Kematian ibunya, menyebabkan penyakit ayahnya kambuh. Hingga akhirnya, Adel dan Ilham, memutuskan untuk memulai hidup baru di kampung halaman ayahnya, di Yogyakarta. Disanalah, ia melanjutkan pendidikan beasiswanya di sekolah terkenal SMA Sriwijaya. Dan di sanalah ia diuji kesabarannya dengan dipertemukannya dengan cowok menjengkelkan bernama Badai. Cowok yang sangat dibenci oleh Adel seumur-umurnya. Tapi, apa jadinya jika ia malah ditaksir cowok itu. Apa benar, kalau benci dan cinta itu bedanya tipis? Entah! Biar takdir yang membuktikan!
Lihat lebih banyakBISMILLAH
__________
“Semuanya sudah dimasukkan kedalam koper? Intinya jangan ada yang tertinggal, karena kita harus berangkat sekarang. Taksi onlinenya udah datang. Jangan sampai kita ketinggalan kereta!” ucap Ilham memperingati Adel yang masih duduk termenung menerawang jauh di depan jendela kamarnya.
Namun, sepertinya perempuan itu tidak mengindahkan perkataan abangnya. Dia hanya menatap Gunung Tangkuban Perahu yang jauh di sana. Sementara, kelopak matanya terlihat sembab. Mungkin karena tangisnya semalam sehabis dari pemakaman.
Kemarin adalah hari ke tujuh sepeninggal ibunya. Dan rencananya, setelah hari itu mereka akan tinggal di Yogyakarta dan memulai hidup baru di sana. Semoga saja, keputusan yang dia tempuh bisa membuat kehidupannya bahagia di kampung halaman Ridwan – ayahnya.
Ilham balik badan dan menatap adik semata wayangnya yang belum bergerak sama sekali. Ia menghela napas pelan dan kembali berjalan menghampiri Adel, dan langsung memegang kedua bahu adiknya.
“Del! Kita berangkat sekarang. Taksi onlinenya sudah datang, kita harus cepat, jangan sampai ketinggalan kereta,” ujarnya pelan namun sempat membuat Adel terkejut akibat tangan kakaknya yang tiba-tiba nangkring di atas bahunya.
Adel mendongakkan wajahnya, dan tersenyum kepada Ilham. Lalu, dia bangkit dan berkata, “Ayo, Bang.”
Ilham meninggalkan kamar adiknya dan berjalan keluar lebih dahulu dan kembali mengecek barang-barang yang akan dibawa. Jangan sampai ada yang tertinggal. Kemudian ia membawanya keluar dan memasukkannya ke bagasi taksi yang sudah dipesannya, dan dibantu oleh sopir taksi.
Adel bergegas meninggalkan kamarnya. Ketika melewati nakas, teringat kembali kejadian-kejadian yang pernah dia lakukan di sana. Semuanya terasa indah, dan sangat sulit dia lupakan. Lalu, dia menghampiri pintu dan mulai meraih gagangnya dan menutupnya pelan. Pintu itulah yang selalu menjadi saksi bisu kisah-kisah yang telah dia rasakan di kamar tersayangnya itu, tetapi sekarang dengan berat hati dia harus meninggalkan semuanya.
Keluar ke ruang keluarga, sofa empuk berwana kecoklatan terlihat sangat nyaman kini hanya menjadi sorotan netra-nya yang terasa mulai buram. Sofa itulah yang menjadi saksi bisu, saat bersama keluarga kecilnya. Mama, papa, Bang Ilham, dan semua tingkah-tingkah konyol kakaknya yang dia ingat hingga detik ini.
Dan tak lama lagi, Sofa itu akan dijadikan sebagai tempat bercengkerama oleh pembeli rumahnya. Adel menggelengkan kepala, ketika kelopak matanya tak mampu menahan tetesan air mata yang sudah memberontak ingin tumpah.
Ia kemudian berjalan ke arah ruang tamu. Menatap semua yang ada di sana, kejadian ketika teman-teman sekolahnya datang bertamu kembali mengisi otaknya dan membuat senyuman di bibirnya terukir jelas. Tak terasa kisah itu kini menjadi bahan nostalgia, dan dia akan meninggalkan itu semua.
