Share

[06] - Kecopet

HAPPY READING

__________________

Selamat pagi Yogyakarta. Kota sejuta mimpi, kota sejuta harapan dan kota sejuta aktivitas mulai bangun kembali. Gelap remang-remang disertai dengan kokok ayam dari berbagai perkampungan kecil saling beradu merdu untuk membangunkan para pejuang rupiah. Menidurkan hansip malam yang habis berkeliling kompleks, serta mengingatkan sang mentari yang hampir lupa muncul pagi ini.

Dari kamar melati – Rumah Sakit Yogyakarta, seorang perempuan terlihat baru bangun dari tempat berlabuhnya tadi malam. Sedangkan kakak semata wayangnya sudah mandi dan bersiap-siap, sejak tadi subuh. Mereka adalah Adel dan Ilham – kakak beradik yang semalam telah menemani Ridwan di rumah sakit.

“Pagi Del, gimana tidurnya, nyenyak?” sapa Ilham kepada Adel yang masih menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, raut mukanya masih terlihat sayu dan rambutnya yang dibiarkan terurai semalam, sudah seperti habis kesetrum listrik.

Adel hanya membeo, lalu mengangguk pelan, sesekali ia melakukan peregangan otot untuk mendapatkan kembali energi di pagi hari.

“Sana gih mandi, tuh iler  kamu masih menempel,” perintah Ilham membuat Adel kontan mengerucutkan bibirnya, “Hah, nggak mungkin?” pekik Adel mulai meraba-raba pipinya, jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh kakaknya barusan.

Ilham terkekeh pelan melihat tingkah adiknya yang terlihat sangat syok. “Nggak ada kok, kakak Cuma bercanda, sana gih mandi muka kamu kayak mak lampir, tau!” ledek Ilham sembari terkekeh lagi.

“Ih! Kak Ilham jahat, jelek, norak!” kesal Adel lalu bangkit dari sofa. Ia melangkah mendekati kamar mandi yang ada di samping ruangan.

Kamar yang ditempati Ridwan, bisa dibilang kamar VIP, jadi terdapat beberapa fasilitas yang tidak terdapat pada ruangan lain, seperti sofa, kamar mandi dan kipas angin. Dan itu sangat menguntungkan bagi Adel dan Ilham. Mereka tidak lagi mencari-cari kamar mandi yang bisa disewa jika ingin melakukan ritual mandinya.

Selepas Adel mandi, dia menggunakan kembali bajunya yang semalam. Soalnya dia lupa membawa pakaian ganti. Perlengkapan mandi pun, itu milik Ilham yang dia pakai.

“Kak!” sapa Adel kepada Ilham yang sedang duduk di sofa – sedang memainkan ponselnya.

“Hmm?” balas Ilham yang masih berkutik dengan ponsel di tangannya, sepertinya ada berita penting di dalam sana sehingga melirik Adel saja dirinya tidak nafsu.

“Kakak ada baju ganti lagi gak, soalnya gak enak kalau harus makai pakaian semalam,” ucap Adel terdengar memohon.

Ilham mendongakkan wajahnya, “Ya ampun, Del, kamu gunain baju yang semalam lagi? Kenapa nggak bilang sama kakak, kakak ada kok baju ganti, bentar kakak ambilin dulu.”

“Maaf kak, ini semua karena Adel lupa bawa perlengkapan, aku kira kita nggak bakalan bermalam,” ujar Adel duduk di sofa.

“Terus kamu mandi pakai sabun punya kakak?” tanya Ilham sambil merogoh tas miliknya.

“Iya.”

“Cuci muka, sikat gigi! Adel pake juga?”

“Iya!”

“Skincare? Semuanya, Adel pake!”

“Iya!”

“Astaga Del!” Ilham menepuk jidatnya pelan mendengar pengakuan adiknya.

“Kenapa kak? Kakak jijik yah?” tanya Adel begitu polos.

