Share

Bab 3

Masa lalu....

Siang hari di tahun ajaran baru semester genap itu begitu terik. Matahari seolah menyengat layaknya lebah, membuat siapa saja yang tidak terlalu berkepentingan untuk beraktivitas di luar lebih memilih untuk menetap di dalam ruangan. Begitu pun dengan seorang pemuda yang sibuk dengan buku tebal bertuliskan Fisika disampulnya. Pemuda itu tampak sibuk dengan kesendirian mengerjakan tumpukan fotokopi soal-soal olimpiade tahun lalu, namun sesekali saat jawaban yang dicari tidak berhasil ditemukan remaja itu akan mengacak rambutnya frustrasi dan menghela napas pelan.

Keuntungan menjadi kandidat sekolah dalam olimpiade sains adalah bisa bebas di jam pelajaran dengan dalih bimbingan. Sama halnya dengan pemuda bername tag Jhonny tersebut, ia tak munafik untuk mengakui alasannya melakukan bimbingan hanyalah untuk menghindar dari pelajaran kimia. 

Siang yang panas dengan pelajaran kimia yang diajarkan oleh guru super fast yang terkadang tidak peduli anak didiknya memahami pelajaran yang di ajar atau tidak, adalah kombinasi yang pas untuk menyiksa seorang siswa. Sejujurnya Jhonny tidak begitu membenci kimia. Hanya saja cara pembawaan materi ala guru tersebut yang membuat siswa pening mendengarkan. Guru satu itu jika sudah menerangkan materi bisa diibaratkan MRT yang melaju begitu cepat. Sang guru memang sering bertanya terkait 'apakah ada yang ingin ditanyakan tentang materi yang disampaikan?' Namun aura mencekam ala guru killer yang menguar dari sosoknya membuat beberapa murid memilih bungkam dari pada dicibir pedas oleh guru tersebut karena tidak paham-paham. Beruntung jika sesi bertanya tidak berlanjut pada aksi ditanya balik oleh sang guru yang mana bisa dipastikan para murid sudah dibuat mati kutu lebih dulu.

Karena itu, Jhonny lebih memilih melakukan bimbingan di perpustakaan yang terkenal sejuk karena tiga AC yang di pasang. Hitungan tiga untuk menempatkan AC di sebuah ruangan itu tergolong banyak bagi sekolah, hal itu karena salah satu murid di sekolah mereka merupakan penyumbang donatur terbesar yang setahun lalu di rapat orang tua menyumbangkan dua buah air conditioner tambahan.

Suhu sejuk dari AC dikombinasikan dengan kesunyian membuat semuanya serasa sempurna untuk menjadikan perpustakaan tempat memejamkan mata. Jhonny juga manusia biasa dimana remaja itu juga  masih bisa terpengaruh rasa kantuk saat belajar, bahkan sedari tadi matanya berusaha mati-matian untuk tetap terjaga dengan setengah terbuka. Untung saja saat ini Pak Carsadi yang menjadi pembimbingnya harus menghadiri sebuah kelas untuk mengajar terlebih dahulu. Sementara itu tepat di belakang Jhonny, seorang penjaga perpustakaan dengan kacamata bulatnya hanya diam sambil merekap data buku yang di pinjam minggu lalu.

Sadar jika dirinya tak bisa untuk fokus sementara kantuk terus menyerang, Jhon mendorong kursi yang di duduki lalu anjak berdiri. Lebih baik berjalan jalan sejenak selagi pak Carsadi belum datang. Seperti yang sebelumnya disebutkan jika saat ini jam pelajaran tengah di mulai, karena itu tak banyak siswa yang terlihat di luar kelas. Hanya ada satu dua orang yang berlalu lalang di koridor, ada juga yang terlihat di gazebo tengah bersantai. Hingga tanpa sadar langkah kaki membawa pemuda berkacamata itu menuju kantin sekolah.

