Masuk
Pregnant
Senyum lebar menghiasi wajah perempuan cantik bernama Hanna Kartika Aledra. Ia tak pernah mengira jika pada akhirnya dirinya mengandung buah cintanya dengan laki-laki yang paling dicintainya. Ya, akhirnya ia akan menjadi seorang ibu muda sesuai dengan cita-citanya. Kini tanpa banyak mengulur waktu lagi, Hanna segera keluar dari kamar mandi dan mengambil tasnya. Ia segera keluar dari apartemennya untuk menuju ke apartemen pacarnya, Aditya Birawa Aji.
Sepanjang perjalanan di dalam kereta menuju ke apartemen Adit, senyum terus menghiasi wajah Hanna. Ia tahu bahwa dirinya dan Adit sama-sama serius dengan hubungan ini, karena itu Hanna yakin jika Adit juga akan bahagia mendengar kabar tentang kehamilannya. Saat sampai di apartmen Adit, Hanna langsung memencet bel dan tidak lama setelahnya seorang perempuan berambut pirang yang belum pernah ia lihat di hidupnya muncul di sana dengan tubuh berbalut lingerie tipis berwarna hitam.
Tak ada sepatah katapun yang bisa Hanna katakan selain melihat nomer apartemen yang ia bunyikan belnya dan ternyata ia tidak salah. Ini adalah apartemen Adit. Dengan kesabaran yang setipis tisu dan pikiran yang sudah melayang ke mana-mana, Hanna mencoba bertanya kepada perempuan itu di mana Adit berada? Begitu ia mengetahui jika Adit sedang tidak ada di apartemen, Hanna tidak bisa percaya begitu saja. Ia langsung menerobos masuk dan yang ia temukan adalah teman kuliah laki-lakinya yang sedang naked di dapur. Seketika Hanna berteriak dan langsung keluar dari apartemen ini. Hanna mengatur napasnya kala ia sudah berhasil sampai di dekat lift. Sepertinya ia telah berlebihan mencurigai pacarnya. Kini ia mencoba menelepon Adit yang ternyata nomer teleponnya sedang tidak aktif. Ke mana pula pacarnya ini berada saat ini? Tidak biasanya Aditya pergi tanpa pamit apalagi sampai mematikan handphonenya.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Adit sedang bersama kedua orangtuanya yang tiba-tiba mampir berkunjung pagi ini sebelum pulang ke Indonesia. Ia bersyukur karena Hanna semalam tidak menginap di apartemennya sehingga orangtuanya tidak mengetahui kelakuan bejatnya yang sering membawa pacarnya ke apartemen bahkan menginap sesekali. Jangan tanya apa yang mereka lakukan di sana. Tentu saja selain mengobrol, menonton film, sesekali juga mereka beradu gulat di atas ranjang.
"Kamu belum punya pacar, Dit?" Tanya sang Mama saat mereka berada di mobil untuk menuju ke bandara.
Pertanyaan sang Mama membuat Adit tersenyum. Ia tahu bahwa dirinya menyukai lalu mencintai Hanna sejak petama kali mereka bertemu di acara pensi yang diadakan di sekolah Hanna ketika mereka masih SMA. Karena rasa cintanya pada perempuan itu, Adit memilih merubah rencana sekolah lanjutannya yang awalnya di Inggris menjadi ke negara Amerika Serikat. Sayangnya, untuk jujur kepada keluarganya, ini belum saatnya. Terlebih selama dua tahun ia dan Hanna berpacaran, Hanna belum jujur kepada keluarganya tentang hubungan mereka. Adit berpikir apa yang Hanna lakukan juga akan ia lakukan. Toh mereka masih berusia 19 tahun saat ini. Masa depan mereka masih panjang dan tidak perlu terburu-buru untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Minimal mereka harus sama-sama lulus dari universitas lalu bekerja untuk mencari pengalaman sebelum memutuskan menikah. Adit ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan dari keluarganya. Adit tahu bahwa Hanna pasti akan mengerti dengan pilihannya ini dan mendukungnya.