“Bukan gitu Del, tapi itu untuk cowok, kok kamu pake. Kamu kan cewek, gak cocok! Kalau badan kamu nanti jadi cowok? Gimana?”

“Dih, apaan sih kak. Mana ada coba, Cuma pakai produk cowok, tubuh berubah jadi cowok juga. Emang Bunglon, setiap saat bisa berubah sesuai yang menyentuh kulitnya.”

“Iya-iya. Nih, gak usah banyak ngoceh, nanti kita ke rumah Om Reza ambil pakaian kamu.  Terus pakaian yang semalam kamu simpan saja di dalam tas, nanti  kita cuci di Rumah Om Reza,” ujar Ilham menyodorkan celana jeans panjang serta baju kaos bermerek Nike kepada Adel.

Adel menyambut pemberian kakaknya, kemudian bangkit menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia pun keluar dan memperlihatkan tubuhnya yang telah terbalut sempurna oleh pakaian kakaknya.

“Gimana?” tanya Adel dari depan pintu toilet.

Ilham hanya tersenyum menahan tawa, lalu mengangguk pelan. Penampilan Adel pagi ini sungguh menggelitik perutnya. Bagaimana tidak! Jika pakaian miliknya terlalu kebesaran jika terpasang di tubuh Adel.

“Kok senyum-senyum, jelek yah ... iya juga sih, aku rasa ini terlalu besar buat aku, longgar lagi. Kakak ada ikat pinggat, tidak?” tanya Adel ketika melihat respon Ilham yang hanya tersenyum. Dia menghampiri kakaknya sambil memegang celananya yang terasa ingin melorot ke bawah jika tidak dipegang.

“Nggak ada!” balas Ilham singkat, “Yah sudah syukurin aja yang ada, siapa suruh gak bawa baju sendiri,” lanjut Ilham.

“Iya deh, iya! gitu aja kok ngamok!” balas Adel lalu duduk di samping kakaknya lalu mencari-cari ponsel dan menemukannya di bawah sarung.

“Kak!”

“Kenapa?”

“Kok perutku menggerutu yah?” tanya Adel memegangi perutnya.

“Oh, kalau gitu kakak keluar dulu. Kalau nanti papa sudah bangun dan nanyain aku kemana, bilang aja, aku keluar beli makanan,” respon Ilham bangkit dari duduknya. Adel hanya tersenyum lebar, kakaknya itu begitu peka dengan dirinya, atau jangan-jangan kakaknya itu lagi lapar juga sehingga sangat peka dengan perkataannya. Mungkin?

Selepas Ilham keluar kamar, sebuah ketukan terdengar merdu dari luar. Adel yang asyik memainkan ponselnya hanya bisa menatap pintu kamar dengan jidat berkerut dengan pikiran bertanya-tanya. Masak iya, Ilham sudah pulang dari beli makanan? Cepat banget? Batin Adel tidak percaya.

Adel bangkit dari sofa, melangkah menuju pintu dan membukanya pelan. “Selamat pagi Mbak, ini makanan untuk pasien atas nama Ridwan Anjasmara,” sapa sang suster sambil memperlihatkan kereta dorong yang di atasnya terdapat beberapa makanan, ada roti, susu dan buah-buahan.

“Oh iya makasih, yah Sus!” balas Adel mengambil alih kereta itu.

“Apakah Pak Ridwan sudah bangun?” tanya suster ramah.

“Belum Sus. Tapi kalau nanti dia sudah bangun, baru aku kasih!” ucap Adel masih tersenyum ramah.

“Oh baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” pamit suster kemudian pergi. Adel mengangguk lalu menutup pintu dan mendorong kereta menuju brangkar ayahnya yang di sana Ridwan masih tidur sangat nyenyak.

*****

Jam telah menunjukkan, jam 09:00. Adel dan Ilham sudah tiba di depan rumah Reza setelah naik angkot beberapa menit yang lalu. Pintu rumah itu terlihat sudah tertutup. Kemungkinan besar Akmal maupun Om Reza sudah berangkat kerja, sedangkan Oma sudah ada di rumah sakit menggantikan mereka yang kini sudah berada di rumah pamannya.

