Share

07.

Nakula tengah bersiap untuk melakukan perjalanannya. Seperti biasa, kali ini ia yang akan memimpin penerbangan. Nakula menatap dirinya di cermin. Bayang-bayang percakapannya dengan Nesya beberapa waktu lalu masih membekas hingga kini. Begitu pun peristiwa di mana ia telah melakukan tindakan bodoh itu. Memang dirinya dalam keadaan setengah sadar saat melakukan hal itu, tetapi bukan berarti ia tak mengingat setiap inci kejadian malam panjang itu.

"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ucapan Raka benar kalau dia akan hamil?" ucapnya lebih mengarah kepada dirinya.

Nakula menarik napasnya dengan dalam.

"Ke mana aku harus menemukannya? Dia bahkan tidak meninggalkan identitasnya sama sekali," ucap Nakula yang tampak frustrasi.

"Kapten," panggil seseorang dari belakang Nakula. Nakula menoleh ke arah sumber suara.

"Sudah waktunya," ucap orang tersebut yang langsung mendapat anggukan dari Nakula.

Nakula keluar dari ruangan tersebut dan segera menuju pesawat untuk menjalankan tugasnya.

"Selamat siang untuk semua para penumpang pesawat XXX tujuan Jakarta – Shanghai. Perkenalkan saya kapten Nakula yang akan memimpin perjalanan Anda semua pada siang hari ini. Semoga perjalanan Anda menyenangkan. Terima kasih," ucap Nakula memberikan sambutan hangat pada penumpang. Dengan penuh keyakinan Nakula menjalankan tugasnya menuju kota tujuan.

"Kya ... Kya!" teriak Alin saat ia baru saja memasuki rumahnya yang tak luas itu.

"Ada apa, Lin?" tanya Sakya saat ia mendengar teriakan Alin dari kamar mandi.

"Kya. Sini duduk," ucap Alin sembari menarik Sakya untuk duduk di lantai beralaskan karpet yang tidak telalu tebal.

Sakya duduk di sisi Alin yang kelihatan bersemangat sekali.

"Aku sudah mendapatkan pekerjaan untukmu."

"Benarkah?" tanya Sakya dengan penuh antusias.

"Hmmm," gumam Alin sembari mengangguk dan tersenyum.

Sakya terlihat senang sekali. Namun, berbeda dengan Alin yang tampak memudarkan senyumannya. Melihat itu Sakya jadi bertanya-tanya.

"Tapi kau tidak bekerja di tempatku sekarang ini. Bos tempatku bekerja memiliki sebuah toko roti. Saat ini dia sedang membutuhkan pegawai untuk toko rotinya."

"Syukurlah. Lalu kenapa wajahmu sedih, Lin?"

"Tentu saja aku sedih. Aku tadinya berharap kau akan bekerja di tempat yang sama denganku. Tapi malah kau bekerja di tempat yang lain."

"Tidak apa-apa, Lin. Aku bekerja di mana saja sudah merupakan kebahagiaan sendiri buatku. Setidaknya aku bisa membantumu untuk membayar sewa kontrakan rumah ini. Aku tidak merepotkanmu lagi untuk segala keperluan pribadiku."

Alin hanya tersenyum tipis saat Sakya mengatakan hal itu.

"Lalu kapan aku bisa mulai bekerja?"

"Tokonya baru saja selesai di bangun. Bosku mengatakan kau sudah bisa mulai bekerja minggu depan. Saat ini mereka tengah mempersiapkan pembukaan tokonya."

"Benarkah minggu depan?"

"Hmm. Kau tidak keberatan kan?"

"Tentu saja tidak. Aku sudah tidak sabar untuk memulai bekerja."

Alin tersenyum senang saat melihat Sakya yang terlihat senang.

"Terima kasih ya, Lin. Kamu sudah banyak membantuku."

"Sama-sama."