Di sana senyumnya sedikit terukir melihat satu sosok yang tengah bertransaksi dengan salah satu pedagang. Melihat itu membuat sang remaja beranjak mendekat, tepat setelah posisinya berada di belakang seorang siswa yang masih asik berceloteh dengan penjual makanan. Tanpa banyak basa-basi Jhonny langsung mendaratkan tangannya untuk mengetuk kepala pemuda itu.

PLAKKK...

"Awwww." Ringisan itu terdengar begitu pilu, bahkan sang korban harus memegangi bagian kepalanya yang di getuk membuktikan jika pukulan tersebut tak main-main. Menahan kesal pemuda yang menjadi korban aksi kekerasa tiba-tiba itu segera membalikkan badan bersiap menyemprotkan segala sumpah serapah yang sudah di ujung lidah.

"Sakit, sialan!"

"Kenapa?"

"E-enggak. Nggak apa-apa."

Pemuda dengan nama Fahmi yang tersemat di baju seragam yang dikenakan tersebut seketika merasa menciut di tempat. Seolah kerbau yang di cocok hidungnya oleh sang majikan, seperti bawang putih yang melihat sang ibu tiri, dan segala jenis penggambaran di mana seorang tokoh tidak berdaya yang hanya bisa  mengumpat dan protes akan aksi getok kaget yang menimpanya dalam hati. 

Bukan karena sosok sang tersangka ternyata seniornya – di mana bisa di simpulkan dari seragam batik mereka yang berbeda sekaligus menjadi identitas angkatan- namun ebih dari itu, lebih dari hubungan senior dan junior yang membuatnya urung melakukan pembalasan. Itu karena sosok sang tersangka tak lain ialah saudaranya sendiri.

Sejujurnya keinginan untuk membalas tindak penganiayaan sudah membumbung tinggi, dan bila boleh berterus terang Fahmi tidak akan segan membalas perbuatan sang kakak kandung. Pertengkaran saudara sudah menjadi hal biasa bagi mereka, hanya saja di sini Fahmi sadar jika dirinya tidak sedang dalam situasi yang bisa membalas perbuatan remaja di depannya saat ini.

"Ini jam pelajaran, dan gue gak harus kasih tahu itu, kan?" 

Jhonny buka suara dengan senyum miring menghiasi. Pemuda itu puas bisa menangkap basah sang adik yang tengah bertransaksi di kantin sementara jam pelajaran masih berlangsung. Tentu saja menangkap basah Fahmi merupakan keuntungan tersendiri, karena itu Jhonny tersenyum penuh arti.

"Gu-gue di suruh Pak Brad beli batagor ke kantin."

"Fahmi, nih batagornya. Buruan dimakan, nanti dingin.” Sang penjual yang entah datang dari mana menyela pembicaraan saudara tersebut, membuat Fahmi yang sebelumnya mengelak tak bisa berkelit lagi. "Dari tadi minta buru-buru, sekarang malah ngobrol." lanjut bapak yang ditaksir sudah memasuki usia empat puluhan tersebut meninggalkan mereka setelah menaruh sepiring batagor di atas meja.

"Lo sendiri kenapa keluar kelas?"

"Gue latihan olimpiade, tuh."

Di tempatnya Fahmi hanya bisa misuh-misuh sendiri mendengar alasan sang kakak. terdengar sangat menyebalkan dan licik sekali saat pemuda yang berusia dua tahun di atasnya tersebut menggunakan alasan seperti itu untuk mengelak, namun sayangnya Fahmi tidak bisa berbuat banyak.

"Oke kita persingkat aja. Lo traktir gue, gue bakal tutup mulut."

"Tapi sisa uang jajan gue sebulan ini lagi sekarat."

"Gak peduli tuh."

Mungkin terlalu kejam untuk melakukan tindak pemerasan pada saudara kandung sendiri, bahkan mungkin akan terasa lebih masuk akal jika mereka saudara tiri. Hanya saja berapa kalipun Fahmi mencoba menyangkal fakta dengan bertanya pada ibunya, semua hanya berakhir sia-sia. 

Penampilan Jhonny -sang kakak- mungkin terbilang cupu, kuno, udik atau sejenisnya. Dengan gaya rambut di sisir rapi ke kanan, baju yang di masukan plus atribut lengkap di seragam. Namun jangan tertipu oleh penampilan ala siswa tertindas yang diterapkan pemuda itu tersebut. Percaya atau tidak, Jhonny memiliki kehidupan sekolah yang merdeka tanpa bantuan guru BK. 

Remaja yang tengah mengikuti olompiade itu lebih dari mampu mengatasi permasalahan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Jika berpikir pemuda itu sengaja mengikuti ekstrakurikuler bela diri untuk terhindar dari perundungan, jelas itu salah. Jhonny hanya cukup bersikap abai pada sekitar. Sikapnya yang dingin membuat tak banyak orang yang ingin berinteraksi dengan kakaknya. Seperti yang di lakukan saat ini, dingin dengan tidak berbelas kasih dalam meminta imbalan tutup mulut meski itu pada adiknya sendiri.

"Kak, please."

"Gue mau Jelly potter rasa matcha"

"Ahhh.... Lo jahat banget, dah. Nanti kena karma meres adik sendiri."

Meski hanya bualan semata, nyatanya itu tak menyurutkan niat sang kakak untuk meminta dibelikan apa yang diinginkan. Alhasil kini Fahmi harus mulai mencadangkan puasa Senin-Kamis di agenda harian agar bisa bertahan dalam bulan ini. Hanya helaan napas pasrah yang bisa dilakukan dengan mata tak lepas dari Jhonny -sang kakak yang tengah menyeruput minumannya- yang bahkan tanpa repot menawarkan adiknya sendiri yang membayar untuk ikut menikmati.

Sedari dulu Fahmi bertanya-tanya kenapa dirinya memiliki seorang kakak seperti itu. Apa memang setiap kakak bersikap seperti itu? Tapi Kak Arif, Kakak dari temannya bersikap hangat dan baik. Sungguh sangat berbanding terbalik dengan kakaknya Jhonny. Meski begitu Fahmi sadar jika setiap orang memang berbeda, cara Jhonny menjadi Kakak mungkin sedikit aneh, tapi itulah Kakaknya.

"Ahhh, ya. Cepet masuk kelas. Pak Brad tadi tanya lo di mana. Gue udah bilang lo di perpustakaan, tapi gak tahu dia masih percaya atau nggak. Bye, lil bro."

Butuh beberapa menit bagi Jhonny untuk kembali ke perpustakaan, tempatnya melakukan bimbingan dengan guru fisika. Sejujurnya jarak dari kantin ke perpustakaan tidaklah terlalu jauh, hanya harus melewati lapangan sepak bola, basket, koperasi juga teras kelas dua belas. Hanya saja Jhonny membutuhkan beberapa menit lebih lama karena sengaja melakukan slowmotion di setiap langkah yang dilewati. Meskipun terik matahari cukup menantang, nyatanya tak membuat pemuda berkacamata itu berniat mempercepat langkahnya.

"Jhonny!"

Dari arah belakang terdengar sebuah suara memanggil, membuat sang pemilik nama menoleh dan berhenti di tengah lapangan. Di sana seorang siswa tengah berlari mendekat. Senyum semringah tergambar di wajahnya yang sudah di taburi bintik jerawat. Meski memiliki kepribadian anti sosial, Jhonny tetap memiliki seorang kawan, salah satunya pemuda yang tengah berlari tersebut. 

Namanya Alan, pemuda berisik yang mengaku menjadi sahabatnya. Hanya beberapa orang yang tahan berinteraksi dengan remaja anti soial selain Fahmi adiknya, salah satunya yaitu Alan. Pemuda yang sudah sedari taman kanak-kanak menjalin pertemanan dengannya. Meski berisik dan bertingkah aneh, tapi Alan merupakan teman yang baik.

"Jhonny, nanti sore gue sama Fariz menginap di rumah lo, ya?"

