisian.

"Terus jabatan Kaur Binops*, yang di pegang sama IPDA Adang. Sampe sini paham?"

*(kaur Binops =kepala urusan pembinaan operasional.)

"Siap paham." jawab Sandy tegas.

"Terus ada dua unit yang tugas di lapangan. Idik satu dengan AIPTU Dimas sebagai kanitnya. Terus ada Idik dua, atau anak-anak lebih suka menyebutnya tim Aligator yang dipimpin sama Kanit Jhonny Jhonnsy. Di sana ruang meeting anak-anak yang biasa dipakai Idik satu atau tim kita." jelasnya sambil tetap memimpin jalan menuju sebuah ruangan berisi empat meja dan kursi membentuk leter L.

*(Kanit= kepala unit)

"Oh ya, dari tadi kita belum kenalan. Bripka Fajar, kebetulan kita satu unit di bawah pimpinan Kanit Aiptu Jhonny." polisi bernama Fajar memperkenalkan diri mengajak berjabat tangan.

"Bripda Sandy Permana. Mohon bantuannya." jawabnya sambil membalas berjabat tangan.

"Mas Fajar, anggota yang lain pada belum kumpul?" tanya Sandy heran melihat sisa meja yang masih kosong.

"Ouh, itu. Ketua tim kita itu orangnya santai, gak kaku. Kayaknya sih anak-anak masih pada ngopi dulu, nanti juga dateng. Lo gue tinggal dulu ya, ke toilet. Lihat-lihat aja dulu keliling." Pamit bripka Fajar sebelum pergi.

Di tinggalkan sendiri di ruangan yang masih kosong membuat Sandy jenuh sendiri. Seperti kata Bripka Fajar padanya, pemuda itu memilih melangkahkan kaki entah ke mana untuk sekedar melihat-lihat. Berjalan tanpa tujuan dengan mata mengedar, Sandy dapat melihat banyak aktivitas dari satuan lain. Tergabung dalam sat Narkoba menjadi satu yang diimpikan, namun di luar itu dia bisa melihat satuan lain yang tengah bekerja keras. Seperti anggota reserse kriminal yang membekuk tersangka, atau bahkan beberapa polisi yang duduk dan melakukan pelayanan umum pada masyarakat yang mengeluh tentang pelaporan aksi kejahatan. Hingga tanpa sadar di tengah aksi melamunnya, seseorang begitu saja menabrak pundaknya. Sandy yang merasa kesal segera mencari sosok si pelaku yang masih berdiri di depannya.

"Maaf." kata pria yang menabrak.

Namun jangan harap bisa berakhir semudah itu. Enak saja bisa lolos hanya dengan kata maaf. Terlebih saat ini dia sedang kesal karena mengawali hari pertamanya bekerja dengan menyedihkan di depan sang komandan. Biar lah pria di depannya yang tak bersalah harus menjadi pelampiasan. Sandy tahu itu tak adil, terlebih pria itu hanya sebatas menubruk dan sudah meminta maaf. Tapi apa mau dikata, dia terlanjur tersulut emosi.

Dengan dagu sedikit terangkat, pemuda itu mulai melancarkan aksinya. Langkah pertama, tunjukan siapa yang berkuasa. Dengan sorot menilai penampilan si pria dari atas sampai bawah, Sandy memperlihatkan perbedaan mereka. Seragam polisinya jelas lebih unggul dari pada kaos putih polos dengan celana denim yang dikenakan si pria.

"Kamu pikir saya hantu bisa ditembus kalo ditabrak?" tanya Sandy sinis.

"Sekali lagi saya minta maaf."

"Gampang banget ya minta maaf." terbawa suasana dalam memerankan peranannya, Sandy tak peduli jika aksinya mulai menarik perhatian. "Kalau jalan tuh pakai mata, bisa?" lanjutnya dengan nada sinis.

"Ada apa ini ribut-ribut?" sebuah suara bernada berat menengahi.

Kekesalan yang tadi menggebu-gebu kini harus sejenak reda saat mendengar suara berat yang masih terngiang dikepalanya. Tentu saja Sandy masih belum lupa akan si pemilik suara yang tak lain komandannya. Pria paruh baya itu nampak baru saja keluar dari ruangan dan kini tengah berjalan ke arah mereka. Sandy yang sejenak berpikir mendapat sebuah pencerahan. Matanya berkilat sempurna penuh binar saat melihat sang komandan datang. Entah pria paruh baya itu tengah mengadakan inspeksi atau semacamnya, yang pasti ini kesempatannya untuk menyelamatkan harga diri yang sesaat lalu hancur di depan sang komandan.

Dengan skenario yang sudah tersusun rapi dalam kepala, Sandy tersenyum penuh arti sambil melirik sosok si pria penabrak. Maaf, tapi sepertinya pria itu harus kembali menjadi korban dengan memerankan drama karangannya sebagai pemeran kriminal dan dirinya menjadi petugas yang penuh tanggung jawab.

"Maaf Ndan, tadi kriminal ini berkeliaran terus nabrak saya. Sepertinya dia mau mencoba kabur." Jelas Sandy tersenyum pongah.

