Share

Malam Pengantin vs Perjanjian Kontrak

Mereka terlihat begitu lelah, setelah seharian menjadi ratu dan raja dengan duduk di singgasana. Keduanya tidak ada yang memutuskan keluar kamar setelah selesai membersihkan tubuh masing-masing. Bahkan, bayi mungil itu dititipkan pada ibu Nena malam ini. 

"Di luar masih ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Apa di sini kalau hajatan tetangga suka berkumpul sampai larut malam begini?" Nena hanya mengangkat bahu. Acara resepsi sudah usai sejak jam delapan malam.

"Ini rumah kamu tapi kamu seolah nggak tahu apa pun." Hady heran dengan tingkah Nena. Dia terkesan kaku dan seolah belum pernah berbaur dengan sekitar. Terlihat dari caranya tadi saat tetangga sekitar menyalaminya.

Nena mengembuskan napas pelan. "Aku dari SMP sampai SMA sama Nenek tinggal satu kabupaten sama Ayah, beda desa. Nenek meninggal dan aku masuk kuliah, tinggal di Bandar Lampung sampai sekarang."

Hady mengangguk, dia terus memperhatikan gerak-gerik Nena yang berjalan mendekati meja rias dan seperti akan mengambil sesuatu.

"Ketemu."

"Apanya?" Bukannya menjawab, Nena hanya tersenyum tipis dan berjalan mendekat pada Hady yang duduk bersila di atas tempat tidur. "Buat apa kertas sama pena?" tanya Hady penuh selidik.

"Kita buat perjanjian." Nena ikut duduk bersila menghadap Hady, meletakkan pena dan kertas di antara mereka.

"Maksudnya? Kamu mau kayak di novel-novel yang ceritanya menikah kontrak?" Mendengar pertanyaan Hady, mata Nena menyipit. Dia segera memukul paha Hady yang terekspos dengan keras sampai mengaduh kesakitan. 

"Auh, kenapa malah pukul, sih? Badan kurus begini, tenaganya kuat banget," gerutunya kesal, dia mengelus pahanya yang terasa nyeri.

Nena berdeham dan meneruskan perkataannya. "Aku serius, Bang. Aku mau kita buat surat perjanjian mengenai hubungan kita. Terserah Bang Hady mau menganggapnya sebagai bagian dari cerita di novel."

Hady dengan mantap menolak, menatap mata Nena dengan sorot tajam. "Nggak! Jangan kamu pikir aku bersedia dengan hal konyol begini, Na!" Napas Hady naik turun seiring rasa kesalnya pada pemikiran Nena.

"Kenapa, Bang? Bukannya kita menikah cuma karena tuduhan itu?"

"Ya, i–ya, sih, tap–"

"Bukannya Bang Hady suka sama Mbak Susi?" Mata Hady membulat sempurna mendengar perkataan Nena. Dia kikuk dengan keadaan seperti ini, selama ini dia merasa tidak ada yang mengetahui tentang perasaannya pada Susi, seorang teller bank.

Hady berdeham berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?" 

Nena tertawa kecil, di mata Hady tawa istrinya itu persis seperti seorang psikopat. "Yaelah, kucingnya Mbak Mega saja bisa tau kalau Bang Hady suka sama Mbak Susi. Bang Hady selalu ketus sama aku tapi ramah dan terkesan malu kalau ketemu sama Mbak Susi, bahkan kelihatan bodohnya," ucapnya lirih. Dikatakan bodoh, Hady begitu geram. Bagaimana mungkin dokter hewan dengan gelar cumlaude itu bisa dikatakan bodoh?

"Oke, oke. Apa yang mau kamu buat aku tulis di sini." Hady merampas kertas dan pena yang sejak tadi menjadi pendengar setia perdebatan mereka.

Nena terlihat salah tingkah, tapi setelah melalui proses yang begitu panjang dan telah matang dia harus mengatakannya.

"Pertama, aku nggak akan kasih hak ke Bang Hady sebagai suami selama pernikahan." Hady terbengong, bagaimana mungkin?

"Nggak bisa! Itu hakku, mana mungkin kamu bisa memutuskan sepihak begitu?" tegasnya tidak terima.

"Bukannya suami istri yang melakukan hal itu atas dasar cinta? Kita?" Hady seketika loyo, benar yang dikatakan istrinya, mereka tidak ada perasaan satu sama lain.

"Sudah kutulis, lanjut." 

"Kedua, kita tidak boleh ikut campur urusan masing-masing. Aku mau tidur di kamar terpisah kalau Ibu nggak ada di rumah." Hady dengan setia mencatat semuanya dengan tidak bersemangat.