"Nggak, lo kira rumah gue penginapan." Meski seorang sahabat, Alan tak mendapat pengecualian akan sikap dingin seorang pemuda tersebut. "Udah to the point aja, kenapa pakai request minta nginep."

"Emm, itu... Bisa bagi dulu gak minumnya, panas banget nih."

"Nggak."

"Gue sahabat lo, loh. Tega amat. Minimal formalitas lah, tawari ke orang lain. Itu namanya bentuk tatak ramah dan kesopanan."

"Gue tawari nanti lo beneran minta."

"Ya emang."

"Lo tau gue buruk soal bersosialisasi. Jadi jangan berharap banyak."

"Terserah, deh."

Srpuuut.... Ssmmt. Suara ice yang melintas melalui sedotan plastik terdengar begitu menggoda bagi Alan. Namun pemuda itu sadar jika Jhonny yang payah dalam berbagi tak akan paham. Alhasil Alan hanya bisa menggelengkan kepala dan mencoba fokus pada tujuan awal.

"Pelajaran bahasa Indonesia ada tugas drama, kita satu kelompok sama Fariz juga. " ungkap Alan menjelaskan.

"Terus?"

"Supaya lebih menjiwai dan menghayati peran, jadi malam ini rencananya kita niat latihan bareng."

"Terus."

"Udah itu aja."

"Yakin? Lo gak lagi kalah taruhan kan sama Fariz buat bikin gue yakin soal cerita ini?"

"Iy..... Eh, enggak."

"Jujur aja atau gue gak mau sama sekali."

"Soal tugas drama itu beneran kok. Terus berhubung besok ada pelajaran pacar, jadi gue mau minta bantuan lo." tutur Alan dengan nada rendah.

"Lo niat menghina atau gimana? Tahu kan gue jomblo?"

"Bukan pacar. Tapi Pak Car, Pak Carsadi guru fisika kita."

Jhonny yang mendengar penjelasan Alan yang sebenarnya sejenak terdiam. Terlebih perihal pacar yang memiliki arti singkatan dari Pak Carsadi guru fisika mereka. Kebiasaan anak-anak yang sangat kreatif membuat mereka berinovasi sendiri membuat panggilan kesayangan untuk masing-masing guru mata pelajaran. Namun begitulah, Jhon yang anti sosial kurang mengetahuinya. Alhasil kesalahpahaman pun tidak bisa dihindarkan.

"Besok kan ada mapel Fisika. Terus selama lo bimbingan, Pak Carsadi kasih tugas. Jadi kita berniat meringankan beban pikiran lo yang fokus sama olimpiade dengan cara mengerjakan tugas bersama. Gimana?"

"Bilang aja mau nyontek."

"Nggak kok. Tapi boleh ya kita nginep?"

"Gak."

"Martabak bangka topping keju?"

"Alan lo kira gue apaan bisa di sog- "

"Plus soda?"

"Oke deal."

Di tempatnya Alan hanya bisa menggelengkan kepala melihat ketidakkonsistenan kawannya tersebut. Meski begitu Alan tetap bersyukur, setidaknya Jhonny masih bisa ia sogok dengan makanan. Demi bisa mengerjakan PR Fisika yang bisa membuat helai rambut beruban, plus misi rahasia meminjam catatan sang kawan karena besok bertepatan dengan jadwal ulangan sang guru fisika. Tentu saja Alan tak menceritakan semuanya karena tahu Jhonny akan menolak, dan ia bersyukur jadwal bimbingan membuat kawannya itu ketinggalan informasi di kelas mereka.

Untung saja Fariz ikut berpartisipasi dalam membeli sogokan untuk sang perwakilan olimpiade dari sekolah mereka tersebut karena jika tidak bisa di pastikan kantong dompetnya akan menjerit protes tidak terima. Yah, untuk ukuran martabak juga sebotol soda bukan hal berat mengingat pada nantinya dia juga akan ikut memakan dan menghabiskan.

"Gue ke kelas dulu ya."

"Ehhh, Lan. Emang Bu Enda gak masuk? Lo kok bisa keluar-keluar kelas?" tanya Jhonny heran.

"Ouh, iya Bu Enda berhalangan. Oke deh, good luck ya. Belajar yang rajin biar menang." balas Alan sebelum pergi.

Ada rasa kesal yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Melihat bagaimana ringannya sang kawan berjalan sambil bersiul ria menuju kelas membuat Jhonny merasa sedikit iri. Apa kabar dengan dirinya yang harus terjebak dengan tumpukan soal olimpiade juga latihan pembekalan materi oleh Pak Carsadi. Untuk sesaat Jhonny merasa menyesal karena mengambil keputusan untuk bimbingan di hari ini, mungkin benar jika niatnya tidak baik maka jangan harap mendapat akhir yang baik pula. 

Dengan langkah gontai, pemuda itu berjalan melewati lapang basket yang saat ini tengah kosong dengan diiringi suara bel yang menandakan jam pelajaran berganti sebagai backsound-nya saat berjalan.

Remaja SMA itu hanya bisa menghela napas pelan dengan kepala terkulai di atas meja. Sudah terhitung satu jam dari di mulainya sesi bimbingan dan saat ini ia butuh beristirahat setelah sang guru undur diri karena ada urusan rapat. Bahkan rasa-rasanya meja yang keras terasa begitu lembut untuk menjadi sandaran bagi kepalanya, rasa kantuk yang kembali menyerang membuat pemuda itu tak memedulikan tempat di mana dirinya bisa memejamkan mata. Hingga lambat laun matanya yang begitu berat akhirnya mulai terpejam.

Tanpa pemuda itu sadari satu sosok yang tengah mengambil buku di salah satu rak tengah memperhatikannya. Seorang gadis yang hanya diam di tempatnya memandang satu siswa yang tengah terlelap dengan dengkuran halus. Hingga tak untuk waktu yang lama gadis itu pergi beranjak dari tempatnya dengan satu buku di satu tangannya.

*****

Jhonny.......

Jhonnyyy.....

Di sebuah kelas seorang pemuda yang tengah berkutat dengan buku dan sebuah pena itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang menulis. Pemuda itu tak tuli untuk sadar sedari tadi ada yang memanggil-manggil namanya, namun sebisa mungkin pemuda itu mengabaikan bisikan tersebut dengan tetap melanjutkan aktivitasnya menyalin catatan pelajaran. 

Hingga sikap abai yang di lancarkan harus di akhiri karena rasa penasaran akan suara yang kini berubah menjadi decit pintu. Menolehkan kepala ke sumber suara, seketika Jhonny, nama si pemuda langsung membulatkan mata terkejut. Mulutnya bahkan tak bisa terkatup rapat. Meski rasanya enggan untuk melihat apa yang ada di sana namun pada nyatanya ia bahkan tak bisa sekedar menolehkan kepala, seolah persendian putarnya kaku.

Dan tepat saat apa yang di lihatnya mulai beranjak, suara keras begitu memekakkan telinga hingga pemuda itu jatuh terjerembap dari kursi.

"Aduh..." keluhnya kala rasa sakit mendera.

Pemuda itu menolehkan kepala ke sekitar di mana sesuatu yang mengherankan terjadi. Seharusnya ia berada di ruang kelas namun apa yang di dapatinya kini ialah dirinya yang berada di perpustakaan.

Duarrr......

Jhonny yang terkejut terkesiap. Matanya menoleh pada jendela yang menampilkan hujan deras dari luar diiringi kilatan-kilatan petir dan guntur. Sesaat kemudian setelah berpikir pemuda itu mengerti, apa yang terjadi di dalam kelas hanya mimpinya semata. Jhonny ingat ia tertidur tepat setelah sesi bimbingan pak Carsadi. 