Sakya memeluk Alin dengan erat. Ia sangat senang karena ia akan memulai hidup barunya di kota ini. Ia sudah bertekad kalau dirinya akan melupakan permasalahan yang ia hadapi terutama tragedi malam itu.

*******

Sakya dan Alin tengah menikmati waktu mereka di sebuah pusat perbelanjaan di kota itu. Keduanya sengaja berjalan-jalan untuk menghabiskan akhir pekan mereka.

"Nanti kalau aku sudah menerima gaji pertama, aku akan mentraktir kamu."

"Tidak perlu. Dengan kamu bekerja saja aku sudah sangat senang."

"Tidak apa-apa, Lin. Anggap saja sebagai rasa terima kasih aku ke kamu karena sudah banyak membantuku."

"Baiklah. Terserah kamu saja. Lagi pula jika aku melarangmu, toh kamu juga akan tetap melakukannya. Kamu kan keras kepala."

Keduanya tertawa saat Alin mengatakan hal itu.

"Kya, kamu lapar tidak? Aku lapar sekali. Kita makan di sana saja ya?" ucap Alin sambil menunjuk pada sebuah stand yang ada di mall tersebut.

"Apa tidak apa-apa kita makan di tempat itu? Kelihatannya mahal, Lin."

"Tidak apa-apa. Aku pernah mendengar cerita dari teman kerjaku, mereka juga sering makan di tempat itu karena harganya tidak terlalu mahal. Mereka bilang harga makanan di sana juga sangat merakyat kok."

"Benarkah?"

"Hmm. Tempat itu sepertinya khusus diperuntukkan untuk orang seperti kita ini. Bagaimana?"

"Boleh. Kebetulan aku juga lapar. Lagi pula stok makanan kita di kontrakan juga sudah menipis. Aku rasa itu cukup untuk sampai akhir bulan ini."

"Kamu benar. Kali ini kita makan di sini saja dulu."

Sakya hanya mengangguk. Keduanya memilih tempat duduk yang berada di dekat dinding kaca agar bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang. Saat mereka memesan makanan, mata Sakya terbelalak saat melihat sosok yang amat ia kenali. Sosok yang sudah merebut segalanya dari Sakya. Dengan cepat Sakya mengalihkan tatapannya agar tidak mudah dikenali dan dilihat oleh orang tersebut.

Nakula yang tak lain adalah orang yang dilihat Sakya, menatap ke arah tempat di mana wanita itu berada saat ini. Ia tak sengaja melihat ke arah di mana Sakya berada. Tanpa menghiraukan Anaya yang berjalan menemaninya, Nakula menjauh dari Anaya dan berjalan mendekat pada Sakya.

"Nal, kamu mau ke mana?" tanya Anaya yang tak dihiraukan oleh Nakula.

Sakya yang melihat Nakula berjalan mendekatinya menatap takut padanya. Ia terlihat salah tingkah.

"Lin, kita pulang saja ya."

"Loh kenapa? Kita sudah pesan dan makanan kita belum datang, Kya."

"Lin, aku mohon kita pulang saja ya. Lain kali kan kita bisa makan di sini lagi," ucap Sakya dengan wajah yang dipenuhi dengan raut kekhawatiran.

"Tapi, aku sudah memesannya dan sayang jika kita tidak memakannya."

"Lin, aku mohon."

"Tunggu sebentar lagi ya."

"Lin, aku mohon. Ayolah. Kita kan bisa makan di rumah."

"Ya sudah kita pulang. Tapi aku akan meminta dulu pada mereka untuk membungkus makanan kita," ucap Alin.

Sakya diam tak menanggapi. Melihat Nakula yang sudah berjalan semakin dekat padanya membuat Sakya semakin takut. Tanpa mempedulikan Alin yang masih menunggu pesanannya untuk dibungkus, Sakya memilih bangkit dari duduknya dan keluar dari tempat tersebut. Alin yang melihat Sakya keluar begitu saja menatap heran padanya.