"K-Kriminal?" ulang sang komandan kebingungan.

"Iya Ndan." Sandy menjawab dengan keyakinan kuat, tersirat jelas dari nadanya.

Analisisnya tak mungkin salah, dari mulai wajah yang dimiliki si pria di mana terdapat bekas ruam juga luka kecil yang mengering, ditambah pakaian yang digunakan. Sandy semakin yakin terlebih saat ini dirinya sudah terlanjur jadi pusat perhatian dengan beberapa orang yang tengah berbisik. Ahhh, pasti karena dia yang seorang anak baru namun sudah sigap dan cekatan dalam bekerja.

Tak lama dua orang berseragam polisi lengkap dengan balok berhias segitiga perak bersusun dua di pundak datang dari arah belakang si pria penabrak. Hal kian menguatkan asumsinya jika pria itu salah satu kriminal yang berniat mengendap-endap kabur.

"Kamu cepat bilang kesalahan kamu. Mumpung ada komandan. Beliau bijaksana, mungkin saja masa hukuman kamu diperpendek." lanjut Sandy menambahkan.

Si pria penabrak yang ditanyai hanya diam dengan mata yang juga sama bingungnya. Hal itu membuat Sandy kesal dan melayangkan tangannya memukul lengan atas si pria asing keras. Bahkan bunyinya cukup nyaring untuk menarik perhatian sekitar.

"Ahhh, biar saya bawa langsung saja, Ndan." inisiatifnya.

"Gak perlu, tolong kamu bawa dia ke ruangan saya saja." tolak Wibowo.

"Tapi Ndan. Kriminal ini bisa..." Belum selesai menyampaikan rasa keberatannya, Sandy harus mengatupkan mulut saat satu tangan pria paruh baya itu terangkat dengan telunjuk yang mengacung ke atas, mengisyaratkan Sandy untuk diam.

"Ayo Jhon, saya tunggu laporan kamu." Potong sang komandan dengan satu tangan merangkul pundak si pria.

Di tempatnya berdiri Sandy diam dengan segala pemikiran yang bertebaran. Apa kata komandan tadi? Laporan. Apa kriminal itu kriminal khusus, maka laporan kejahatannya harus disampaikan secara langsung. Lalu sikap akrab itu? Bagaimana bisa komandan yang terhormat bersikap sangat ramah seperti itu pada seorang kriminal. Atau ini visi misi kantor polisi di sini yang melayani dengan keramahan? Dan terakhir, siapa tadi namanya? Jhon. Sandy merasa pernah mendengar nama itu, nama yang terasa tak asing dan baru di dengarnya.

"Ngomong-ngomong ke mana seragam kamu?" suara Wibow kembali terdengar.

"Ahhh, itu.... seragam saya ketumpahan kopi anak-anak, jadi terpaksa saay lepas."

Di saat Sandy tengah berpikir, telinganya masih bisa sayup-sayup mendengar pembicaraan pria bernama Jhon dengan sang komandan.

Jhon...

Jhonny, kah?

Apa itu, Jhonny yang akan menjadi kepala tim unitnya?

Di tempatnya berdiri, Sandy terkejut luar biasa mengetahui pria yang dituduhnya sebagai kriminal ialah seorang polisi yang akan menjadi senior sekaligus pimpinan unitnya. Berbagai spekulasi akan apa yang terjadi ke depan berkelebat di kepala. Mulai dari yang biasa sampai yang terburuk, di mana dirinya yang berakhir dipecat bahkan sebelum mulai bekerja. Tidak, Sandy tak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Meski sejujurnya pemecatan bukan hal yang mustahil mengingat kesalahannya barusan.

Masih dengan keterpakuan, Sandy dengan sigap melompat tak peduli jika tubuhnya akan membentur lantai yang dingin. Dia tak akan membiarkan kesalahan ini semakin menjadi dengan tidak meminta maaf. Setidaknya Sandy harus berusaha meski, pada akhirnya akan di pecat. Niatan ingin meraih satu kaki dan bersujud -bukannya merasakan sakit- Sandy merasa tubuhnya di tahan dan melayang. Membuka mata yang sebelumnya terpejam, Sandy mendapati masing-masing lengannya di tahan dua polisi yang sebelumnya terbengong.

"Lepas!!!" berontaknya.

Sandy sudah tak peduli jika yang dilakukannya merupakan hal yang memalukan sekalipun. Dia juga tak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian. Sedari awal pun dia sadar sudah mempermalukan diri. Lalu kenapa harus meragu untuk berenang di kolam rasa malu saat dia sudah basah kuyup.

Persetanan dengan semua harga diri.

"MAAFKAN SAYA, PAK."

Bukan lagi sekedar gumaman, melainkan sebuah teriakan lantang yang menggema di penjuru kantor. Semua senyap dan diam. Aksi nekat tersebut sukses menarik perhatian banyak orang, termasuk komandan dan pria bernama Jhonny yang akan menjadi kepala timnya. Dengan ragu Sandy mengangkat kepalanya dan mendapati sepasang mata sangar milik komandan juga sepasang mata lain yang menatapnya heran.