Melirik jam yang tertera di dinding perpustakaan pemuda itu menghela napas pelan. Jam lima sore. Apa benar dirinya tertidur selama itu. Tapi jika melihat keadaan sekolah yang sudah sepi sepertinya memang benar jika dirinya yang tertidur terlalu lama, bukan karena jam perpustakaan yang rusak.

Membereskan bukunya, Jhonny anjak pergi keluar menuju kelasnya di mana tasnya masih tersimpan di sana. Berjalan menyusuri teras setiap kelas, pemuda itu hanya diam menikmati suara rincik air yang berjatuhan menetes pada tanah. 

Musim pancaroba menyebabkan perkiraan cuaca kadang tak menentu. Seingatnya siang tadi begitu terik dengan matahari yang menyengat, bahkan tak ada tanda-tanda langit mendung yang menandakan akan turun hujan. Tapi sekarang, siapa yang menyangka akan turun hujan deras dengan diiringi petir.

Sekolah benar-benar sepi. Tak ada lagi satu siswa yang terlihat kecuali dirinya. Beruntung ia tak di kunci di perpustakaan. Karena yang diketahuinya pak Eman lah sebagai penjaga sekolah yang akan bertugas mengunci setiap ruangan setelah kegiatan sekolah benar-benar berakhir. Karena pada dasarnya, meski jam KBM telah berakhir, para siswa terkadang masih melakukan kegiatan entah itu ekstrakurikuler atau apapun di lingkungan sekolah membuat pak Eman yang memang menjaga sekolah bertanggung jawab untuk mengunci ruangan setelah kegiatan berakhir. Jika tidak salah, pak Eman biasanya berpatroli sambil mengunci ruangan demi ruangan sekitar pukul lima lebih tiga puluh.

Tak terasa Jhonny sudah sampai di depan kelasnya. Seperti dugaannya, pintu ruang kelasnya belum terkunci membuat pemuda itu bersyukur masih bisa mengambil tasnya. Memasuki kelas, pemuda itu berjalan menuju satu meja di ujung ruangan tempat tas juga kursi tempat duduknya berada. Pemuda itu mulai memasukkan tiap barang yang sebelumnya di bawa ke dalam ranselnya. 

Hingga satu tangannya terhenti saat hendak memasukkan salah satu buku panduan Fisika. Entah telinganya yang terlalu peka atau suasana yang terlalu hening, hingga pemuda itu bisa mendengar satu suara aneh. Menajamkan pendengaran Jhonny mulai sadar jika itu bukan sekedar halusinasinya. Seketika bayangan akan mimpi yang sebelumnya di alami terbesit dalam otak, di mana dirinya yang saat itu dalam kelas yang sepi di datang satu sosok. 

Mencoba berpikir positif, pemuda kelas XI itu buru-buru memakai ranselnya dan beranjak dengan cepat. Berkali-kali ia melafalkan satu kalimat dalam kepala jika suara itu mungkin berasal dari pak Eman. Hingga tepat setelah keluar dari dalam kelas Jhonny langsung berbelok arah, berjalan menyusuri teras tiap kelas dengan tetap berusaha tenang meski suara benda yang di keret dan bergesekan dengan lantai tersebut terus terdengar dan seolah mengikutinya.

Hingga ketenangan yang coba di pertahankan oleh sang perwakilan OSK tersebut harus luruh kala matanya menangkap satu sosok yang begitu di kenalnya tengah mengunci tiap ruangan lantai atas kelas X di seberang lapangan. Lantas siapa yang mengikutinya. 

Tak berani menoleh Jhonny mulai berlari tak peduli pada sekitar yang begitu sepi. Gerbang depan sekolah sedikit lagi, hanya perlu melewati koridor dan ia bisa lolos berlari keluar gerbang di mana banyak kendaraan yang masih berlalu lalang.

"Ehhhh....."

Saking cepatnya pemuda itu berlari, Jhonny tak memperkirakan jika lantai yang di pijaknya basah oleh tetesan air hujan, membuat pijakan pemuda itu licin, oleng dan berakhir dengan drama tergelincir di atas lantai.