"Kya, kamu mau ke mana?" tanya Alin yang tak dipedulikan Sakya. Ia terus saja berjalan menjauh dari tempat itu.

Melihat Sakya yang terlihat ketakutan membuat Alin juga tidak bisa diam saja. Ia pun bangkit dari duduknya lalu mengejar Sakya.

"Kya, tunggu Kya," ucap Alin yang berhasil menarik lengan Sakya hingga membuat Sakya berhenti.

"Aku harus pulang sekarang, Lin."

"Iya aku tahu, kita memang harus pulang. Tapi ada apa? Kamu seperti ketakutan, Kya."

Sakya menatap ke segala arah. Di belakang Alin berdiri ia bisa melihat Nakula yang ternyata mengikutinya berjalan semakin dekat.

"Nanti akan aku jelaskan saat kita sudah sampai di rumah."

Sakya menarik Alin untuk segera pergi dari tempat tersebut.

"Kya tunggu, kenapa kita harus buru-buru?"

"Nanti aku ceritakan, Lin. Sekarang kita pergi dari sini," kata Sakya sambil keluar dari pusat perbelanjaan tersebut.

Saat sudah berada di halaman pusat perbelanjaan, saat itu pula Nakula berhasil menarik lengan Sakya hingga membuat Sakya terkejut setengah mati. Begitu pun dengan Alin, yang kaget saat melihat sosok seorang pria tampan yang kini berdiri di hadapan mereka.

Sakya menatap takut pada Nakula. Sementara Nakula menatap Sakya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

"T-Tuan Nala," ucap Sakya terbata.

"Kita perlu bicara," ucap Nakula dengan suara beratnya.

"T-tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan," ucap Sakya dengan gugup.

"Aku bilang kita perlu bicara." Kembali Nakula mengatakan hal itu tapi kali ini dengan nada dingin.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan. Semuanya tidak ada yang perlu dibahas."

Nakula menatap Sakya semakin tajam dan juga dingin. Melihat sikap Nakula tersebut membuat Sakya semakin takut. Sakya menundukkan kepalanya. Alin menatap bingung pada Nakula dan Sakya.

"Hey kau. Jangan menatap Sakya seperti itu. Kau membuatnya takut. Kalau memang ada hal yang penting harusnya kau bisa mengatakannya dengan baik-baik."

Nakula menatap ke arah Alin.

"Aku tidak ada keperluan denganmu. Aku hanya ingin bicara dengan temanmu ini. Aku harap kau memberikan waktu pada kami berdua."

"Tapi tidak harus dengan cara seperti ini."

"Aku bilang aku tidak ada urusan denganmu. Jadi aku harap kau bisa memberi kami waktu untuk bicara."

Alin menatap dalam Nakula. Ia melihat keseriusan yang diperlihatkan Nakula. Alin melihat ke arah Sakya yang masih tertunduk. Ia kemudian menatap Nakula dan mengangguk paham karena melihat tatapan Nakula yang menajam saat berbicara dengannya tadi.

* * * * * * *

"Maaf, Kak. Aku ada keperluan mendadak. Aku harap Kakak bisa pulang dengan taksi atau aku akan menelepon Raka, agar Raka menjemput Kakak."

“.............”

"Ya sudah kalau begitu, aku pesankan taksi untuk Kakak."

“.............”

"Iya, nanti setelah urusanku selesai aku akan langsung ke rumah Bunda."

“.............”

"Iya, Kak."

Nakula menutup teleponnya dan meletakkan ponselnya di meja. Kedua matanya menatap sosok wanita yang tengah duduk sembari menundukkan kepalanya. Keduanya diam seolah tak ingin membuka pembicaraan.

"Apa yang sudah terjadi malam itu?" tanya Nakula membuka pembicaraan setelah cukup lama keduanya membisu.

