Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik.
"Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?"
Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali.
"Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja."
"Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja."
"Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi."
Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Ijab kabul sudah terlaksana dengan begitu khikmad. Sakya kini telah resmi menjadi istri dari Nakula. Pelafazan ijab kabul yang hanya sekali diucapkan Nakula membuat suasana menjadi haru. Seperangkat alat sholat dan perhiasan emas menjadi mahar yang diberikan Nakula kepada Sakya. Malam harinya pesta digelar secara sederhana di rumah kediaman Farhan dan Andini yang hanya di hadiri keluarga besar dan kerabat terdekat saja. Alin terlihat di acara tersebut sebagai satu-satunya anggota keluarga dari Sakya. Raka berjalan mendekat pada Nakula dan istrinya. Ia menyalami kedua mempelai. "Selamat ya. Akhirnya kau menikah lebih dulu dariku," ucap Raka. "Terima kasih baby boy. Tentu saja aku menikah lebih dulu darimu. Usia ku sudah pantas menikah dibandingkan kau." "Heh. Dasar sombong. Jadi kau anggap aku belum pantas begitu?" "Entahlah. Tapi dilihat dari usia ku yang 5 tahun lebih tua darimu tentu saja aku layak lebih dulu menikah." Raka menggelen
Nakula tengah duduk di balkon kamarnya. Ia menatap nanar langit di malam hari itu. Anaya masuk ke dalam kamar Nakula tanpa disadari oleh pria itu."Minum dulu teh-nya," ucap Anaya sembari menyerahkan secangkir teh hangat pada Nakula. Nakula menoleh lalu menerimanya. Ia langsung meneguk teh tersebut."Terima kasih, Kak."Anaya mengangguk. Ia mengambil duduk di sebelah Nakula. Ikut menatap langit di malam hari itu."Beberapa hari lagi status kamu akan berubah menjadi seorang suami."Nakula tersenyum kecut jika harus mengingatnya. Pernikahan yang Ia mimpikan memang terlaksana namun tak akan sama dengan impiannya yang sesungguhnya berharap menikah dengan wanita yang Ia cintai."Kakak harap dengan berubahnya status kamu nanti kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuk istri kamu kelak.""Aku tak menyangka kalau akhirnya aku akan menikah juga. Heh. Tapi sayang aku akan menikah bukan dengan orang yang aku harapkan. Bukan dengan ora
Sakya hanya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap Nakula yang duduk di seberangnya dan terus menatap ke arahnya dengan dalam. Raut tak suka diperlihatkan Nakula pada Sakya.Namun, perlahan tatapan Nakula berubah teduh saat melihat raut ketakutan yang diperlihatkan Sakya terhadapnya. Bahkan Ia juga melihat mata Sakya yang menggenang di pelupuk matanya."Tujuan saya dan istri saya kemari untuk meminang kamu menjadi menantu kami," ucap Farhan pada Sakya yang hanya merunduk.Sakya hanya diam bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Alin sudah menceritakan semuanya padanya, bahwa malam ini Nakula beserta kedua orang tuanya akan datang ke kontrakan mereka untuk membahas masalah yang terjadi saat ini. Sakya sempat menolak, tetapi Alin bersikeras agar Sakya menurut dan mengikuti apa yang Alin minta, karena menurut Alin anak yang dikandung Sakya saat ini membutuhkan figur seorang ayah terutama untuk kelengkapan dokumen kelahiran anaknya kelak yang akan san
Bruuuukk! Suara benda jatuh terdengar dengan begitu kuat hingga perhatian Nakula dan Alin teralihkan. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Nakula terbelalak saat melihat dua orang terpenting dalam hidupnya berdiri tak jauh darinya kini. Sementara Alin, hanya menatap keduanya dengan tatapan bingung dan penuh tanya melihat keduanya. "Ayah. Bunda," gumam Nakula pelan. Raut syok diperlihatkan Andini. Sementara Farhan, ia terlihat menahan amarahnya. Rahangnya mengeras saat mendengar semua pembicaraan Nakula dan Alin. Putra kebanggaan mereka telah menghamili seorang Wanita, dan yang semakin membuat Farhan marah putranya tak mau mengakui hal itu. Nakula berjalan mendekati kedua orang tuanya. Andini diam terpaku di tempatnya, masih menatap putranya dengan dalam. "Bunda. Ayah. Tolong dengarkan, Nala. Nala bisa jelaskan semuanya sama Ayah dan juga Bunda." "Harus!" ujar Farhan dengan nada dingin dan menahan emosinya. Ia menatap Nakula
Sakya berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat. Rasa mual yang ia tahan sejak tadi sudah tak terbendung lagi. Alin yang duduk bersamanya langsung berlari menghampiri Sakya. Ia khawatir akan keadaan Sakya yang sudah beberapa hari ini dalam keadaan tidak baik. "Kamu yakin enggak apa-apa, Kya?" Sakya hanya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun saat ini karena masih merasakan mual yang teramat sangat. Ia sudah memuntahkan isi dalam perutnya seharian ini tapi tetap saja rasa mual itu tak berkurang sama sekali. "Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit saja." "Enggak, Lin. Aku enggak apa-apa kok. Aku yakin ini hanya masuk angin saja." "Tapi, ini enggak wajar. Sudah berhari-hari kamu mengalami ini. Minum obat masuk angin sudah tapi tidak bertahan lama kamu seperti ini lagi." Sakya mencuci mulutnya setelah semua isi dalam perutnya ia tumpahkan. Ia berjalan menuju ruang tamu yang tak seberapa besar di kontrakan mereka, kemudian mengamb
Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya. Nakula menarik napasnya dengan dalam. "Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi. "Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara. "Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula. Nakula keluar dari ruangan tersebut dan se