“Nggak ada orang, Kak?” tanya Adel di belakang Ilham.

“Bentar aku telpon Akmal dulu, nanyain di mana kuncinya!” balas Ilham memencet layar ponselnya lalu mendekatkannya di telinga.

“Halo, Bang Mal! Aku ada di rumah nih, tetapi aku gak tahu kunci rumah di mana?” ujar Ilham to the point setelah panggilan itu terhubung.

“...”

“Oh di bawah pot bunga yah, oke makasih, Bang!”

“...”

“Nggak kemana-kemana, Bang. Mungkin nanti Cuma nyari-nyari kontrakan di daerah sini.”

“...”

“Iya, Bang. Makasih. Kalau gitu aku tutup yah, assalamu’alaykum.”

“Waalaikumsalam,” jawab orang dari seberang, dan sambungan ponsel pun terputus yang ditandai dengan bunyi “tut” pada ponsel Ilham.

Ilham menoleh ke arah Adel yang sedang menunggu hasil. “Gimana?” tanya Adel singkat.

“Kata Bang Akmal, kuncinya ada bawah pot,” balas Ilham lalu menuju pot yang kemungkinan besar itu yang dimaksud. Pot besar yang ada di samping pintu, yang di tumbuhi bunga warna hijau menjulang tinggi sampai mengenai atap.

“Ini, aku dapat!” ucap Ilham lagi setelah menemukan kunci pintu tepat di bawah pot itu. Adel tersenyum, dan mengambil kunci itu dari tangan Ilham, lalu membuka pintu rumah.

*****

“Menurut maps, di daerah ini ada kontrakan murah. Harganya hanya 6 juta per tahun, gimana kalau kita ke sana?” tanya Adel seraya memperlihatkan layar ponselnya kepada Ilham.

“Iya, coba kamu lihat ratingnya, bagus tidak?” tanya Ilham.

“Oke bentar aku lihat dulu yah,” ucap Adel kembali mengutak-atik layar ponselnya.

Sekarang mereka sedang berada di halte yang mereka tidak ketahui apa nama tempatnya. Yang terjelas sekarang dia masih berada di daerah kota Yogyakarta.

Mereka berdua sudah beberapa kali mutar-mutar di daerah itu mencari kontrakan, tetapi belum ada yang cocok dengan keinginan mereka. Ada yang murah, tetapi kamar mandinya rusak. Ada yang lumayan bagus tetapi harganya hampir 10 juta per tahun. Ada juga yang sederhana, tetapi pemiliknya menyebalkan.

Hingga sampai detik ini mereka masih mencari kontrakan yang tak tahu apakah mereka bisa menemukannya atau tidak.

Matahari sudah mulai bergeser ke arah barat, adzan dzuhur dari berbagai masjid terdekat juga mulai berkumandang, tetapi mereka masih berkutik dengan kegiatannya sekarang. Adel masih berkutik dengan ponselnya sedangkan Ilham sedang berdiri bersandarkan tiang halte sembari menyesap bulir-bulir floridina yang sempat ia beli dari pedagang keliling yang sempat lewat di depan halte.

Adel mulai membuka rating dan ulasan dari berbagai kostumer yang menyewa kontrakan itu, dan hasilnya lumayan bagus, hampir semua pengunjung memberinya bintang lima.

“Nih Kak, bagus rate-nya 4,8,” ujar Adel memperlihatkan layar ponselnya kepada Ilham. Ia mengangguk mengiyakan. “Oke nanti kita ke sana!”

SREKK!

“Ponsel gue!!!”

Tiba-tiba, seorang pencopet langsung menyambar  ponsel yang ada di tangan Adel, membuatnya berteriak panik. Ilham langsung berlari mengejar pencopet itu, berharap ponsel adiknya masih bisa terselamatkan.

*****

TO BE CONTINUED ....

sansuris27

Jangan lupa votenya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status