"I-itu ...," ujar Sakya. Ia juga bingung harus mengatakan apa saat ini. Melihat sikap Sakya membuat Nakula mengerti.

"Maaf."

Sakya memberanikan diri mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Nakula. Ia dapat melihat sorot mata penyesalan yang diperlihatkan Nakula padanya.

"Aku minta maaf atas kejadian beberapa waktu yang lalu. Aku ...."

"Saya tahu, Tuan. Saya juga minta maaf, harusnya saat itu saya ...," ucap Sakya terputus karena kembali mengingat peristiwa itu.

"Aku tahu. Tapi, tidak seharusnya aku melakukan itu padamu. Saat itu aku benar-benar sedang kacau. Jadi aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan hingga hal itu terjadi."

"Saya paham. Saat itu Anda mabuk berat. Anda tidak sadarkan diri."

"Iya, tapi tetap saja aku sudah ...."

Nakula menarik napasnya dengan dalam.

"Sudah menghancurkan masa depanmu," ucap Nakula dengan nada melembut.

Sakya hanya bisa menangis saja kini. Benar masa depannya saat ini memang sudah hancur. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah akan nasibnya nanti. Ia berharap jika suatu saat nanti ada pria yang benar-benar tulus mau menerimanya apa adanya tanpa melihat masa lalunya. Jika hal itu terjadi, maka ia akan sangat bersyukur sekali. Namun, jika tidak, ia hanya akan menerima takdir yang diberikan Tuhan padanya.

"Anggap saja ... peristiwa saat itu hanya sebuah kecelakaan. Anggap saja Tuan tidak pernah melakukannya," ucap Sakya. Ia sendiri juga bingung bagaimana bisa ia mengatakan hal itu padahal sudah sangat jelas dialah yang dirugikan saat ini.

Nakula menatap aneh pada Sakya.

"Kau yakin dengan ucapanmu itu?"

Sakya mengangguk ragu. Nakula masih menatap Sakya. Ia tak menyangka Sakya bisa mengatakan hal itu.

"Kau benar tak mempermasalahkan hal ini?"

Kembali Sakya mengangguk ragu.

"Bagaimana bisa kau mengatakan hal ini? Bukankah seorang wanita yang baru saja kehilangan ...." Nakula memutus ucapannya sejenak. "Maaf. Kehormatannya. Dia akan sangat membenci orang yang sudah melakukan hal buruk padanya," ucap Nakula melanjutkan ucapannya.

Sakya diam. Ia tak tahu harus apa. Benci. Tentu saja ia sangat membenci orang yang sudah mengambil kehormatannya. Namun, ia tak bisa sepenuhnya benci terhadap pria di hadapannya ini, karena pria itu melakukannya juga dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Bagaimanapun juga pria ini sudah menolongnya dari tempat yang tak seharusnya ia berada.

"Atau kau ... sudah terbiasa melakukannya?" ucap Nakula yang sukses membuat Sakya membelalakkan kedua matanya pada Nakula. Ia menatap tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Nakula. Air matanya kian luruh saat ia harus mendengar ucapan Nakula yang begitu merendahkannya.

"Serendah itukah saya di mata Anda, Tuan?" ucap Sakya dengan terisak.

Nakula tampak terdiam. Ia terlihat begitu bersalah dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Aku ...."

"Saya memang miskin, Tuan. Saya memang gadis kampung. Tapi bukan berarti Tuan bisa menghina saya serendah itu," ucap Sakya disela isak tangisnya. "Seumur hidup saya, saya tidak pernah melakukan hal sehina itu. Tuan mungkin mengatakan hal ini karena Tuan menemukan saya di tempat yang hina. Saya cukup tahu diri, Tuan. Walau saya miskin, saya tidak akan mungkin menyerahkannya begitu saja terhadap sembarang orang. Ini yang pertama buat saya dan ini sangat menyakitkan buat saya. Di saat seharusnya saya menyerahkan semuanya terhadap suami saya kelak, tapi pada kenyataannya hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Saya harus merelakan semua yang tak seharusnya saya serahkan pada orang lain," lanjut Sakya dengan suara tangis yang kian lirih.

