Share

Kartu keluarga

Mereka telah sampai di rumah, Bu Elok langsung menyuruh Hady membawa istri dan anaknya ke kamar.

"Tidurkan baby Zoe di sana, kamu bisa rebahan juga. Pasti capek." Nena hanya mengangguk. 

Saat Hady hendak keluar kamar, Nena menarik ujung kemeja bawahnya. Dia menatap Nena dengan heran.

"Ada apa?" 

Bukan menjawab, Nena segera menjauhkan tangannya dan menggeleng. "Ya sudah, aku keluar dulu."

Hady sebenarnya merasa heran dengan gadis yang kini berstatus istrinya itu. Sejak meninggalkan rumah ibunya dia menjadi begitu pendiam. Selama di mobil pun dia memilih menatap keluar menikmati suasana di luar dan menyerahkan baby Zoe pada ibu mertuanya.

"Mereka sudah di kamar?" Hady mengangguk dan duduk mendekat.

Bu Elok mendesah pelan, dilihatnya sejenak putra bungsunya yang kini sudah berstatus sebagai suami dan memiliki tanggung jawab besar itu. "Kamu sudah menikah, maafin Ibu kalau sering marahin kamu." 

Hady merasa terenyuh, dia mengangguk dan hanya diam menjadikan dirinya pendengar. "Ibu sudah daftarkan nama kalian sama Pak RT, tinggal bayi kalian yang Ibu belum tahu." 

"Iya Mas, kalau boleh tau siapa nama bayinya? Besok kartu keluarga dan aktanya sudah bisa saya serahkan."

Hady nampak berpikir sejenak, beberapa kali mengembuskan napas. Bukannya menjawab pertanyaan kedua orang yang sudah begitu setia menunggu jawab, dia malah memilih balik ke kamarnya.

"Bang Hady ngapain kayak habis dikejar anjing tetangga?" tanya Nena sedang memberi susu baby Zoe melihat suaminya masuk ke kamar dengan tergesa-gesa.

"Bayi itu nggak kamu kasih nama Zoe Taslim, kan?"

"Hah?"

"Namanya siapa?"

"Nena," jawabnya polos. 

Hady menepuk keningnya keras. Astaga, dia kini kembali mengetahui lagi sisi unik dari istrinya. "Sudah tau!" Hady mendengus kesal. Nena dengan santai hanya mengangguk dan meletakkan botol susu ke nakas di sampingnya.

"Terus kenapa tanya?" Nena menyelimuti baby Zoe dan memberi guling di sisi kanan dan kirinya. Dia mengajak suaminya itu keluar karena penasaran kenapa sampai menanyakan namanya.

"Ayo," ajak Nena.

'Kenapa aku bisa nikah sama dia?' Hady mengikuti Nena yang berjalan terlebih dahulu ke ruang tamu.

Dia tersenyum tipis dan menjadi begitu ramah. "Eh, ada Pak RT?" Dia segera duduk di samping Bu Elok, tempat yang tadi diduduki suaminya.

"Bayi kalian kok ditinggal?" Melihat Hady yang seperti sedang tertimpa musibah berat, Bu Elok yang hendak protes mengurungkan niatnya.

"Begini Mbak Nena, saya dimintai tolong mertua Mbak untuk mendaftarkan kartu keluarga kalian dan saya butuh data diri anak Mbak Nena dan Mas Hady."

"Oh itu, namanya Zoe." Dia melirik pada suaminya. "Taslim." 

"Nggak! Enak aja namanya begitu, jangan ditulis, Pak!" larangnya.

"Terus siapa, Mas?" tanya Nena menggoda Hady yang kesal. 

"Anzoe Putra Pratama." 

Sebelum mencatatnya kembali, Pak RT meminta persetujuan dari Bu Elok dan Nena untuk menuliskan. Setelah mendapat anggukan dari keduanya dia langsung menulis seperti apa yang dikatakan  Hady.

"Pertanyaan selanjutnya, kapan dan di mana bayi kalian lahir. Soalnya saya butuh data diri lengkapnya." Hady dan Nena saling tatap, mereka bingung saat ditanya kedua hal yang tidak mereka ketahui.

"Mbak, Mas?" tegur Pak RT.

Nena hanya menunduk, dia meremas jari-jarinya yang saling bertautan. Melihat reaksi istrinya, Hady menelan ludahnya kasar dan berkata, "Lahir di rumah, 17 April."

Pak RT manggut-manggut, dia segera mencatat apa yang tadi dikatakan Hady. Merasa tidak ada lagi yang dia butuhkan, dia segera berpamitan. Walaupun begitu dia merasa kesal untuk hari ini berkunjung ke rumah Bu Elok, tidak ada suguhan apa pun yang dia terima.

Setelah kepergian Pak RT, Bu Elok sekarang seperti sedang menginterogasi keduanya. "Jadi, Nena melahirkan saat Ibu nginap di rumah Mbakmu?" Hady mengangguk membenarkan. "Ya Allah, untung saja nggak terjadi apa-apa waktu itu sama cucu laki-laki Ibu."

"Maaf, Bu."

Bu Elok mengelus surai Nena yang diikat kuncir kuda itu dengan penuh kasih sayang. Sungguh, mendapatkan perlakukan seperti itu hatinya terenyuh dan hampir saja dia menangis.

"Itu bukan salah kamu, tapi salah anak Ibu, suami kamu!" Dia melirik Hady dengan tatapan kesal.

"Mulai besok Ibu akan tinggal sama Mbakmu di Metro, sekalian jagain Nenekmu yang sudah tua. Rumah ini sudah sepenuhnya jadi milik kamu, Dy. Ingat dijaga baik-baik."

"Kenapa besok, Bu? Ibu bisa tinggal di sini lebih lama lagi," rajuk Nena, dia segera memeluk tubuh ibu mertuanya.

Bu Elok tertawa melihat reaksi menantunya itu. "Dasar, sudah jadi Ibu masih saja manja begini. Itu sudah jadi keputusan Ibu dan Almarhum ayahnya, kalau Hady sudah menikah maka sepenuhnya rumah ini milik Hady." 

Nena melepas pelukannya. "Kontrakan tiga pintu juga, Bu?" tanya Nena polos. Awalnya Bu Elok sempat kaget dengan pertt menantunya dan melihat kepolosan di matanya, dia mengangguk.

"Iya, dong. Sudah sana balik ke kamar, kasihan bayimu kelamaan di kamar sendirian." 

***

Nena sudah memandikan baby Zoe, dia segera menggendong bayi tersebut dan membawanya keluar kamar. Terlihat di ruang makan Bu Elok dan suaminya sedang menyantap nasi uduk yang tadi dibelinya dari pedagang tidak jauh dari rumahnya, hanya butuh jalan kaki.

"Loh, Ibu sama Bang Hady udah selesai sarapannya?" 

"Iya, aku mau langsung antar Ibu ke terminal dulu, ya, nanti setelah antar Ibu langsung ke klinik." Nena segera menyalami mertua dan suaminya itu.

"Jaga cucu Ibu, ya. Kamu juga harus jaga diri."

Hendak kembali masuk setelah mengantar suami dan mertuanya di teras rumah, Nena yang akan masuk rumah ditahan oleh sapa lembut tetangganya.

"Na."

"Mbak Mega, duduk sini, Mbak," ajaknya pada wanita hamil tua itu. Mega segera mendekat. 

"Anakmu ganteng banget, Na. Mbak nggak sangka kamu yang kelihatannya nggak hamil eh, udah ngelahirin. Lah lihat nih perut Mbak yang udah kayak balon." Dia menunjuk perutnya sendiri. Nena terkekeh pelan. 

Ya, siapa yang sangka dirinya kini telah menjadi seorang istri dengan bonus anak. 

"Mbak kaget, Na, waktu tau kamu sampai mau buang bayimu, tapi rasanya nggak mungkin deh kamu lakuin itu." Kini baby Zoe telah berpindah gendongan ke Mega. 

"Itu cuma salah paham saja, Mbak." Mega mengangguk dan mengajak bicara baby Zoe seolah sudah paham bayi tersebut tersenyum.

"Mbak kiranya yang digerebek warga itu si Tuti, soalnya beberapa bulan ini dia digosipkan hamil juga." Nena menjadi merasa curiga jika ternyata yang membuang baby Zoe adalah Tuti.

"Iya, ya, Mbak. Tuti juga nggak kelihatan. Biasanya dia kan suka setel musik keras kalau buka toko."

"Makanya itu."

"Hai, Na, Mbak Mega. Wah, ini bayimu, Na? Ih gemesin banget sih," ucapnya. Nena menatap Susi mantan tetangga kamarnya dulu penuh curiga. Entah kenapa target utamanya kini adalah Susi, teller bank yang diam-diam disukai pria berstatus suaminya.

"Belum berangkat kerja, Mbak Sus?" 

"Tunggu jemputan." Tidak lama suara klakson motor menyapa. "Nah itu dia, ya sudah aku duluan. Dah Baby ...." Dia menatap Nena untuk menanyakan nama bayinya lewat sorot mata.

"Zoe."

"Dah Baby Zoe."

Mega menyerahkan Baby Zoe pada Nena dan juga berpamitan pulang karena dirasa telah lama keluar rumah.

"Kenapa aku curiga sama Mbak Susi, ya? Perutnya tadi aku lihat udah rata lagi," ucapnya penuh selidik, tidak mau ambil pusing dia segera masuk ke dalam rumah.

***

Nena memegang masing-masing satu di kedua tangannya. Kartu keluarga dan akta lahir. "Anzoe Putra Pratama," ucapnya lirih. Namanya dan bayi tersebut sudah tercatat dengan Hady sebagai kepala keluarga. 

"Aku nggak pernah sangka, ini benar, Bang?" tanya Nena memastikan. 

"Iya." 

"Aku sama sekali nggak pernah memikirkan kalau bakal ada namaku sebagai istri di kartu keluarga." Mendengarnya Hady menyipitkan matanya. Benar kata ibunya, istrinya itu perlu curahan kasih sayang yang berlimpah. Dia mendekat dan mengelus surai istrinya yang menyeruak harum buah stroberi.

"Bukannya setiap kita ditakdirkan berpasangan?" Nena mengangguk lemah.

"Semenjak perceraian Ayah sama Ibu, aku takut dengan pernikahan. Aku takut jika nantinya apa yang mereka alami aku juga alami." 

"Sssttt, jangan bilang begitu. Aku nggak akan buat apa yang kamu pikirkan jadi kenyataan." Nena mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk, menatap lekat mata bening Hady, segera dia mengangguk. 

Rasanya apa yang dikatakan Hady itu ada benarnya bagi Nena. "Ya sudah, sekarang kamu simpan keduanya, aku mau mandi dulu." Dia mengecup puncak kepala Nena dan segera pergi ke kamar setelahnya.

"Permisi, Na, Bang Hady?" 

"Suara Mbak Susi, ada apa?" Nena segera menuju ruang tamu hendak membuka pintu, kembali Susi yang tidak sabar memanggil mereka berdua kembali. 

Kesal dan gelisah dengan alasan Susi yang tidak sabar, Nena mempercepat langkahnya. "Mbak Sus, ada apa?" 

"Na ...."

Bersambung 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status