"Memangnya kenapa sih, Ma?"
"Ya penasaran aja. Masa anak Mama yang ganteng dan pintar ini sudah jauh-jauh ke Amerika masih enggak dapat pacar juga."
"Memangnya kalo aku punya pacar sekarang, Mama sama Papa bakalan kasih restu?"
"Sejujurnya enggak sebelum kamu menyelesaikan pendidikan kamu dulu. Mama ngeri banget bayanginnya kalo anak Mama satu-satunya ini gagal dalam pendidikan. Padahal untuk menggantikan posisi Papamu kelak, pendidikan kamu akan menjadi salah satu syarat penting selain pengalaman. Jangan sampai si Dana yang ambil alih semua ini. Mama enggak rela, Dit."
Adit tersenyum mendengar jawaban jujur sang Mama. Ia tahu bahwa ibunya bukan seorang ibu yang memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih segala sesuatunya sendiri. Adit baru merasakan kebebasan dan kehidupan yang sebenarnya saat ia tinggal di Amerika, jauh dari keluarganya. Di sini tidak ada yang peduli latar belakang keluarganya apalagi menyoroti kehidupannya dengan mikroskop. Ia bebas berteman dengan siapa saja. Bahkan temannya bebas berkunjung serta menginap di apartemennya.
Kini saat Adit sudah sampai di bandara, ia segera mengajak kedua orangtuanya turun. Layaknya orangtua yang akan tinggal jauh dari anaknya untuk beberapa waktu, banyak sekali wejangan yang diberikan Mama dan Papanya untuknya. Adit sampai hafal di luar kepala. Mulai dari jangan asal bergaul, jangan banyak mengunjungi tempat hiburan malam hingga jangan sampai melakukan sex bebas. Untuk pesan yang terakhir ini, Aditya tidak bisa menyetujuinya karena sejak merasakan kenikmatan surga dunia untuk pertama kali di hidupnya setahun yang lalu, ia tak pernah bisa berhenti untuk terus merasakan kenikmatannya. Apalagi ia melakukannya dengan orang yang paling ia cintai dan berharap Hanna adalah orang pertama dan terakhir untuknya.
Begitu selesai mengantar kedua orangtuanya, Adit segera menghidupkan handphone dan beberapa panggilan tak terjawab masuk ke handphone miliknya dari Hanna. Takut ada sesuatu yang penting, Adit segera menghubungi pacarnya itu. Tak perlu menunggu lama, Hanna langsung mengangkatnya.
"Hallo, Han? Are you okay?"
"No."
"What happened?"
"Sejak kapan Luke ada di apartemen kamu sama pacarnya?"
"Sepertinya setelah jam sembilan pagi. Karena dia bilang ingin mampir sebentar tapi aku enggak bisa temani dia."
"Kamu di mana?"
"Ada urusan sebentar di luar tadi."
"Apa kita bisa bertemu? Ada hal penting yang harus aku bicarakan sama kamu dan enggak bisa ditunda-tunda lagi."
"Okay. Kamu mau ketemu di mana?"
"Apartmen aku aja. Aku capek kalo harus balik ke apartemen kamu."
Seperti biasa, sebelum menutup sambungan telepon itu, Adit mengucapkan salam perpisahannya dengan kecupan jauh yang membuat Hanna tersenyum. Tak pernah Hanna sangka jika laki-laki yang dulu ia kenal dingin dan terlihat tak tertarik pada lawan jenisnya bisa berperilaku seperti ini ketika mereka sudah berpacaran. Dulu Hanna kira Adit hanya akan melakukan hal ini di awal-awal hubungan mereka, tapi ternyata sampai tahun kedua hubungan mereka ini, Adit masih memperlakukannya dengan sama. Adit bahkan memilih untuk merubah rencana universitas yang akan dia masuki agar mereka bisa terus bersama-sama. Lebih dari itu semua tinggal jauh dari keluarga membuat mereka bisa merasakan pacaran seperti orang lain tanpa harus sembunyi-sembunyi sekedar untuk berkencan dan makan di luar.
Aditya, sosok laki-laki yang selalu berada di sisinya sejak ia tinggal jauh dari keluarga. Meskipun keluarganya berasal dari kalangan affluent society, namun Mama dan Papanya belum memberikan fasilitas mobil seperti yang Aditya dapatkan saat berada di sini. Mama dan Papanya tetap membiarkan ia menaiki kereta dan angkutan umum selama berada di negeri orang. Karena usia mereka masih tergolong muda, Adit pun jarang menggunakan mobilnya jika tidak ada sesuatu yang penting. Biasanya mereka akan menaiki bus atau kereta bersama. Bagi Hanna hal-hal sederhana seperti ini lebih berarti baginya karena ini tidak mungkin ia lakukan jika berada di Indonesia. Baik orangtuanya dan orangtua Adit pasti melarang mereka. Selama masih SMA dulu saja mereka harus berkencan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ingin nonton, mereka langsung bertemu di dalam bioskop, begitupula jika ingin makan bersama. Mereka akan langsung bertemu di cafe atau tempat makan. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Semua ia lakukan karena orangtuanya masih belum memberikan lampu hijau untuk berpacaran. Siapa sangka jika kebiasaan ini keterusan hingga ia tinggal di Amerika. Di sini ia tidak perlu takut Mama dan Papanya akan mengetahui hubungannya dengan Adit.
Kini saat sudah sampai di apartemennya lagi, Hanna segera merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di depan televisi. Ia sibuk membayangkan bagaimana bahagianya Aditya saat mengetahui jika sebentar lagi mereka akan menjadi orangtua. Ia pastikan bahwa kehadiran sang anak tidak akan membuat pendidikan mereka berdua terganggu. Hanna juga yakin bahwa Adit akan dengan senang hati berbagi peran orangtua dengan dirinya. Ia ingin melahirkan anaknya di negara ini karena dengan begitu, anaknya bisa mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Hanna yakin untuk membesarkan anak ini bersama dengan Adit meskipun mereka harus mulai mencari pekerjaan sampingan untuk menghidupi anak mereka.
"Sayang, nanti kita ke dokter sama Papa, ya? Kita cek kondisi kamu di dalam," ucap Hanna sambil mengelus perutnya.
Beberapa saat kemudian, Hanna memilih segera pergi ke dapur dan mengambil lasagna yang ada di dalam kulkas. Ia panaskan di dalam oven beberapa saat. Ia tahu bahwa Adit cukup menyukai masakan yang ia buat selama ini. Mereka juga sering bebelanja bersama lalu memasak di aparemen untuk menghemat pengeluaran. Rasanya kehidupan yang ia jalani bersama Adit sudah seperti pasangan pengantin baru. Hanya saja mereka tidak sering tinggal seatap bersama.
Selesai menghangatkan lasagna, Hanna menaruhnya di atas meja makan. Ia segera pergi ke kamar untuk berganti pakaian dengan pakaian rumahan yang lebih nyaman.
Lima belas menit kemudian, bel pintu apartemen berbunyi. Cepat-cepat Hanna berjalan menuju ke arah pintu dan membukanya. Sosok Aditya berdiri di sana dengan pakaian serba hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Seperti biasa, Adit langsung memeluknya dan memberikan kecupan di kening.
"Kamu dari mana?" Tanya Hanna saat Adit sudah mengurai pelukannya.
"Ada urusan sebentar di luar. Kenapa? Kamu curiga aku selingkuh?"
Pertanyaan Aditya membuat Hanna tertawa. Ia tak menyangka jika Adit akan bisa membaca pikirannya meskipun ia sering kali tidak mengatakannya. Baginya Adit bukan hanya pacar namun juga sahabat dan musuhnya. Bersama Adit kehidupannya sebagai anak tunggal tidak teerasa sepi lagi. Adit yang senasib dengan dirinya membuatnya merasa tidak sendiri menaggung beban untuk menjadi seorang penerus bisnis keluarga.
Hanna memilih berjalan lebih dulu meninggalkan Aditya untuk menuju ke dapur. Ia ambilkan segelas air putih untuk Adit dan ia taruh di meja makan.
"Awalnya iya. Aku kira kamu kecantol cewek bule yang ada di apartemen kamu."
Adit tertawa mendengar hal itu. Tidak ia sangka jika Hanna yang biasanya cukup cuek dan tidak mempedulikan hal ini akan menanyakannya.
"Hmm.. . ada apa gerangan sampai kamu begini?"
Hanna tersenyum dan ia meminta Adit untuk menunggu di meja makan. Ia pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu. Adit cukup heran dan sedikit penasaran dengan apa yang Hanna minta padanya.
"Dit?" panggil Hanna yang membuat Adit menoleh.
Seketika mata Adit membelalak lebar kala melihat sebuah testpack ada di tangan Hanna. Wajah Hanna tampak bahagia saat menunjukkan testpack itu. Adit masih diam kala Hanna memeluknya dan mengatakan bagaimana bahagianya dirinya ketika mengetahui jika ada calon anak mereka berdua di dalam rahimnya. Satu hal yang Adit sadari saat ini. Ia harus men-delete buah cintanya dengan Hanna sesegera mungkin sebelum perut Hanna semakin besar.
***
Pernikahan Gadis dan Gavirel yang dilangsungkan hari ini membuat Hanna dan Adit cukup takjub. Tamu yang hadir kali ini mungkin bisa mencapai ribuan orang. Pengaruh orangtua Gadis serta keluarganya di dunia bisnis membuat tidak hanya mereka saja yang hadir di tempat ini namun juga keluarga Adit. Karena itu sejak Adit sibuk menemani Gavriel di beberapa acara Adat yang harus dijalani, Hanna, Raga dan Lean memilih menemani orangtua Adit berkeliling kota ini. Hanna tidak pernah menyangka jika Lean yang berusia 4 tahun lebih ini sudah lebih banyak mengenal kota ini daripada dirinya. Mereka bahkan mengunjungi beberapa tempat yang justru dipandu oleh Lean. Yang paling memalukan adalah Hanna beberapa kali salah mengambil jalan di sini. Terlalu banyak jalan satu arah yang membuat dirinya sedikit shack shick shock. Maklum saja dulu ketika tinggal di Klaten ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Jogja daripada di Solo karena ia kuliah d
Hanna melihat jam tangan yang melingkari tangan kirinya malam ini. Ia bisa melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sampai saat ini baik Raga maupun Adit sama sekali belum memberikannya kabar sama sekali. Hmm... tidak ia sangka jika Adit dan Raga benar-benar menikmati waktu mereka berdua saja tanpa kehadiran dirinya. Kali ini mungkin ia bisa memaafkan hal itu karena ia masih berada di dalam mobil Pradnya dan masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya. Perjalanannya akan menempuh waktu yang cukup lama karena mereka terjebak macet parah. Hmm... sungguh, dulu ketika ia tinggal di klaten, mau ke Jogja saja tidak sampai satu jam perjalanan, tapi di Jakarta dari rumah ke kantor terkadang bisa menghabiskan waktu satu jam lebih. Bukan jarak yang jauh namun kemacetan adalah sumber masalahnya. Karena itu pula Hanna tidak bisa protes kepada Adit ketika Adit sering kali memilih memakai transportasi udara sebaga
Hanna duduk di hadapan Pradnya dan Dana yang malam ini sudah ada di rumahnya. Khusus acara ini, Hanna membiarkan Raga dalam pengasuhan Adit. Karena bagaimanapun juga ia membutuhkan waktu untuk berbicara serius dengan kedua temannya ini. Kala Pardnya dan Dana hanya diam saja, Hanna memilih membuka percakapan lebih dulu."Gue ngundang kalian berdua ke sini karena mau minta maaf atas sikap gue beberapa waktu lalu. Seharusnya gue bisa jauh lebih bijak menanggapi semua itu."Pradnya dan Dana hanya saling pandang sebentar dan mereka tidak bisa menahan tawanya. Apalagi ketika mengingat pembicaraan mereka berdua di dalam mobil tadi menjadi kenyataan saat ini. Hanna yang tanpa tedeng aling-aling langsung meminta maaf membuat mereka menunggu adegan selanjutnya."Gue harap kalian m
Hanna tidak bisa menutupi wajah penuh bahagianya setelah beberapa hari ini dirinya mencari calon pengganti Bejo hingga akhirnya ia menemukan orang itu. Atas bantuan dari Adit dan Malik, akhirnya Hanna bisa menemukan sosok Bramajaya. Laki-laki berusia 28 tahun yang masih single dan tentunya sudah memiliki penngalaman bekerja selama 3 tahun di salah satu perusahaan multi nasional sebagai staff."Bram, mulai besok kamu bisa langsung mulai belajar dari Pak Bejo tentang apa saja yang harus kamu kerjakan. Banyaklah bertanya dan belajar selagi pak Bejo masih ada di tempat ini.""Baik, Bu.""Oh, iya, saya punya anak namanya Raga. Mungkin sesekali dia bakalan ngerepotin kamu dengan permintaan absurd-nya. Kalo kamu merasa dia sudah keterlaluan, kamu bisa langsung
Sejak pulang dari rumah Elang, Adit memperhatikan Hanna yang lebih banyak diam. Berkali-kali Hanna tampak kaget kala ia memanggilnya. Memang fisik Hanna ada di sini namun entah dengan pikirannya saat ini. Setelah Raga masuk ke kamarnya, Adit memilih duduk di samping Hanna yang sedang memperhatikan anggrek bulannya yang kini sudah berbunga lagi dan ia susun ke dalam sebuah vas bunga besar berbentuk bulat. "Ngiri aku sama anggrek-anggrek kamu, Han," ucap Adit yang membuat Hanna menoleh ke arah sumber suara. Hanna hanya tersenyum mendengar perkataan Adit ini. Sudah berkali-kali Adit mengucapkan hal itu setiap kali ia sedang sibuk memandangi bunga-bunga anggreknya yang sedang berbunga. Baiklah, lebih mudah jika ia hanya membeli bunga palsu yang selamanya akan mekar atau bunga anggrek asli yang sudah kenop besar bahkan mekar seluruhnya. Sayangnya hal itu tentunya sangat berbeda sekali dengan membesarkan bunga itu sejak seedling hingga bisa dewasa dan berbunga. Kepuasannya seperti orangtu
Malam ini Hanna, Adit dan Raga sedang berada di rumah Elang. Seperti biasa acara kumpul ini adalah acara kumpul mingguan Adit bersama ketiga temannya. Mengingat baik Adit serta Gavriel sudah memiliki pasangan, mereka mencoba meminimalisir pertemuan mereka di tempat karaoke atau bahkan nightclub. Ya, semua itu hanya tindakan preventif saja untuk membuat Gadis serta Hanna tidak cemburu buta atas apa yang mereka lakukan di sana. Kini saat berada di rumah Elang, Raga memilih bermain bersama Lean di dalam kamar bermain anak itu sedangkan Hanna harus puas berada di dapur bersama asisten rumah tangga Elang untuk menyiapkan makan malam. Ini jauh lebih baik daripada ia mengganggu waktu Adit bersama teman-temannya menonton acara bola. Di waktu yang sama, di ruang keluarga rumah Elang, keempat laki-laki ini sedang berkumpul untuk menonton pertandingan bola. Suara riuhnya sudah mengalahkan suara perdebatan Hanna dan Raga jika berada di rumah. "Cok... matane!""Shut up!" ucap Adit yang mencoba m