Melihat Sakya yang menangis seperti itu membuat Nakula semakin merasa bersalah.

"Maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan itu padamu. Aku hanya ...."

"Saya harap Tuan jangan menemui saya lagi. Saya bisa terima keadaan ini jika ini memang sudah jalan yang diberikan Tuhan untuk saya," ucap Sakya karena tak ingin mendengar lagi ucapan Nakula yang nantinya akan menyakitkan baginya.

"Tapi ...."

"Saya tidak ingin mempermasalahkan masalah ini lagi. Saya harap Tuan bisa menerima keputusan saya. Saya berterima kasih karena Tuan pernah menolong saya, dan saya tidak akan pernah melupakan itu."

Nakula menatap dalam Sakya. Wanita di hadapannya ini benar-benar membuatnya kehilangan akal.

"Baik kalau itu yang kamu mau. Tapi, bagaimana kalau nanti kamu ha-" Nakula menghentikan ucapannya karena ia tersadar akan nada suaranya yang meninggi tengah dilihat oleh orang-orang yang ada di kafe tersebut.

"Bagaimana kalau nanti kamu hamil?" ucap Nakula dengan suara cukup pelan.

Sakya terbelalak saat mendengar ucapan Nakula tersebut. Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Enggak. Itu enggak mungkin. Kita baru sekali melakukannya dan itu tidak akan terjadi."

"Kenapa kamu begitu yakin?"

Sakya diam tak tahu harus menjawab apa. Nakula benar bagaimana kalau seandainya dirinya hamil. Akankah pria di hadapannya ini mau bertanggung jawab terhadap bayinya dan mau mengakui?

Ia yakin Nakula tak akan mau bertanggung jawab mengingat saat malam itu terjadi Nakula menyebutkan nama wanita lain dalam desahannya bukan dirinya. Ia yakin Nakula pasti sangat mencintai wanita itu. Lalu akankah ia menuntut pertanggungjawaban Nakula padanya nanti?

"Saya tidak akan menuntut Tuan untuk bertanggung jawab terhadap saya. Kalau pun nantinya saya hamil, saya akan membesarkannya sendiri. Saya tidak ingin membebani Tuan nantinya."

"Mudah sekali kamu mengatakan itu. Walau bagaimanapun juga jika nanti kamu hamil, anak itu adalah anakku. Darah dagingku. Aku juga berhak atas dirinya."

"Itu tidak akan terjadi. Tuan jangan khawatir. Saya yakin saya tidak akan hamil. Saya jamin itu."

"Kamu yakin? Tapi aku berharap jika itu terjadi kamu tak melakukan hal bodoh nantinya."

"Maksud Tuan?"

"Kamu mengerti maksudku."

"Saya tidak mungkin melakukan hal bodoh dengan menggugurkannya. Saya tidak mau menghilangkan nyawa seseorang walau itu masih dalam perkembangan nantinya. Walau hal itu tak pernah saya harapkan," ucap Sakya yang akhirnya mengerti akan maksud Nakula.

Nakula menarik napasnya dengan dalam. Ia tak tahu harus berkata apa saat ini. Jika Sakya saja bisa menjamin dirinya tak akan hamil, lalu apalagi yang harus Nakula khawatirkan.

"Saya harap ini pertemuan kita yang terakhir. Saya yakin, Tuan pasti tidak ingin bertemu dengan saya lagi. Saya pastikan apa yang Tuan takutkan itu tidak akan pernah terjadi. Karena saat kita melakukannya saya tidak sedang dalam masa subur. Anda jangan khawatir," ucap Sakya sembari menghapus air matanya.

"Baik jika itu yang kamu mau. Kita anggap masalah ini selesai."

Sakya hanya mengangguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status