Share

Keputusan Kabur

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nena, sejak dua jam lalu dirinya memilih untuk membaringkan tubuhnya di samping bayi mungil tak berdosa itu. 

"Nena, boleh Ayah masuk." Sayup-sayup terdengar suara ayahnya memanggil, Nena segera beranjak untuk membuka pintu kamarnya. 

"Nak ...." Menatap sekilas wajah yang begitu dirindunya, mendengar semua percakapan mereka tadi membuatnya enggan untuk hanya sekadar tersenyum tipis.

"Masuklah," ujarnya. Dia terlalu malas untuk hanya menatap lama wajah ayahnya.

Nena memilih duduk di tepi tempat tidur, sedangkan menyuruh ayahnya untuk duduk di kursi yang tersedia lewat dagunya. "Ada apa?" tanya Nena.

Ayahnya terlihat mengembuskan napas kasar. "Na ... Ayah nggak akan tanya alasan kamu lakuin hal memalukan seperti sekarang ini. Yang perlu kamu tau, kami sudah sepakat besok lusa keluarga pihak pria akan datang ke rumah ini untuk acara pernikahan kalian, itu keputusan kami dan sudah bulat."

"Apa Ayah juga percaya dengan semua yang terjadi sekarang? Ayah percaya kalau Na bisa lakuin hal seperti itu?" Di balik sikapnya kini, masih ada harapan besar bahwa ayahnya memercayai dirinya. 

Benar, mereka tidak akan ada yang percaya. Dilihat dari sikap ayahnya yang tampak ragu untuk menatapnya. "Baiklah, Na paham. Lusa, Na siap menikah. Sekarang Ayah bisa keluar, kasihan Zoe kalau berisik," usirnya.

Mengetahui kekecewaan putrinya, Edi memilih untuk menuruti permintaan Nena. Dia hanya bisa mendengus kesal saat Nena menolak dirinya yang akan mencium kening. 

Setelah kepergian ayahnya, Nena yang semula memilih diam kini mulai mengajak bayi tersebut berbicara. "Kamu lihat Zoe, apa dia benar seorang Ayah?" Dirinya hanya bisa mengadu pada bayi yang tanpa sengaja dia beri nama Zoe tersebut. "Kita sama, sama-sama terbuang," ucapnya lirih. Dia merebahkan tubuhnya kembali di samping bayi tersebut dan menciumi pipi gembulnya.

***

Semua persiapan pernikahan hampir selesai, besok saat acara pernikahan hanya membutuhkan waktu begitu singkat bagi mereka mengurus semua keperluan dekorasi tempat bahkan persyaratan di KUA.

Nena memilih untuk membuatkan susu bayinya itu, dia tidak terlalu peduli dengan apa yang orang tuanya lakukan untuk acara pernikahan yang dilakukan esok.

"Sebaiknya aku buru-buru ke kamar, kasihan Bu Siti jagain baby." Dia mengocok perlahan botol susu yang sudah dibuatnya. Berjalan melewati Ibu kandung dan Ibu tiri yang terlihat akur mempersiapkan pernikahannya esok, membuat dirinya tiba-tiba muak.

"Bu Siti boleh keluar, pasti masih banyak kerjaan untuk besok, kan? Aku nggak apa." 

Wanita paruh baya itu mengangguk dan segera pergi tanpa menjawab setelah mencium gemas pipi gembul baby Zoe.

"Hay, Baby Zoe minum susu dulu ya. Besok kamu bakalan ketemu sama Ayah," kekehnya pelan. Beberapa hari mengurus bayi tersebut, Nena sedikit mulai paham. Dia yang awalnya menggendong dengan begitu kaku menjadi agak luwes walau masih terlihat mengerikan.

"Kamu tau, aku sebenarnya ada niatan kabur karena males nikah sama Bang Hady, dia itu dokter hewan amatiran. Ingat ada kamu sekarang, aku berpikir dua kali untuk ngelakuin hal itu dan semoga dia nggak rawat kamu kayak dia rawat hewan peliharaannya ya." Baby Zoe tersenyum sambil terus meminum susu dari botolnya seolah paham dengan apa yang dibicarakan Nena.

***

Hady dilanda kecemasan, apa benar dirinya harus menikah dengan gadis seperti Nena? Kucel, pelupa, dan yang parah dia itu jorok. 

Hady masih ingat dengan jelas saat dia lihat gadis yang esok akan dia sebut namanya dalam ijab kabul itu menangis di depan pintu kamar indekosnya dengan posisi jongkok. Saat Hady menegurnya dia terkaget ketika Nena mengangkat wajah yang dia sembunyikan pada kedua lututnya itu. Ingus yang meler dan langsung dia lap pada lengan kaus panjangnya. 