GUDUBRAK

"Awww..." ringisnya pelan sambil memejamkan mata.

Namun rasa sakit itu tak bertahan lama. Satu hal lain membuatnya tak lagi memedulikan rasa sakit di bokongnya yang lebih dulu mencium lantai. 

Suara itu, suara itu masih terdengar dan terasa makin dekat ke arahnya. Jhon tak pernah punya firasat apapun kecuali mimpi mengerikan itu yang membuatnya berada dalam situasi film thriler seperti sekarang. Di kejar psyco yang misterius tak pernah ada dalam list hidupnya. Pemuda itu masih ingin mengejar mimpinya, bagaimana nanti hasil usaha belajarnya dalam OSK yang akan sia-sia. Lalu bagaimana jadinya dengan orang tuanya yang akan khawatir. Jhonny tak bisa membayangkan itu semua.

Pemuda itu masih terduduk dengan memejamkan mata dan mulut melafalkan doa, karena sadar jika dirinya sendiri masih kepayahan untuk berdiri dan kembali berlari. Hingga suara benda di keret yang terdengar sangat dekat itu berhenti, bisa di simpulkan si tersangka saat ini sudah berada di dekatnya.

Namun satu menit berlalu Jhonny tak merasakan apapun, seperti benda tajam yang menusuk badannya atau tali yang melilit lehernya. Hal itu sukses membuatnya penasaran dan mulai mengintip.

Hal pertama yang di lihatnya ialah sepasang kaki dengan kaus kaki panjang mengenakan sepatu pantofel ala anak paskibra. Lalu setelahnya saat matanya beranjak naik, pemuda itu mendapati seorang gadis yang bisa di pastikan siswi dari sekolahnya yang tengah menatapnya bingung.

Melihat wajah gadis itu sejenak membuat Jhonny tercenung, terlebih kala kilatan petir begitu menerangi wajah cantiknya. Bahkan jika di ingat, pria itu tak pernah mengatakan perempuan mana pun cantik di matanya. Tapi entah mengapa, sorot netra hitam pekat itu begitu menghipnotisnya.

Tak lama setelah itu, si gadis berbalik dan melangkah meninggalkan Jhonny yang masih terduduk di lantai dengan sejuta kebingungan. 

"Tunggu!" katanya refleks.

Dan berhasil, siswi tanpa name tag yang membuat Jhonny tak bisa mencari tahu namanya itu kembali menoleh, namun tanpa repot membalikkan badan.

"Kamu gak berniat membantu?" tanya Jhon kemudian.

"Butuh bantuan?"

Sesaat si pria yang biasanya tak pernah memulai pembicaraan dengan orang asing itu terdiam. Apa-apaan barusan, tidak kah gadis itu mempunyai tatak rama dengan saling menawarkan bantuan, meski jelas Jhonny akan menolak pada akhirnya. Tapi setidaknya itu yang biasa dikatakan Alan tentang saling membantu sebagai makhluk sosial. 

"Nggak." Jawabnya akan pertanyaan balik si gadis.

Dan kemudian gadis itu kembali membelakanginya, kembali berjalan menuju pintu keluar.

Satu yang baru Jhonny sadari saat itu, jika suara keretan benda tersebut tak lain berasal dari payung yang ujungnya bergesekan dengan lantai. Bahkan Jhonny baru sadar jika gadis itu sedari tadi membawa payung di tangannya. Masih dengan mata mengikuti gerak-gerik si gadis, Jhonny mendapati jika gadis tanpa nama itu mulai membuka payungnya dan menerobos halaman sekolah dari rintik hujan menuju gerbang.

Untuk sesaat matanya tak bisa berpaling, gadis asing yang tak pernah di lihatnya. Atau memang karena lingkup pergaulannya saja yang terbatas hingga membuatnya tak begitu mengenal banyak teman satu angkatan termasuk gadis itu.

Gadis berpayung hitam di bawah guyuran hujan....... 

Seorang gadis yang untuk pertama kali berhasil mencuri perhatiannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status