Kakinya terus melangkah, dan kini dia sudah mengencangkan jari tangannya pada gagang pintu dan mulai menutupnya perlahan. Dan terakhir, dia menguncinya dari luar. Adel berjalan pelan meninggalkan teras, matanya sempat melihat garasi mobil. Di kepalanya kembali teringat, ketika dia harus kepentok pintu mobil sebab terburu-buru ke sekolah karena terlambat. Dan sekarang, itu semua hanya menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupnya.
Kemudian, dia menghampiri Ilham yang sudah berdiri di samping taksi, dan sepertinya barang-barangnya sudah tersimpan di bagasi, kecuali barang tote bag yang ada di tangan Adel.
Setelah mengunci pintu pagar, Adel kembali menatap rumahnya yang di sana, sudah tergantung papan bertuliskan “Rumah Ini Dijual.” Dia menghela napas pelan, dan tersenyum – tidak ikhlas jika dia harus meninggalkan semuanya. Hari ini adalah hari terakhirnya di Bandung, hari dimana kenangan-kenangan indah di rumah itu kembali mengisi otaknya.
Selamat tinggal Bandung, selamat tinggal semuanya. Mama, teman-teman dan semua kisah yang pernah terjadi di setiap sudutnya. Mungkin kisahku cukup sampai disini. I love you so much all, I don’t forget to you! Forever!
“Del, gimana? Udah?” tanya Ilham tersenyum lebar, cowok itu terlihat sangat kuat, walaupun dalam hatinya ia sungguh rapuh, tetapi ia juga tidak mau membuat Adel semakin sedih jikalau tahu dirinya cukup terpukul atas kepergian ibunda tercinta untuk selama-lamanya.
Adel balik badan ketika mendengar seruan kakaknya. Dia tersenyum dan mengangguk. Lalu, berjalan menghampiri kakaknya dan memberinya tote bag yang ada di tangannya untuk disimpan di bagasi.
Setelah itu, mereka berdua masuk kedalam taksi dan meninggalkan rumah itu. Ayahnya tidak terlihat lagi, karena memang sudah dikirim ke Yogyakarta, sehari setelah kematian ibunya. Karena, penyakitnya yang tiba-tiba kambuh dan ia akan dirawat di Yogyakarta.
*****
___________
TO BE CONTINUED
HAPPY READING ***** Tidak terasa sudah banyak jam yang telah terlewati di Yogyakarta. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, suka, duka, senang, dan sedih semuanya sudah dirasakan oleh seorang Adela Andriana. Semuanya memerlukan mental yang kokoh, untungnya masih ada Ilham yang selalu setia membantunya. Meskipun dia sekarang sedikit menjengkelkan, jujur Adel tidak bisa hidup tanpanya. Terdengar sangat lebay emang, tetapi persepsi orang kan berbeda-beda. Dan satu yang pasti, seandainya cerita ini tidak habis kena kontrak, mungkin authornya sudah mengubah judulnya, “I Love my Brother,” tetapi karena beberapa ketentuan lain maka dia akan tetap setia di judul, “Because You’re Mine.” Sudahlah, lebih baik kita masuk ke cerita. Cerita sang putri yang sangat cantik dan pada akhirnya akan bahagia dengan pangeran berkuda. “Akhirnya mereka berdua bahagia selamanya. Tamat!” Terdengar sangat klise bukan? Tanpa mendengar pendapat kalian, Author se
HAPPY READING ***** “Bang!” ucap Adel menatap kakaknya yang sedang berselonjor di kursi ruang tamu. “Apa?” tanya Ilham. “Gak usah banyak tanya, baiknya kamu terusin mijitnya, di bagian sini nih!” lanjutnya memerintah. “Bukan di situ, yah ... ah bukan, di sini!” “Dih, apasih Bang! Emm!!” kesal Adel lalu memijit lengan Ilham kuat-kuat. “Aww! Kamu mau bunuh, Abang?” tanya Ilham mengaduh kesakitan. “Sudah-sudah!” putusnya kemudian lalu mengenyangkan tangan Adel dari lengannya. Bisa-bisa badannya remuk seperti habis ditindas buldozer jika Adel memijatnya seperti itu. “Dasar lo jadi adek, gak ikhlas banget kalau ngebantuin!” lirih Ilham kemudian. “Abisnya sih, Abang menjengkelkan sekali. Kayak bos killer norak tahu gak,” sahut Adel merespon. Sepertinya Adel mendengar perkataan Ilham barusan. Yang lebih kesal sekarang adalah Adel. Enak saja abangnya itu memerintahnya untuk memijitnya, tetapi kalau tidak enak, malah ma