"Astaga, mana sanggup aku nikah sama orang begitu! Tapi ... tapi gimanapun juga kasihan bayi itu dan Nena kalau aku nggak mau kasih mereka status yang jelas." Dirinya begitu galau. "Bodo amat, keputusanku udah bulat, aku harus kabur dari rumah sementara waktu. Setelah keadaan aman baru aku balik ke rumah."

Dia kembali mengemasi bajunya dan hendak kabur lewat jendela yang tidak diteralis. "Selesai," girangnya. Hady berusaha melompat keluar saat dirasa keadaan halaman rumahnya sudah sepi. 

"Maafin Hady, Bu. Hady cuma nggak tega sama diri sendiri kalau nikah sama gadis seperti Nena." Setelah menutup kembali jendela kamar, Hady memulai aksinya dia mengambil dan mendorong motornya yang terparkir di dengan rumah.

"Bang Hady, kamu mau ke mana?" Hady mempercepat langkahnya, dia sama sekali tidak menoleh. "Bu, Bu Elok, Bang Hady mau kabur, Bu!" teriak gadis yang memergoki aksi Hady.

"Sial, pasti Ibu yang ambil kunci motorku." Kini Hady kebingungan, sudah mendorong motornya lumayan jauh, sialnya dia tidak melihat kalau kunci motor yang biasa tercantol sudah tidak ada. 

"Mau ke mana kamu, hem!" Bu Elok dengan sigap mendekati putranya yang sudah berada di luar pagar rumahnya itu. Dirinya harus menerima kesakitan pada telinga karena jeweran tanpa ampun Bu Elok padanya.

"Ampun, Bu, ampun," rintihnya memohon.

"Nggak ada! Susi kamu bawa motor Hady ke dalam lagi, ini kuncinya." Perintahnya pada gadis yang tadi memergoki Hady hendak kabur. 

"Siap, Bu."

Hady harus menanggung malu saat ibunya tidak mau melepaskan siksaannya yang terasa menyakitkan. 

Sesampainya di kamar, Hady segera mendapatkan interogasi dari Bu Elok. "Kamu mau mempermalukan Ibu? Hah!" bentaknya, dia berkacak pinggang membuat dunia Hady semakin horor.

Hady berkali-kali mengusap telinganya yang memerah. Dia mendengus kesal dan berkata, "Aku nggak mau Bu, kalau nikah sama gadis seperti Nena."

"Memang kenapa dia?"

Hady menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Ibu tau sendiri, kan gimana dia yang jorok dan nggak pernah perhatian sama dirinya sendiri. Pelupa lagi," sungutnya kesal. 

Kesal dengan pikiran anaknya, Bu Elok sampai kembali menjewer salah satu telinga Hady yang tadi belum merasakannya. "Setelah apa yang kalian berdua lakuin, sekarang kamu nggak mau tanggung jawab? Pria macam apa kamu?" 

Hady benar-benar kesal, ibunya sendiri yang dengan jelas tahu aktivitasnya selama ini dengan mudahnya percaya dengan tuduhan orang di sekitar.

Melihat anaknya yang seperti masih tidak mau menerima, dia semakin kesal dan akhirnya memainkan dramanya. "Kamu benar-benar beda sama Ayahmu, dia pria yang bertanggung jawab nggak kayak kamu, pengecut. Kalau kamu nggak mau nikah sama Nena, kamu bakal lihat Ibu yang terbaring kaku dan dibacain Yasin sama tetangga, mau?" 

Hady mendengus kesal, ibunya terlalu pintar memainkan lakon. "Tapi, Bu ...." 

Melihat ibunya mulai menangis, sebagai pria yang begitu menyayangi ibunya dengan terpaksa dan begitu berat hati dirinya mengangguk setuju. 

"Kamu nggak terpaksa, kan?" Hady kembali mengangguk pasrah. "Kamu harus tau, Nak. Ini semua demi kamu, percayalah kalau Nena itu gadis yang baik dan bertanggung jawab. Sudahlah kamu tidur karena sudah malam dan besok setelah salat subuh kita ke rumah Nena." Bu Elok menepuk pelan bahu putranya itu. 

"Iya, Bu." Wanita paruh baya itu segera keluar dari kamar setelah mengatakan hal tersebut. 

Gagal kabur membuat Hady mengerang kesal. Kenapa juga dirinya sampai ketahuan? Sama Susi lagi yang dia miliki rasa pada gadis tersebut. 

Baru saja dirinya merebahkan tubuh ponselnya berdering, ada pesan masuk di ponselnya. Dalam keadaan malas dirinya membuka pesan tersebut.

"Nena?" Matanya menyipit menaruh curiga pada gadis tersebut dilihat dari isi chatnya.

Bersambung

Hai jangan lupa bersyukur

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status