"Saya kriminal, bukan atasan kamu, ingat?" balas pria bernama Jhonny yang sukses membuat Sandy gelagapan.

"Saya minta maaf karena tuduhan tidak berdasar tersebut."

"Kamu ini. Baru masuk sudah..." geram komandan

"Ndan..."

Pria bernama Jhon menginterupsi sang komandan yang hendak berceramah. Pria itu menepuk pundak sang atasan pelan dan tersenyum sambil mengangguk, mengisyaratkan jika dirinya yang akan mengambil alih.

"Anda kelihatan lebih mudah juga segar." puji Jhonny dengan niat meredakan emosi sang komandan.

Sandy yang masih setia ditahan dam memperhatikan hanya tersenyum prihatin. Dia sadar betul apa yang dilayangkan kepala timnya itu akan mengundang cibiran pedas dari sang komandan, karena itu ialah kalimat yang sama persis yang dilontarkan Sandy sebelumnya.

"Ini pasti gara-gara rambutnya yang disemir mengkilap begini?" lanjutnya memuji.

"Bisa saja kamu."

Entah untuk ke berapa kalinya Sandy harus mengalami serangan shock dadakan setelah memasuki kantor polisi ini. Satu hal yang membuatnya terguncang dalam situasi kali ini ialah kalimat 'Bisa saja kamu'. Kalimat yang jelas jauh berbeda dari apa yang diterimanya setelah melayangkan pujian yang sama. Tentu saja kalimat itu bukan jenis kalimat memaki. Bahkan tak ada nada sinis di dalamnya yang bisa menjadikan kalimat itu sebagai kalimat dengan rasa tak suka. Bahkan kini sang tersangka yang mendapat pujian nampak tersanjung dengan terus mengusap rambutnya yang hitam legam.

"Komandan bisa duluan, saya akan menyusul nanti."  Jhon menengahi.

"Tentu, saya tunggu di ruangan."

Tak butuh waktu lama bagi pria paruh baya itu pergi di balik pintu ruangan karena jarak yang lumayan tergolong dekat. Kini pria bernama Jhonny mengalihkan fokusnya pada dia yang masih di tahan dua polisi.

"Saya minta maaf sekali lagi." Sandy mengulangi sambil menunduk.

Beberapa saat pemuda itu menunggu sebuah respons, namun tak ada. Pria di depannya tak mengatakan sepatah kata pun membuat dia harus mengangkat kepala. Saat menaikkan mata, di sana Sandy mendapati si pria yang hanya menatapnya dengan menghela napas.

"Anggap saja kita impas. Saya menabrak kamu sebelumnya, ingat?" tutur Jhonny.

"T-tapi, itu...."

Plak

Sebuah pukulan mendarat di lengan atas Sandy. Awalnya pemuda itu memejamkan mata mengingat itu mungkin pembalasan dari sang kepala tim. Namun indra perasanya tak mendapatkan rasa nyeri yang berlebih, bahkan mungkin pukulan yang dilayangkan oleh Sandy tadi tergolong lebih pedas.

"Kamu anak baru di satuan narkoba, kan?" Sandy hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Kamu juga anak baru yang masuk tim saya?" kedua kalinya Sandy hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Oke... Tio, Ajun, bawa dulu dia ke ruangan. Kita briefing nanti."

Tak ada makian, tak ada bentakan layaknya senior yang memarahi junior, juga tak ada kemarahan. Sandy yakin apa yang dilakukan olehnya sudah tergolong keterlaluan untuk membuat seseorang memakinya.

"Dan satu lagi, tolong kamu jangan nilai seseorang dari luarnya." Tutur Jhonny sebelum menarik pintu ruangan komandan Wibowo.

Untuk ke sekian kalinya Sandy terdiam di tempat. Berbeda dengan sebelumnya yang didominasi rasa terkejut, kali ini keterpakuannya murni karena rasa kagum. Penggalan kata terakhir tersebut bukan hal baru di telinganya. Banyak orang mengatakannya hal sama. Banyak buku yang menuliskannya hal sama. Bahkan Sandy pernah mendengar kata lain yang sejenis dan bermakna sama 'yaitu jangan menilai buku dari sampulnya'. Namun entah kenapa rasanya sangat berbeda saat sang senior yang mengatakan. Dan kini pria bernama Jhonny itu meninggalkannya dengan sangat keren. Bahkan mungkin di mata Sandy saat ini ada sinar yang menguar dari tubuh polisi yang tak lain kepala tim unitnya.

Jhonny, dia pria baik, tampan, berkarisma juga berwibawa. Pria sempurna yang sangat jarang ditemui. Sangat sayang, tapi Sandy harus mengakui jika pria itu jauh lebih cocok dibanding dirinya untuk menjadi peran utama pria dalam cerita ini. Dan biarkan Sandy yang juga tampan ini berperan sebagai figuran dengan menjadi junior yang membantu sang tokoh utama menemukan kebahagiaannya.

Sandy berjanji.......

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status