Nena melirik sekilas pada Hady, wajah kesal terlihat jelas di sana. "Ketiga, kita harus menyelidiki asal usul baby sampai tuntas. Aku rasa cukup itu persyaratan dari aku, sekarang giliran Bang Hady mengajukan." 

Hady segera mengangkat wajahnya yang kini telah ceria, seperti menemukan oase di padang pasir yang luas. Dia menyerahkan kertas dan pena pada Nena untuk mencatat. 

Dia berpikir keras apa yang akan dia bubuhkan di kertas tersebut sebagai nomor empat. Suara tawa dan sedikit kegaduhan di luar tidak membuat konsentrasi dirinya terganggu.

Nena dengan setia menunggu, dia mengamati tulisan Hady yang begitu miris untuk dibaca. "Aku cukup satu saja."

"Apa itu?" tanya Nena bersemangat.

Hady tersenyum usil. "Kalau di antara kita ada yang sudah memiliki perasaan, harus langsung diungkapkan dan perjanjian nomor satu dan dua langsung batal, serta nggak ada namanya perceraian." Nena mendengus kesal, segera dia mencatat apa yang diminta Hady. 

Selesai menulis apa yang menjadi permintaan Hady, dia merogoh saku baju tidurnya untuk mengambil sesuatu. Dikarenakan tidak ada lem, ludahnya dia jadikan sebagai perekat materai yang dia ambil tadi. Hady bergidik, dia kembali sadar, Nena tidak akan berubah menjadi lebih anggun dalam sekejap hanya karena dandanan yang dia kenakan saat pernikahan. 

Selesai mereka saling membubuhkan tanda tangan, Nena melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam dompet. 

Mereka merebahkan tubuh lelah mereka di atas tempat tidur, memberi batas antara mereka dengan guling. Hady menatap langit-langit kamar Nena dengan plafon warna biru tua. 

"Na, bagaimana keadaan kalian selama beberapa hari di sini?" Nena yang sedari tadi juga memilih menatap langit-langit kamar, menoleh pada Hady dan kembali pada kegiatannya yang tadi.

"Baik." Hady mengangguk. 

"Besok kamu siapkan ikut aku sama Ibu ke bandar Lampung?"

"Iya, Bang. Aku juga udah nggak betah di sini." Nena mengangkat tangan kirinya tinggi, dia melihat cincin yang masih melingkar di jari kelingkingnya. Mengingat momen lucu tadi dia akhirnya terkekeh.

Hady mengubah posisinya ke samping, menghadap Nena. Dirinya menjadikan  tangannya yang membentuk siku-siku sebagai tumpuan kepala. Dia ikut melihat cincin kawin tersebut dan juga sama seperti Nena terkekeh mengingat momen memalukan tadi pagi.

"Itu Ibu yang beli, tapi pasti nanti kalau Ibu cerita dia bakal bilang kalau aku yang beli." Nena menoleh dan mendapati Hady sedang menatapnya dengan tatapan berbeda tidak seperti sebelumnya. Merasa risih dengan tatapan tersebut, dia memilih menurunkan tangannya dan memilih untuk bangun.

"Aku jadi pengen tidur bareng sama baby Zoe." Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

"Kenapa? Kamu gugup aku liatin?"

Nena menatap sinis Hady. Suara berisik di luar juga kini membuatnya entah kenapa menjadi kesal. Hendak memprotes perkataan Hady, suara ketukan pintu membuatnya buru-buru turun dari tempat tidur dan segera membukanya.

Perasaannya benar. Baby Zoelah yang datang dalam gendongan Bu Siti. "Baby," seru Nena setelah dia membuka pintu. "Bu, sini biar aku yang gendong." 

Bu Siti segera menyerahkan bayi tersebut pada Nena. Terlihat jejak tangisan di pipi bayi tersebut. "Baby dari tadi nangis terus, mungkin karena jauh dari ibunya, Non." Nena segera membenahi gendongan dan mencium gemas bayi itu.

Setelah menyerahkan bayi tersebut kepada Nena, Bu Siti segera berpamitan. 

"Apa aku boleh gendong dia?" tanya Hady, dia begitu senang melihat baby Zoe terlihat sehat dan berisi. Nena mengangguk dan menyerahkan baby Zoe pada Hady untuk digendong.

"Hai, Zoe ini Ayah," sapanya. 

Nena segera membuatkan susu, semua persediaan untuk membuat susu memang sudah ada di kamarnya.

"Apa dia minum susunya kuat?" Nena mengangguk. "Kamu pernah menyusuinya sendiri?" Hady begitu usil ingin melihat reaksi Nena seperti apa. Benar saja, Nena yang sudah selesai membuatkan susu terlihat jutek saat menatap Hady.

"Kenapa mukanya ditekuk begitu?" 

Tidak menjawab, Nena memilih naik ke atas tempat tidur. "Tidurin baby Zoe di sini, Bang." Dia sudah menyingkirkan guling yang tadi menjadi pembatas dan menggantinya dengan bantal yang biasa digunakan baby Zoe untuk tidur. 

"Dia minumnya kuat banget, ya. Jujur, Na, aku penasaran siapa orang tua yang tega buang bayi menggemaskan seperti baby Zoe." 

Nena menepuk pelan dada baby Zoe, biasanya dia sudah tidur sejak jam delapan malam, tapi sampai sekarang belum juga tertidur. Hady begitu senang melihat kesabaran Nena mengasuh bayi yang faktanya bukan bayinya sendiri. Dia jadi membayangkan bagaimana jika mereka memiliki anak, bisa jadi Nena akan semakin telaten dalam mengurus bayi.

Karena rasa capek yang mendera, kedua orang tua dadakan itu tertidur menyusul baby Zoe yang sudah tertidur pulas beberapa menit lalu setelah menghabiskan susunya. Suara berisik yang masih saja terdengar tidak membuat mereka terganggu. 

Di sisi lain, Bu Elok yang sengaja menginap di rumah ibunya Nena tidak bisa juga memejamkan mata karena suara berisik. Kamar yang dekat dengan ruang tamu menjadikan suara tawa mereka begitu terdengar jelas. 

"Tau begitukan ikut mereka nginap di rumah Pakde Jairan," keluhnya. Dia mencoba Memejamkan mata dan menutup telinganya dengan batal 

***

Hal pertama yang menjadi pemandangannya setelah bangun dari tidurnya adalah wajah polos istrinya. Dia mengangkat pelan tangan Nena yang menindih tubuh kecil Zoe. "Kamu sudah bangun juga? Lihat, Ibumu masih saja tidur." Dia memainkan pipi berisi Zoe, membuat bayi tersebut tersenyum memamerkan gusinya yang masih polos belum tumbuh gigi. "Manisnya." 

Nena menggeliat dan mengubah posisinya tidur telentang. Alangkah terkejutnya Hady saat melihat Nena yang sudah membuat pulau pada bantalnya, terlihat jelas jejak-jejak bekas aliran air yang mengalir lancar sudah mengerak dan kembali keluar aliran yang baru saat dia merubah posisinya tadi. 

Takut mengenai baby Zoe, Hady dengan sigap menggeser baby Zoe menjauh darinya. "Astaga, lihatlah Ibumu. Gimana mungkin aku bisa nikah sama orang begitu. Ya Tuhan, kasihanilah aku," ucapnya lirih. Dia melihat baby menatapnya seolah mengerti apa yang dirasa oleh ayahnya saat ini dan mengatakan. "Itu yang aku rasakan, Ayah." 

Melihat mata polos bayinya membuat Hady tertawa renyah sampai membuat baby Zoe yang kaget menangis. "Cup, cup, cup, Nak manis, jangan nangis, ya, nanti Ibumu bangun." Dia berusaha menenangkan baby Zoe dan berhasil. 

"Kenapa dia nggak juga bangun. Dasar kebo," kesalnya. Suara ketukan pintu membuatnya beranjak dari tempat tidur sembari menggendong baby Zoe. 

"Ibu." 

"Kalian tidur bertiga?" Hady mengangguk. Elok menjadi kesal sekarang. "Tau begitu Ibu juga ikut tidur di sini sama kalian. Ibu kira kalian lagi berjuang mau buat adik buat baby ini, makanya nggak berani Ibu ke sini." Hady melongo. 

"Ish, tutup mulutmu. Mana Nena?" Hady segera menunjuk Nena dengan dagunya. Mengikuti arah dagu anaknya, elok terkejut melihat menantunya yang tidur begitu pulas. 

"Bawa sini bayimu, biar Ibu yang mandikan. Kamu bangunin istrimu dan ajak mandi bareng biar menghemat waktu." 

Kita mau ke mana, Bu?"

Bu Elok menjewer telinga Hady. "Ya, pulanglah. Ke mana lagi? Cepat." Dia segera membawa baby Zoe setelah puas memberi anaknya jeweran. 

"Ibu tangannya lincah banget." Dia menggosok daun telinganya yang terasa panas.

"Bang ...."

Bersambung

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status