HAPPY READING ***** Kegiatan bersih-bersih masih berlangsung hingga saat ini. Keringat yang sudah menetes berbenturan dengan kuman membuat Adel merasakan ada aroma-aroma yang sangat enak dicium. Yah, bau-bau yang membuat kita ingin menutup hidung agar aroma itu tidak sampai masuk ke dalam indra penciuman dan membuat organ tubuh menjadi pingsan dan tidak melaksanakan kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, meskipun demikian. Adel dan Ilham tetap tidak mau menghentikan pekerjaannya yang dirasa masih belum adalah lima puluh persen selesai dalam perenovasian ini. Acara bersih-bersih sudah selesai dan kecoa-kecoa sialan yang sudah mati kini terkumpul di dalam baskom. Akibat semprotan Adel yang secara serampangan membuat semua makhluk yang menciumnya isdet alias berpulang ke Illahi. Sangat miris emang, apalagi keluarga besar kecoa bawah bantal semuanya tidak ada yang tersisa. Mulai dari nenek buyut hingga cucu-cucu yang masih dalam telur dan p
HAPPY READING ***** Sehabis membeli sarapan, Ilham kembali ke kamar ayahnya. Terlihat dia berisul-siul kecil melewati lorong koridor seraya menjinjing kantong kresek berwarna hitam polos disertai aroma-aroma enak yang mengikutinya. Sepertinya Ilham baru saja membeli gudeg dari pedagang kaki lima di depan rumah sakit sana. Memang sih, makanan pedangan kaki lima tidak kalah dengan makanan di restoran, atau bahkan di pedagang kaki lima lebih untung. Sudah enak, sederhana, murah lagi. Tidak sama di restoran, kelihatannya saja mewah, tetapi rasanya, sama. Mewah juga. Bisa membuat rekening jadi limit. Ilham membuka pintu dan melihat Adel sedang main ponsel di sofa. Sedangkan Ridwan sedang di periksa oleh suster. “Nih!” ujar Ilham seraya menyimpan gudeg di atas sofa. “Buat aku?” tanya Adel singkat. “Buat sofa! Yah buat kamu lah,” sungut Ilham membanting dirinya di sofa. Adel hanya mengerucutkan bibirnya. Lalu
HAPPY READING ***** Terasa ada yang kurang pagi ini. Ilham yang tidur lagi selepas shalat subuh tadi, menjadi heran tidak mendapati Adel di kamar. Ilham menjadi bingung dan cemas dibuatnya. Jujur, meskipun dia sedikit kesal kepada adiknya itu, tetapi jikalau dia tidak mengetahui Adel ke mana, dia juga merasa khawatir akan terjadi apa-apa kepada adiknya itu. Ilham mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Ridwan yang baru saja bangun dari alam mimpinya menautkan alis, karena bingung. Ada apa geranga, mengapa Ilham mondar-mandir seperti itu? Jikalau memang dia ingin jogging atau berjalan santai sambil olahraga, kenapa tidak keluar saja? “I-Ilham, kenapa mondar-mandir di situ, Nak? Adikmu mana?” tanya Ridwan terbata-bata. Ilham menghentikan aksinya, dan mendekati brangkar Ridwan. Dia berusaha menghilangkan rasa cemasnya, agar Ridwan tidak ikut cemas, tetapi dia tidak bisa. Sekuat tenaga dia melakukannya, tetapi rau
HAPPY READING ***** Malam ini Badai tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran dengan kejadian tadi siang di depan cafe. Benar-benar terhina, harga dirinya di injak-injak oleh perempuan sialan itu. Badai tidak jadi ke basecamp Dark Tiger karena kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik. Saat ini dia hanya duduk di balkon kamarnya, seraya menjabak rambutnya frustrasi. Dia tidak habis pikir jika ada cewek seberani itu menginjak haga dirinya di depan teman-temannya. Jika Dark Tiger tidak mau menerimanya lagi bagaimana? Mengingat kejadian tadi siang. “Oh maaf, gue sudah salah duga. terimah kasih yah,” ujar Ilham meminta maaf dan mengelus bahu Badai pelan. Badai menjadi lega karena merasa permasalahannya dengan cowok yang ada di dekat perempuan sialan itu sudah selesai. Tetapi bukannya selesai, malahan cowok itu mendekatinya dan berbisik ke telinga Badai. “Tapi masalahnya sekarang, lo ngapain adek gue k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen